LA Times pada 2007 melaporkan kasus hyponatremia pada seorang wanita beberapa jam pasca mengikuti kontes minum air putih oleh sebuah stasiun radio. Pangkal masalahnya adalah menurunnya kadar natrium atau sodium dalam darah, yang disebut intoksikasi. Begitulah tubuh kita, kekurangan cairan jadi masalah, kelebihan pun sama saja. Serba lebih atau serba kurang itu ndak baik pokoknya.
Laporan lain menyebutkan, kelebihan cairan paling dahsyat tercatat tahun 1931 yang menewaskan 200 ribu orang. Bedanya, yang kelebihan cairan adalah sungai Yangtse di Cina sana. Tak hanya sekali ini saja, Cina membukukan banyak rekor kelebihan cairan alias banjir besar di tahun sebelum dan setelahnya, hingga kini. Catatan paling kuno yang ditemukan menyebutkan terjadinya banjir besar yang dialami bangsa mesopotamia kuno.
Indonesia sendiri belum lama dihebohkan berita banjir Wasior, Papua, tahun 2010 silam. Limpasan air bah yang membawa serta gelondongan kayu dan lumpur, merusak banyak rumah dan menewaskan warga di sana. Para ahli memperkirakan, gelondongan kayu menumpuk di atas bukit, di tengah hutan, menahan air bervolume super besar, lalu jebol karena tidak lagi mampu menahan tekanan air.Â
Setelah kejadian, tak tanggung-tanggung, presiden, menteri dan pejabat penanggulangan bencana turun tangan. Dikabarkan korban berjumlah 158 orang tewas dan 145 orang lainnya hilang.
Bukan jumlah 303 orang atau 200.000 orang korban yang menjadi perhatian. Bagaimanapun, mereka semua adalah manusia. Mereka warga negara yang layak mendapat perhatian sekecil apapun. Negara wajib hadir disana untuk memastikan tidak ada keluhan. Dicegah supaya tidak terjadi dan ditangani bila ada kejadian. Amanat UUD 45 menyatakan demikian.
Barangkali ada yang mengatakan, ah lebay. Biarlah.
Orang-orang pintar bilang, banjir terjadi ketika volume air merendam daratan. Bisa jadi karena sungai, danau atau tempat penampungan lainnya tidak muat lagi. Bisa pula karena daerah yang sebelumnya menjadi daerah tampungan air, diurug jadi perumahan, misalnya. Mungkin juga karena daerah resapan air tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.Â
Sebagaimana yang terjadi pada banjir Bengawan Solo tahun 2008, banjir tahunan Serayu, mungkin juga di beberapa tempat lain. Terbaru, luapan kali Cimanuk tahun 2016. Kalau mau mengkliping berita, bisa jadi ada ratusan kasus banjir dalam setahun di Indonesia, dengan berbagai penyebab. Dari sekian banyak penyebab, secara pasti bukan disebabkan selingkuh suami dan istri yang bukan pasangannya.
Konon katanya sih, banjir salah satunya dikarenakan daerah resapan air atau water catchment area-nya sudah rusak, atau berkurang. Maksudnya adalah daerah yang dulunya menjadi tempat meresapnya air hujan ke tanah, tidak tersisa banyak atau rusak. Kumpulan pohon yang tadinya memperlambat tetes air yang jatuh dari langit sono, yang sebelumnya ditahan pohon, kecepatan tetesannya menurun, lalu masuk ke tumpukan daun atau semak di bawahnya, terakhir meresap ke tanah.Â
Tapi karena tidak ada lagi pohon, air yang jatuh dari langit dalam kecepatan tinggi langsung menghajar tanah. Blaarr!! Menghancurkan tanah di permukaan, menyepret ke samping, jatuh lagi ke tanah sebelahnya. Lha kalau jarak antar tetes hujan hanya ukuran 1 cm atau kurang, bisa jadi seluruh tanah di atas lahan yang terkena hujan langsung rusak.Â
Tadinya ketebalan tanah 1 mm, rusak. Lalu menjadi 1 cm, rusak lagi, dan seterusnya. Setelahnya adalah, tanah hanyut terbawa aliran air ke bawah, terus, terus hingga masuk sungai/danau/tampungan air lainnya. Sungai dan danau tidak bisa menampung, meluap ke sekitarnya, menjadi banjir. Surutnya bisa beberapa jam, bisa beberapa hari.