Aja nggege mangsa, jangan memaksakan keinginan kalau belum waktunya!
Perubahan iklim dan cuaca perlahan-lahan dimulai seabad lalu. Dan dalam setengah abad terakhir, perubahan menjadi semakin cepat. Banyak ilmuwan tersebar seantero jagat merilis hasil penelitiannya tentang terjadinya fenomena iklim dan cuaca, yang dipicu oleh menumpuknya polutan perusak lapisan atmosfir yang tipis.
Atmosfer yang terdiri dari karbon, oksigen, argon, nitrogen, dan beberapa unsur kimia yang sebenarnya juga merupakan polutan, dalam kadar yang cukup. Lapisan yang membuat bumi menjadi planet hangat. Cukup hangat untuk menumbuhkan pohon, cukup menjaga kondisi tubuh manusia dan hewan, cukup untuk menjaga kelembaban permukaan bumi dan tanah, cukup untuk menjadi bumi yang nyaman ditinggali manusia, cukup untuk membuat semuanya baik-baik saja.
Manakala polutan terlalu banyak, unsurnya semakin beragam, atmosfer tipis mudah rusak. Berlobang kemudian memudahkan sinar ultraviolet masuk ke bumi. Menumpuk polusi terlalu banyak lalu memerangkap panas dari sinar ultraviolet yang sudah terlanjur masuk ke bumi. Layaknya ruangan kaca, panas mudah masuk, tapi sulit keluar.
Ruangan jadi semakin hangat, semakin hangat, agak panas, lalu panas. Bisa jadi beberapa waktu ke depan akan panas sekali. Panas yang sulit lagi ditoleransi makhluk hidup; tak peduli tumbuhan, hewan, dan manusia. Panas yang mengeringkan tanah, panas yang melelehkan es di kutub utara-selatan, panas yang menguapkan air laut dan panas yang merubah arah dan kecepatan angin.
Para ahli iklim dan cuaca bilang, hujan "nggege mangsa" pemicu awalnya adalah udara yang semakin panas. Panas yang dulunya ditahan oleh kumpulan tumbuhan, oleh hutan, oleh lautan, kini mereka tidak lagi bisa, bahkan sekedar sejenak. Kumpulan pohon itu telah ditebang, merubah hutan. Dan lautan, mulai tidak mampu menumbuhkan plankton dan jasad renik lainnya karena terbunuh oleh kotoran, sampah, polusi, dan tentu saja panas. Maka panas terjadi di mana-mana. Di desa, di kota, di laut, di atas gunung, sampai di pucuk dan pangkal bumi utara-selatan.
Panas yang menyengat memaksa air naik ke udara, membentuk awan. Panas yang menyengat itu pula yang membentuk angin menerbangkan awan kemana-mana. Dan panas pula yang merubah arah atau mempercepat angin. Senyatanya pula, langit di atas sana memiliki keterbatasan menampung air yang terkumpul, menerbangkannya ke arah mana panas mempengaruhi, lalu menurunkannya ke bumi sebagai hujan, di mana mungkin. Di laut, di pinggir sungai, ditengah danau, di antara pemukiman, di atas kepala kita semua. Turun sebagai udan salah mangsa.
Perubahan iklim dan cuaca memang tidak terjadi sejenak. Apalagi untuk ukuran bumi yang sedemikian besar. Bila hanya terjadi di salah satu tempat, tidak luas, dampaknya masih bisa dinetralisir oleh bagian bumi lain, dalam waktu singkat. Bila terjadi di semakin banyak tempat, maka penormalan kembali butuh usaha lebih besar, dan waktu lebih panjang. Lalu saat perubahan terjadi di mana-mana, pada semua faktor pemicu, maka semua orang terdampak. Tak peduli kaya, miskin, tua, muda, laki-laki, wanita, pintar, bodoh, semua terdampak. Petani, peternak, nelayan, guru, murid, PNS, presiden, polisi, termasuk ahli iklim dan cuaca sekalipun.
Pertanyaannya;
Bisakah cuaca dan iklim pulih kembali?
Mungkinkah panas dikurangi?
Mungkinkah hujan tidak lagi nggege mangsa?
Pertanyaan berikutnya masih tetap sama;
Seberapa cepatkah pemulihan bisa terjadi?
Jawabannya, tidak ada yang tahu.