Mohon tunggu...
Mazaya Nurbaity
Mazaya Nurbaity Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga

Halo! Semoga tulisan saya bisa menginspirasi dan menambah sudut pandang baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pro Kontra Pajak Karbon sebagai Upaya Transisi Energi Hijau dalam Presidensi G20 di Indonesia

11 Juni 2022   20:40 Diperbarui: 14 Juni 2022   05:50 1962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Lestari. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggunaan energi tidak ramah lingkungan dalam jangka waktu lama akan mendorong terjadinya pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dewasa ini, isu pemanasan global perlu mendapat perhatian khusus dari seluruh umat manusia. Pasalnya, perubahan iklim yang terus membawa dampak buruk juga akan memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia itu sendiri. Untuk menjaga kondisi iklim bumi agar tetap stabil, diperlukan perubahan pola hidup manusia secara berkelanjutan serta peralihan penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan. Perubahan pola hidup tidak dapat dilakukan secara instan karena pola hidup merupakan kebiasaan yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga memerlukan kesiapan yang akan cukup memakan waktu.

Selaras dengan isu tersebut, pemerintah Indonesia memiliki fokus yang cukup besar dalam upaya menangani perubahan iklim. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai menjalankan program-program yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim. Peluang Indonesia dalam presidensi G20 pada tahun 2022 harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka membuktikan kepada dunia internasional atas partisipasinya sebagai negara berkembang untuk turut menjaga stabilitas perekonomian dunia.

Forum G20 tidak memiliki ketua tetap sehingga terdapat istilah presidensi yang akan dipegang secara bergantian oleh salah satu anggota selama satu tahun. Mengusung tema 'Recovery Together, Recovery Stronger' sejalan dengan komitmen negara untuk berperan dalam pengendalian perubahan iklim sehingga perekonomian negara pun secara perlahan akan bergeser menuju ekonomi hijau. Selain itu, Indonesia juga sebagai perwakilan negara berkembang yang tergabung dalam aliansi G20 diharapkan dapat mewakili kepentingan negara berkembang lainnya serta menjadi contoh bagi negara lain dalam upaya pengembangan energi hijau.

Ikatan G20 secara global telah memengaruhi berbagai kebijakan ekonomi dibanyak negara. Sehingga, G20 dijadikan acuan bagi pengambilan kebijakan ekonomi dunia dan juga sebagai pedoman penting bagi forum multilateral lain untuk memberikan respon terkait situasi ekonomi dunia (Sushanti, 2019). Dilansir dari website Indonesia.go.id, untuk mencapai perubahan ekonomi sehat yang berkelanjutan, diperlukan kolaborasi pembiayaan bersama melalui upaya penerapan carbon pricing, carbon market, dan carbon tax.

Dalam esai ini, pembahasan akan lebih dikerucutkan pada penerapan carbon tax atau pajak karbon yang saat ini sedang dipersiapkan oleh pemerintah dan pemberlakuannya direncanakan mulai tanggal 1 Juli 2022. Pajak karbon secara signifikan dapat membantu mengurangi efek Gas Rumah Kaca (GKR) serta pengalokasiannya dapat digunakan untuk melakukan riset mengenai sumber energi baru terbarukan dan secara tidak langsung juga dapat menyokong pendapatan nasional. Hasil pemungutan pajak karbon ini, menurut pemerintah akan didistribusikan ke sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain sebagainya.

Untuk menerapkan pajak karbon juga memerlukan pertimbangan dari berbagai sisi. Pajak yang akan difokuskan pada sektor industri energi harus memiliki tujuan serta sasaran yang jelas sehingga tidak memberatkan pihak swasta. Keefektifan dari penerapan pajak karbon sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dalam fokus presidensi G20 juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, jaringan komunikasi antara pemerintah, pihak swasta, juga dengan masyarakat harus berjalan dengan baik agar upaya transisi energi hijau untuk mengatasi perubahan iklim dapat diimplementasikan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Transisi Energi Hijau Berkelanjutan

Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sesi II dengan topik perubahan iklim, energi, dan lingkungan hidup di La Nuvola, Roma, Italia, menyampaikan bahwa Indonesia telah menargetkan Net Sink Carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan "Net Zero" di tahun 2060 atau lebih cepat (Kementerian Sekretariat Negara, 2021). Hal ini selaras dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris yang ditandatangani oleh 171 negara termasuk Indonesia (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Komitmen negara-negara tersebut dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) dimana Indonesia menargetkan pada tahun 2030 terjadi pengurangan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila terdapat bantuan asing (Maghfirani dkk, 2022).

Perjanjian Paris kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Presiden Joko Widodo ingin Indonesia menjadi cerminan bagi bangsa lain dalam upayanya menanggulangi dampak dari pemanasan global serta emisi gas rumah kaca (GRK). Presidensi G20 ini menjadi peluang untuk merencanakan strategi transisi energi baru terbarukan seiringan dengan prinsip energy security, accessibility, dan affordability (Kementrian Sekretariat Negara, 2021). Selain itu, presiden juga menargetkan dalam beberapa tahun terakhir, laju deforestasi hutan Indonesia dapat mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Beberapa langkah konkret dilakukan oleh pemerintah sebagai permulaan untuk mendorong adanya transisi energi. Dilansir melalui website Antaranews.com, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan secara bertahap. Menurut laporan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), beberapa perusahaan lokal bahan bakar fosil serta pertambangan batu bara Indonesia memiliki target emisi nol bersih. Sehingga, menurut IESR, kesiapan sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk bertransisi ke energi yang lebih ramah lingkungan semakin meningkat meskipun dalam beberapa aspek masih perlu dibenahi.

Meskipun direncanakan transisi secara bertahap namun juga perlu mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang harus dialihkan. Tenaga kerja tersebut dapat dialihkan ke sektor lain atau sektor energi baru terbarukan. Jangan sampai penutupan perusahaan pembangkit listrik tenaga batu bara mengakibatkan bertambahnya angka pengangguran bagi angkatan kerja didalam negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun