Dia memeluk saya dengan pelan di sebuah sofa rumah saya. “Sabar, Bang.” ucapnya berusaha menenangkan saya. Dia adalah mantan teman sekantor saya.
Pikiran saya suntuk. Saya tak pernah tau apa dosa saya selama ini hingga memiliki nasib yang dikutuk. Saya letih mendengar kamu yang selalu saja meruntuk tentang banyak hal, terutama anak lelakimu. Membanyangkannya membuat saya enggan mengantuk.
Anak lelaki itu, anak lelaki yang tumbuh dari hasil kasih sayang kita, kini tak lagi saya kenal. Anak lelaki itu tumbuh dengan masa kecil yang gemilang. Anak lelaki itu sangat penurut, baik dan mudah diberi nasehat. Semua berjalan baik-baik saja waktu itu, namun terkadang anak lelaki itu sering menangis ketika pulang sekolah dan mengadu kepada saya karena dijahili temannya.
Terlalu banyak yang berubah ketika ia mulai beranjak remaja hingga saya merasa tak mengenalnya. Anak lelaki itu mulai membangkang. Cerita terakhir yang cukup mengegerkan keluarga dan sekolah adalah ia mengisap ganja. Tampaknya saya tak lagi berarti bagi anak lelaki itu. Tak ada lagi keluh kesah darinya, ia lebih memilih mengadukan keluh-kesahnya pada bayang-banyang narkotika. Berbagai cara telah saya dan kamu lakukan. Nihil. Anak lelaki kita itu lagi-lagi terjerat. Membuat saya mulai letih menjalani kehidupan ini.
Dia memandang saya tajam. Mata kami saling bertemu. Tak ada kata yang terdengar. Hanya pandangan matanya mampu mengisyaratkan banyak hal. Air mata saya pecah dan saya mulai terenyuh.
Air mata ini rasanya ingin sekali menetes, tapi saya ini lelaki. Menangis hanya membuat saya semakin lemah di depanmu. Saya bahkan tak tahu lagi, kamu menganggap saya apa sekarang, sedang suara cacianmu kian menusuk.
“Bagus ya kamu, Mas! Sudah jadi pengangguran bertahun-tahun, ngabisin uang aku dan sekarang mau jual rumah seenaknya. kompromi dulu dong!” suaramu mengiang-ngiang jelas di telinga saya.
Mengenang kalimat itu membuat saya ingin tertawa lebar.Pengangguran. Satu kata singkat yang mampu menaikkan emosiku, menusuk tepat di hati. Ya Tuhan, sudah begitu saya akan kalap. Rasa nyeri menyebar seketika dihina oleh mu seperti itu. Sejurus kemudian kalimat kasar penuh bentakan tanpa pikiran mampu saya keluarkan. Dimana harga diri saya di depanmu?
Saya tahu, saya tahu betul kamu saat inilah yang menjadi penopang keluarga. Kamu pikir saya tak terhina berdiam diri di rumah di saat kamu dan anak-anakmu pergi kerja dan sekolah? Demi Tuhan, saya tengah berusaha tapi nihil. Lalu hal bodoh yang saya lakukan selanjutnya untukmu adalah investasi uang yang dari dulu kita kumpulkanyang berujung pada penipuan. Saya hanya berusaha, berusaha menghasilkan uang untukmu dan anak-anakmu agar setidaknya saya masih berarti bagimu. Salahkah saya? Demi Tuhan, bukan kah dengan jelas dalam ijab-kabul saya berikral untuk membahagiakanmu dan anak-anak kita kelak?
Perlahan wajahnya mendekat pada saya. Dia mengahapus air mata saya. Bibir kehitamannya semakin mendekat. Nafasnya yang memburu mulai dapat saya rasakan dipermukaan pori-pori wajah saya. Wajahmu lagi-lagi terbayang di memori saya. Saya merindukanmu, Din. Bibirnya kini telah merekat erat di bibir saya. Saya terbius.
Saya masih mencintaimu. Terekam dengan jelas saat bahagia kita dulu. Bahkan sebelum anak-anak kita lahir. Bagaimana mungkin saya dengan mudah melupakan hal itu? Coba kamu tanyakan, saya yakin tak ada satu pun yang saya lupakan darimu. Telah lupa kah kamu tentang semua itu? Mengapa akhir-akhir ini pembicaraan kita hanya berakhir dengan lara? Tak satu lagi kah kita?
Saya mencintaimu. Itulah terkadang yang membuat hati saya hancur, nafas saya sesak karena pada kenyataannya saya hanya mampu untuk menyakitimu. Membuatku membanting tulang untuk kita dan anak-anak kita. Dan saya yang bodoh ini hanya mampu membuatmu terluka. Membuatmu menangis dalam diam, tersenyum dalam dusta. Membuatmu semakin menbenci saya dan membuat saya semakin terasingi.
Saya tahu bahwa sejak beberapa tahun ini kamu tengah menjalin hubungan dengan seseorang yang kamu sebut Papa. Bisa apa saya? Saya bahkan tak mampu membuatmu bahagia. Melihatmu bemesraan dengan lelaki itu dua hari yang lalu membuat saya hancur. Tapi bukan kah cinta tentang memahami? Jika memang kamu bahagia dengan lelaki itu, saya hanya perlu menunggu sebuah kejujuran darimu. Saya rela melepaskanmu. Bukan kah saya telah berjanji untuk membuatmu bahagia? Itu pun termasuk melihatmu bahagia dengan yang lain kan?
“MAS! KAMU GILA YA!” jantungku berhenti sesaat ketika jeritanmu terdengar nyata.
Saya menghentikan ciuman mesra yang telah terjadi tanpa saya sadari. Saya melihatmu dengan mata kepalamu sendiri menyaksikan saya tengah berciuman. Air matamu jatuh seketika, saya tersadar apa yang baru saja saya lakukan. Saya terbius, terbawa suasana.
“Dini, dengarkan saya dulu..” ucap saya tak ingin kamu salah sangka.
Lepas Mas! Aku jijik! Jadi ini, jadi ini hasil kamu berteman dengan Ryan, selama ini?” ucapmu menuduh saya.
Lagi-lagi saya membuatmu manangis. Saya tahu ini gila. Tapi kejadian ini benar-benar tak terduga! Saya tak sengaja. saya benar-benar hanya mencintaimu seorang. Itu hanya kehilafan saya tadi. Melihatmu tak berhenti menangis membuat saya terluka.
“Kita cerai saja ya,” kata saya terlontar begitu saja. Saya hanya ingin melihatmu bahagia. Saya hanya ingin melihatmu tersenyum, saya hanya tak sanggup lagi membuatmu menangis. Saya hanya ingin menjadi suami terbaik bagimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H