Mungkin bagi sebagian orang hal ini tidak apa-apa selama masih tahap berpacaran, dan sebagian lagi ada yang bilang sampai menikah pun tidak apa-apa selama ada kecocokan. Banyak pula yang menyatakan bahwa hal itu tidaklah baik. Bagi saya secara pribadi, baik dalam tahap pacaran ataupun sampai tahap pernikahan saya tidak setuju.
Alasan saya adalah bila suatu hubungan berjalan tanpa ada kesamaan visi dan misi dari kedua belah pihak dapat dipastikan tidak akan berjalan mulus. Dalam hal pacaran misalnya, bila seorang pria dan seorang wanita menjalani hubungan, seharusnya mereka tahu bahwa dengan berpacaran mereka sudah harus memikirkan arah dan tujuan mereka selanjutnya. Setidaknya pasti terpikir kelak untuk menikah. Jika tidak, sebaiknya anda tidak perlu berpacaran dengan orang yang tidak punya visi dan misi ke depan dalam hidupnya, karena dapat dipastikan orang itu bahkan tidak menghargai anda. Bagi dia anda hanya sekedar orang yang bisa diajak kemana-mana untuk mengisi waktu luangnya saja, atau bila anda orang yang cukup banyak penggemarnya maka anda hanya dijadikan pajangan atas kesuksesannya menggaet anda sebagai pacar. Istilah lainnya anda dianggap sebuah trophy pajangan dalam hidupnya. Bila ia menghargai anda sebagai pasangannya maka anda sebagai pasangannya pasti ada dalam visi dan misi hidup masa depannya.
Katakanlah, anda berpacaran dengan orang yang agamanya berbeda dengan anda, dengan pikiran "tidak apa-apa selama masih tahap pacaran dan bisa putus kapan saja anda mau" dan ternyata setelah berjalan hampir satu tahun, perasaan anda terhadap pasangan semakin kuat dan sulit melepasnya. Apakah anda sebagai perempuan atau sebagai pria mau hubungan dengan pasangan hanya berputar-putar sekedar di tahap pacaran dan tidak maju-maju? Setahun, dua tahun, lima tahun, atau bahkan sampai sepuluh tahun tetap dengan status "pacaran"? Bila tidak, pastilah anda ingin menikah. Tapi kemudian terbentur dalam menghadapi pihak keluarga.
Dimana-mana keluarga mengharapkan anak-anaknya menikah dengan orang yang memiliki keyakinan yang sama dan menghindari perbedaan. Sanggupkah anda kehilangan orangtua yang melahirkan anda dan bertahun-tahun merawat anda dari kecil sampai mencapai pendidikan yang tinggi sehingga anda berhasil di kondisi anda sekarang ini, hanya karena seorang pria/wanita yang baru anda kenal selama dua atau tiga tahun belakangan ini? Pernikahan tanpa restu orangtua adalah pernikahan yang sangat menyedihkan dan sangat kesepian. Meskipun anda merasa bahwa pernikahan anda bahagia karena banyak kecocokan antara anda dan pasangan karena itu ada orangtua atau tidak ada, tidak ada bedanya. Maka anda salah besar. Bagaimana bila sudah tidak ada kecocokan lagi? Tidak malukah anda kembali kepada orangtua dengan tangisan penyesalan? Bila bisa dicegah sekarang, anda tidak harus menanggung rasa malu yang luar biasa besar terhadap keluarga anda sendiri.
Coba bayangkan, bila anda menikah hanya ada anda, pasangan anda dan katakanlah 2 orang saksi dan seorang penghulu saja, cukupkah kebahagiaan anda? Coba bandingkan dengan bayangan ini, saat anda menikah, setidaknya ada anda, pasangan anda, selusin saksi dari keluarga besar anda dan selusin saksi dari keluarga besar pasangan anda kemudian ada penghulu dan sekitar 30 atau bahkan 100 orang sahabat anda dan pasangan anda yang ikut menghadiri dan merayakan pernikahan anda. Bukankah lebih bermakna pilihan yang terakhir? Anda juga tidak akan bingung ritual agama apa yang akan anda dan pasangan anda pilih saat pernikahan dilangsungkan bila anda dan pasangan anda berada dalam satu agama. Sedangkan pasangan seiman saja sudah cukup sulit memutuskan tempat pernikahan, resepsi, undangan yang disebar dan siapa saja yang diundang, bahkan mengenai menu yang dihidangkan, karena cukup menyita energi dan pikiran. Dan tak jarang pula yang memutuskan untuk berpisah di masa-masa seperti itu.
Lalu jika suatu hari kelak anda dikaruniai oleh 2 orang anak yang manis dan lucu, 1 laki-laki dan 1 perempuan (misalkan). Meskipun ada perjanjian si anak bebas memilih agamanya dari awal, contohnya : si anak lelaki cenderung ikut agama ibu dan si anak perempuan cenderung ikut agama ayah. Tidakkah anda merasa kesepian dan sedih saat harus pergi bersama seorang anak anda ke sebuah rumah ibadah sedangkan anggota keluarga lain tinggal di rumah atau pergi beribadah di tempat lain? Kebahagiaan terbesar dalam keluarga adalah saat sang ayah dan sang ibu dapat berjalan berdampingan seraya bergandengan tangan membawa anak-anak mereka masuk ke ruang ibadah yang sama dan berdoa bersama-sama dengan khusyuk. Sanggupkah anda menatap mata anak anda yang bertanya, "Ayah/Ibu, mengapa Ibu/Ayah tidak ikut pergi dan berdoa bersama kita?". Atau bisakah anda menjawab pertanyaan anak anda yang dilontarkan seraya melihat ke kedalaman mata anda, "Ayah/Ibu, kenapa Tuhan yang disembah Ibu/Ayah bisa berbeda?".
Bila anda merasa miris membaca ini, maka saran saya pada anda pilih yang seiman. Karena sekeras apapun kita berusaha meyakinkan diri bahwa hal ini tidak jadi masalah selama perasaan anda dan pasangan tidak berubah, pasti melelahkan. Lalu bagaimana bila berubah? Sanggupkah anda mengorbankan anak-anak anda? Perceraian bukanlah jalan keluar yang terbaik. Bila anda bisa mencegahnya dari sekarang, kenapa tidak? Warisan yang berharga dan terbaik bagi anak-anak anda bukanlah harta melimpah yang tak habis sampai tujuh turunan, tapi sebuah pernikahan yang bahagia, direstui oleh orangtua, juga kebersamaan dalam Tuhan yang anda sembah dan bertahan sampai akhir hidup anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H