Mohon tunggu...
Endang Hnf Sitorus
Endang Hnf Sitorus Mohon Tunggu... A worker -

Do what you love, Love what you do... #thinker #passion #reviewer #ENTP-A IG: endang.hnf.str, Email: endang.hnf.str@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Korupsi, Bisakah Diberantas?

26 Januari 2012   21:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mirisnya negeri ini. Negara Indonesia tercinta, tanah tumpah darahku, disana pulalah aku dilahirkan. Tapi meskipun begitu tak bisa kuteteskan air mataku untuknya. Bukan karena aku membenci Indonesia, karna kutahu negeri ini kaya raya. Luas lautannya, strategis letaknya, bersahabat iklimnya, melimpah sumber daya alamnya, dan masih banyak lagi yang membuat Indonesia dijuluki Zamrud Khatulistiwa. Tapi Indonesia sedang sekarat.

Aku Cinta Indonesia. Negerinya. Iklimnya. Orangnya? Yah, orang tertentu saja. Lihatlah para petinggi kita. Tak henti-hentinya menggerogoti rakyatnya sendiri. Tapi apa mau dikata? Rakyat teriak, bakar diri, demo tak berkesudahan, masih saja ada yang duduk diam dan tertidur di ruang rapat. Saat ini juga saya menulis bukan untuk mengkritik mereka. Karna, tidak ada gunanya sama sekali. Kuping mereka sudah terlalu tuli mendengar teriakan-teriakan rakyat. Saya meratap untuk negeri ini.

Negeri ini indah, tak kalah dari tanah Kanaan, Israel. Kata Koes Plus, "tongkat kayu, batu pun jadi tanaman". Sayang orang-orang di dalamnya tidak menghargainya sama sekali. Malah banyak yang berusaha menjual negeri sendiri demi kenyamanan pribadi.

Jangan dikira korupsi hanya soal uang rakyat. Waktu dan tenaga yang kita habiskan untuk hal yang tidak seharusnya kita lakukan dalam hidup kita sudah merupakan akar dari korupsi. Orang banyak yang mengecam para pejabat, tapi tanpa kita sadari, kita sendiri sering melakukan hal itu bahkan di depan anak-anak kita, termasuk saya sendiri. Contohnya? Di kampus, dosen datang terlambat atau bahkan tidak masuk, alasannya karena ada urusan bisnis di kota lain, tapi kalau mahasiswa telat dan tidak masuk maka nilai terancam. Lalu resiko buat para dosen apa? Ah, sudah jadi rahasia umum, asalkan ada mark-up class maka semua aman. Apa karena mereka punya kedudukan lebih tinggi dari para mahasiwa? Padahal kalau dilihat-lihat, yang bayar mereka, kan mahasiswanya? Nah, tingkah ini pula kan yang dilakukan petinggi kita?

Atau banyak orangtua yang mengumbar janji pada anak-anaknya dan sayangnya, dari sekian banyak jumlahnya hanya beberapa persen yang ditepati. Atau bilapun anda seorang yang tepat janji pasti ada saat anda terpaksa ingkar janji. Meskipun begitu, pasti anda gengsi untuk mengungkapkan kata maaf pada anak anda dan berpikir wajar si anak itu menunggu, kan anda yang memegang kendali karena anda orangtuanya? Atau anda mencari beribu alasan agar anda dianggap benar dan anak anda mau menunggu dan memberi waktu lagi? Bilapun tidak demikian, maka hidup anda sangat diberkati dan anda harusnya maju Pemilu berikutnya karna dijamin janji anda akan terwujud. Bila benar, bukankah hal itu sama saja dengan tingkah para pejabat kita?

Ah, sekali lagi mirisnya negeri ini. Bila generasi-generasi muda Indonesia telah melihat banyak penyelewengan semasa mudanya tanpa ada yang bertindak benar, maka dapat dipastikan akar itu akan tertanam begitu dalamnya dan sulit dicabut. Anak kecil sangat suka menyontoh dari apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Karena itulah proses mereka untuk belajar mana yang baik dan yang buruk. Dan jika mereka melihat orangtuanya sendiri melakukan hal yang salah tapi tidak berusaha mengubah atau memperbaikinya, maka sang anak akan berpikir hal itu wajar dilakukan.

Jadi, mungkinkah korupsi diberantas? Jawabnya: bisa ya, bisa tidak. Loh, kok? "Ya", jika kita sebagai orang dewasa sanggup berubah secara pribadi dan menyelamatkan negeri ini dimulai dari pendidikan rumah - yang paling mendasar dalam hidup seorang individu - dijalankan dengan benar. Perlu ditandai, "apa yang baik" tidak selamanya menjadi "apa yang benar", karena yang baik belum tentu benar. Dan "tidak", bila kita, saya dan anda sekalian, tidak bisa keluar dari keterpurukan moral ini. Meskipun pemerintah digulingkan, jika yang naik adalah orang-orang bermoral sama, apa gunanya reformasi? Hanya nama tanpa arti, hanya suara tanpa aksi, dan hanya tindakan tanpa hasil karena tidak selaras dengan kenyataannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun