Opini: Kekerasan Fisik di Lingkungan Pendidikan, Tantangan dan Solusinya
Artinya, 'Diriwayatkan dari 'Aisyah, istri Nabi saw, 'Rasulullah saw bersabda, 'Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun yang menyukai sikap lembut. Dia memberikan kepada pada sikap lembut, sesuatu yang tidak diberikan pada sikap kasar dan juga sikap-sikap lainnya." (HR Muslim)
Kekerasan fisik di lingkungan pendidikan menjadi ironi dalam upaya menciptakan generasi yang cerdas, bermoral, dan berbudi luhur. Sebagai tempat pembelajaran dan pengembangan karakter, institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa, bukan sebaliknya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan fisik, baik oleh guru maupun sesama siswa, masih kerap terjadi.
Salah satu contoh mencolok adalah kasus kekerasan di Makassar pada tahun 2022, di mana seorang guru menampar siswa karena tidak menyelesaikan pekerjaan rumah. Tindakan ini mencerminkan pola pikir yang keliru, menganggap kekerasan sebagai alat disiplin. Padahal, pendidikan seharusnya berlandaskan kasih sayang dan pengertian, bukan ancaman dan hukuman fisik. Dampak dari tindakan seperti ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi korban.
Penyebab kekerasan fisik sering kali bersumber dari berbagai faktor, seperti tekanan emosional, kurangnya pelatihan guru dalam pengelolaan kelas, dan budaya yang toleran terhadap kekerasan. Guru, sebagai teladan bagi siswa, perlu dilatih untuk menggunakan pendekatan disiplin yang lebih humanis. Di sisi lain, peran keluarga dan masyarakat dalam menanamkan nilai antikekerasan juga sangat penting.
Dampak kekerasan fisik bagi siswa tidak bisa dianggap remeh. Selain trauma psikologis, korban dapat mengalami gangguan emosional, penurunan harga diri, dan kesulitan belajar. Bahkan, mereka yang pernah menjadi korban sering kali berpotensi meniru perilaku agresif di kemudian hari. Oleh karena itu, kasus kekerasan fisik dalam dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian serius, termasuk dari sisi hukum.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah dengan tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Namun, implementasi undang-undang ini masih sering terkendala oleh budaya diam, di mana korban dan keluarga enggan melaporkan kasus yang mereka alami. Ini menjadi tantangan besar yang harus diatasi melalui peningkatan kesadaran hukum dan pemberdayaan korban.
Solusi atas kekerasan fisik di lingkungan pendidikan tidak dapat diselesaikan dengan cara kekerasan lainnya, seperti prinsip "mata dibalas mata". Sebaliknya, pendekatan yang lebih efektif adalah memastikan pelaku mendapat hukuman yang adil sekaligus memberikan rehabilitasi agar tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, pelatihan guru dalam manajemen emosi dan metode pengajaran yang mendukung kesejahteraan siswa harus menjadi prioritas.
Menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan adalah tanggung jawab bersama. Guru, orang tua, dan pihak sekolah harus saling bekerja sama untuk menanamkan nilai-nilai kedamaian dan pengertian. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi ruang yang benar-benar mendukung perkembangan anak secara utuh---fisik, mental, dan emosional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H