Mohon tunggu...
mayshinta
mayshinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just Reading

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sesederhana itu Mimpiku

20 Desember 2024   14:12 Diperbarui: 20 Desember 2024   14:12 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Fay, aku gadis desa sederhana yang tinggal di gubuk hangat bersama Ayah, Ibu, dan dua saudara perempuanku. Aku dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih. Berbeda dengan kebanyakan gadis seumuranku yang sudah menerbangkan mimpi-mimpi besar di langit, aku masih menikmati alurku yang sekarang.
Waktu demi waktu berlalu, aku masih belum memikirkan "Bagaimana masa depanku?", "Apa yang harus aku lakukan?", dan "Mau jadi apa aku?". Aku pikir semua akan berjalan baik tanpa harus cepat-cepat menentukan mimpiku. Namun, diluar yang kubayangkan, orang-orang sekitarku mulai memperhatikanku. Beberapa bahkan ada yang menyindirku "Fay kamu mau kerja apa?", "Coba liat teman-temanmu, mereka sudah memiliki masa depan yang cemerlang!"

Kata-kata itu berkali-kali menamparku walaupun aku berusaha mengabaikannya. Mereka membuatku meragukan diriku sendiri. "Apa memang benar aku terlalu lamban menentukan tujuan hidupku?" Tekanan itu semakin kuat setiap harinya hingga akhirnya aku memutuskan untuk berubah menjadi Fay yang lain, yang 180 derajat berbeda dari Fay sebelumnya. Aku menjadi orang lain, aku kehilangan diriku sendiri. Hingga akhirnya aku sadar, mimpiku adalah milikku, orang lain tidak memiliki hak untuk menyetir diriku.

Mimpiku bukanlah menjadi seseorang yang berdiri di atas panggung dan mendapat sorotan terang. Sebaliknya, aku ingin menjadi orang yang bekerja di balik layar, memberikan cahaya tanpa harus terlihat.

Aku ingin menjadi seperti embun pagi, meskipun hadir dalam keheningan, tetap memberikan kesejukan bagi daun-daun yang kehausan. Atau mungkin seperti angin yang lembut menyapa, tak pernah terlihat namun selalu dirasakan. Dan mungkin juga seperti mentari pagi yang hangat sinarnya walaupun belum tampak wujudnya. Memberikan sinar perdamaian dan hangat yang menenangkan. Aku ingin menjadi embun, angin, dan mentari pagi itu, kehadiranku tak perlu diumumkan, tapi dampaknya nyata. Aku rasa, sesederhana itu mimpiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun