Di era digital yang serba cepat ini, Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi sebagai teman dekat mereka. Sebagian besar hidup mereka dijalani secara daring, di mana semua orang bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh orang lain hanya dengan meng-scroll layar ponsel. Dengan kemudahan ini, hadir pula fenomena yang semakin menonjol, yaitu FOMO---Fear of Missing Out. Fenomena ini menggambarkan ketakutan akan tertinggal atau kehilangan pengalaman menarik yang dialami oleh orang lain. Tapi pertanyaannya, apakah FOMO adalah sesuatu yang harus kita terima begitu saja sebagai bagian dari kehidupan digital, ataukah ini sesuatu yang patut dikhawatirkan?
Kehidupan Digital yang Penuh Tekanan
FOMO muncul dari keinginan untuk selalu "terhubung" dan mendapatkan pengalaman yang sama seperti teman-teman, selebriti, atau bahkan orang asing di media sosial. Gen Z kerap merasa seakan-akan mereka harus selalu up-to-date dengan segala hal yang terjadi---mulai dari tren fesyen terbaru, tempat makan yang sedang populer, hingga pesta-pesta yang mereka lihat di Instagram atau TikTok.
Ketika media sosial menjadi etalase kehidupan glamor, sangat mudah untuk merasa bahwa kita "ketinggalan" sesuatu yang penting. Ada tekanan besar untuk selalu terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang "instagramable," sehingga hidup seolah-olah menjadi semacam kontes siapa yang bisa menunjukkan momen paling keren. Namun, apakah tekanan ini sehat?
Antara Perasaan Terhubung dan Kehilangan Diri Sendiri
"You don't need to be everywhere to belong. Sometimes the best moments are the ones you create in your own time and space."
Dalam banyak kasus, FOMO telah menjadi bagian integral dari budaya Gen Z. Pengalaman ini seringkali dianggap lumrah. Mereka terus-menerus dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti tren terbaru atau berisiko merasa terasing dari lingkaran sosial. FOMO telah menanamkan rasa takut akan kehilangan hubungan, kesempatan, atau bahkan relevansi sosial, sehingga dorongan untuk selalu berada di tengah-tengah "aksi" menjadi kuat.
Namun, ada sisi gelap dari FOMO yang tidak bisa diabaikan. Rasa cemas, stres, bahkan kecemburuan sering kali mengiringi dorongan untuk selalu terlibat. Hal ini dapat mengarah pada gangguan kesehatan mental yang serius, seperti kecemasan dan depresi. Gen Z tidak hanya terobsesi dengan apa yang mereka lewatkan, tetapi juga mulai meragukan nilai diri sendiri berdasarkan pengalaman orang lain.
Apakah Ini Bisa Dinormalisasi?
Di sinilah perdebatan dimulai. Apakah FOMO, dengan segala efek negatifnya, bisa dan seharusnya dinormalisasi? Di satu sisi, FOMO adalah produk alami dari keterhubungan digital yang begitu intens. Sulit untuk sepenuhnya menghilangkan FOMO dari kehidupan Gen Z karena media sosial dan teknologi adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka. Bahkan, beberapa orang berpendapat bahwa FOMO memiliki manfaat terselubung---seperti memotivasi untuk terus berkembang, mencari pengalaman baru, dan merangkul tantangan hidup.
Namun, disisi lain, kita harus mempertimbangkan dampak psikologis jangka panjangnya. Memang benar, teknologi tidak akan hilang dan keterhubungan global adalah kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tetapi, apakah kita akan membiarkan generasi muda kita hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan rasa cemas yang terus-menerus?