Mohon tunggu...
Mayharjanti Harjanti
Mayharjanti Harjanti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Ibu tiga puteri yang belajar menuliskan apa yang dilihat dan dirasa di sekelilingnya. Menyemai harapan untuk kebaikan dan damai negeri.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

BERUSAHA BERBAHASA

25 September 2012   07:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:45 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan perkara yang mudah apalagi untuk mendiseminasikannya kepada orang-orang di sekitar kita. Saya bekerja di sebuah instansi pemerintah yang sudah seharusnya ikut serta mengupayakan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Sebagai pegawai negeri sipil yang hampir setiap hari menyiapkan konsep surat dan membuat notula rapat untuk pemimpin atau atasan saya, tentu saya sangat senang menggali hal-hal yang berkaitan dengan kebahasaan. Bukan untuk sok atau berlagak, tetapi sebagai upaya mencintai bahasa sendiri sekaligus mencintai negeri ini.

Alhamdulillah, meskipun belum sempurna, beberapa kolega sudah mulai memberikan apresiasi terhadap proses pembelajaran saya terhadap Bahasa Indonesia. Para kolega sudah tak sungkan lagi menelepon saya sekadar menanyakan, “Mbak, kalau menulis November itu pakai v atau p, kalau Februari pakai f atau p, penulisan provinsi pakai v atau p?” Ada pula yang menanyakan, “Mbak, kalau izin itu pakai z atau j?” “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pakai z,” jawab saya. Ada seorang kolega yang kritis mendebat jawaban saya “Mengapa masih banyak yang menggunakan j bukan z, contohnya pengurusan perijinan, dinas perijinan, bisa dilihat di beberapa website dinas-dinas di daerah?” seraya menyebutkan beberapa website dinas daerah.

Selain penggunaan konsonan yang sesuai dengan KBBI, beberapa kolega juga mulai hafal kalau saya lebih memilih menggunakan kata penyunting daripada editor, mendiseminasikan daripada menyosialisasikan, mengunggah daripada meng-upload, mengunduh daripada men-download, memindai daripada men-scan, petahana daripada incumbent, dan sebagainya.

Suatu kali dalam sebuah pertemuan tim kerja penyusunan buku memori jabatan untuk pucuk pimpinan di kantor, saya sempat berdebat dengan atasan saya. Beliau memang seorang yang elok dalam bertutur, teliti dalam menulis, dan mau belajar dari orang lain asalkan argumen yang dikemukakan tepat. “Mbak, mengapa menulis lambang nilai uang dan angkanya serangkai?” (waktu itu saya menulisnya Rp10.000.000). Saya memang tidak tahu persis alasannya tetapi saya sampaikan bahwa dalam Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD) ada diktum yang mengatur penulisan bilangan. Esoknya saya disuruh membawa kepada beliau buku Pedoman Umum EYD dan diminta menunjukkan tentang aturan penulisan angka dan lambang.

Namun, yang membuat saya belum juga mantap dalam menulis hingga hari ini adalah ketika harus menuliskan akronim kementerian. Penulisan akronim yang sering digunakan belum konsisten karena agaknya belum ada aturannya. Perubahan nomenklatur dari departemen menjadi kementerian berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara juga otomatis mengubah pula akronim yang sering digunakan untuk menyebut sebuah kementerian.

Kalau kita menyebut Kemendagri, secara umum orang akan langsung menunjuk kepada Kementerian Dalam Negeri, tetapi akronim ini pun sebenarnya tidak salah kalau kita rujuk kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Ketika menyebut Kemenlu (pada website resminya disebut Kemlu) ada bagian yang terbuang ketika dibuat akronim, yaitu kata negeri karena “kemen” menunjuk pada kata kementerian “lu” menunjuk pada kata luar, dan “negeri” tidak turut andil dalam pembentukan akronim ini sebagaimana pada penyebutan akronim Kemendagri. Ketika membaca di media massa, akronim Kementerian Sosial masih dapat kita temukan dalam dua bentuk yaitu Kemsos dan Kemensos. Namun, ketika menyebut Kementerian Agama seolah-olah ada kesepakatan untuk menyebutnya Kemenag dan saya belum menemukan ada yang menyebut Kemag. Saat kita menyebut Kementerian Hukum dan HAM pun rasanya sah-sah saja kalau ada yang meng-akronimkannya menjadi Kemenkumham atau Kemenhukham. Kementerian Sekretariat Negara menjadi Kemensetneg, Kemensekneg, atau Kemsetneg. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam penyebutan akronimnya dapat kita temukan tertulis Kemenpan dan RB atau Kemen PAN dan RB.

Dalam Pedoman Umum EYD disebutkan untuk membuat akronim, setidaknya harus memerhatikan syarat-syarat berikut (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.

Dari contoh-contoh tersebut dan memerhatikan Pedoman Umum EYD, Kemendikbud (Kemdikbud) yang memiliki Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sudah saatnya untuk mengaji hal ini karena dua tahun ke depan, tahun 2014, masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II akan berakhir. Bukan tidak mungkin nomenklatur kementerian/lembaga pemerintah akan berubah lagi, tergantung kepada kebijakan pemimpin negeri tercinta ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun