Sabtu malam, bajaj yang saya tumpangi dari Stasiun Kereta Api Manggarai berjalan lambat diiringi suara khas gemuruhmesinnya.Jalanan basah oleh rintik air yang tak begitu deras.Berbelok dari jalan utama menuju jalanan sempit ke arah rumah tinggal saya. Tak ada yang bisa dilakukan saat posisi seperti ini selain menikmati gelapnya ruang sempit bajaj yang gelap tanpa lampu, mendengarkan gemuruh mesin tua si bajaj, dan sesekali diterpa semilir aroma masakan dari gerobak penjaja makanan.
Kurang lebih tiga ratus meter dari rumah tinggal saya, gemuruh bajaj terdengar pelan dihantam suara musik dangdut yang membahana. Dari kejauhan tampak tenda putih terbentang menutup jalanan sempit menuju rumah tinggal saya. Sudah bisa dipastikan, akses jalan ditutup tak bisa dilewati kendaraan jenis apapun.Selembar pecahan sepuluh ribuan saya serahkan kepada pengemudi bajaj, yah....saya harus melanjutkan perjalanan berjalan kaki mlipir ke gang kecil di sebelah tetangga yang sedang punya hajat menikahkan putra-putri mereka.
Saya berteduh sejenak di emper kios tukang jahit yang sudah tutup sambil menunggu gerimis sedikit reda. Lagu demi lagu dinyanyikan oleh seorang biduan yang berpakaian gemerlap. Dari tempat saya berteduh tampak sang biduan bergoyang membuat para lelaki yang menyaksikan tontonan ini bergantian naik ke panggung untukikut bergoyang atau sekadar menyerahkan uang saweran. Mereka sedang berpesta, mereka sedang bersuka gembira.
Pagi ini,saya harus melewati jalan yang sama. Namun, belum juga saya melewatinya, salah serang tetangga menyapa saya. "Mbak, mau nyolawat nggak?" Istilah nyolawat biasa digunakan di kampung saya untuk mengganti kata takziah atau mungkin mengganti kata melayat atau melawat. Entahlah, yang jelas setiap ada yang meninggal dunia, ibu-ibu di kampung tempat saya tinggal mendatangai rumah duka dengan istilah nyolawat.
"Iya, Bu. Nanti saya sekalian jalan ke kantor mampir nyolawat, " jawab saya yang memang baru selesai menyiapkan bekal sekolah anak-anak. Benar, akses jalan mulai depan gerbang rumah sudah dipasang tanda bertuliskan "jalan ditutup" dan di sampingnya tertancap bendera kertas berwarna kuning.
Saya datangi rumah duka, disana sudah berkumpul para kerabat dan tetangga. Saya tidak begitu mengenal almarhumah. Tapi saya mengenalsi Eceuk putri almarhumah karena saya adalah salah seorang customer si Eceuk yang sehari-hari jualan nasi uduk, gorengan, dan lontong sayur. Setiap Ramadlan saya sering minta bantuan si Eceuk untuk menyiapkan takjil buat jamaah musholla di dekat rumah. Suami saya yang sejak keciltinggal di kampung ini bilang suami almarhumah itu adalah guru ngajinya waktu suami masih usia TK sampai sekolah dasar. Begitulah saya dan suami mengenal mereka.
Jenazah masih belum disucikan, tampak ibu-ibu dibantu bapak-bapak takmir mushollasedang menyiapkan perlengkapan untuk memandikan jenazah.Sebagian ibu-ibu yang lain membaca surah Yasin disamping jenazah yang masih ditutup kain batik motif sido mukti berwarna coklat tua. Tak saya dengar isak tangis disana, tapi bukan berarti mereka tak berduka. Sejenak saya duduk diantara kerabatnya, secuil pembicaraan terdengar di telinga saya. "Eceuk, soal ambulance sudah beres. Tadi sudah telpun ke layanan ambulance gratis yang di Pasar Minggu. Cuma yang belum beres soal tempat di Menteng Pulo, masih harus nego...."
Hidup memang ada dua sisi , kadang suka kadang duka bahkan kadang suka bercampur duka menyatu dalam satu waktu.Kemarin, janur kuning melengkung di jalan ini. Hari ini, bendera kuning menancap di jalan ini. Kemarin orkes dangdut menjadi simbol pesta. Hari ini, bacaan surah Yasin menyiratkan duka. Kemarin senda gurau kerabat dan tetangga menjadi potret suka cita. Hari ini, gotong-royong warga menjadi tanda belasungkawa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI