Hujan itu seperti engkau. Datang tak terduga, kemudian pergi begitu saja. Tinggal aku yang menatap cucuran air putih keperakan di atap.
Pada Oktober tahun ini hujan kembali hadir, sayang. Ada banyak cara untuk membunuh waktu sambil menunggu luncuran bening dari langit itu berhenti. Salah satunya menulis sesuatu tentangmu di sini. Aku memainkan jari, menyatukan aksara di tepias kaca, sebelum akhirnya menjadi sebuah nama yang tak asing lagi untuk kueja. Namamu.
Aku tahu. Sebab menulis tentang engkau sama saja dengan memanggil kenangan. Aku ragu. Tetapi, apalagi yang aku mampu ketika terpenjara rindu? Tak ada.
“Kau tahu? Sebenarnya hujan turun karena langit sedang merindukan bumi.”
“Benarkah?”
“Ya. Langit mengirimkan pesan rindunya lewat hujan, setelah mereka dipisahkan.”
“Kau konyol!”
“Dan kau lebih konyol karena menyukai lelaki konyol sepertiku.”
Sesekali aku menatapmu. Bukan tatapan yang biasa kuberikan, tapi lebih tajam. Tatapan yang mengisyaratkan ketakutan, semenit sebelum kuberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan aneh.
“Bagaimana jika akhirnya kita harus berpisah, apa kau bisa mengirimkan sesuatu?”
“Akan kukirimkan hujan itu untukmu.”