Mohon tunggu...
Mayek Prayitno
Mayek Prayitno Mohon Tunggu... Seniman - Seniman dan penulis seni rupa

Suka science fiction

Selanjutnya

Tutup

Seni

Seni Grafis: Mengunduh Pelat Bekas Cetakan

20 Maret 2023   09:47 Diperbarui: 20 Maret 2023   10:03 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Mayek Prayitno

Seni rupa kontemporer berkembang melampaui batas teritorial, ras, keyakinan, etika, gagasan, ekspansi media dan lainnya. Dalam lintas batas itu strategi - strategi kreatif bermunculan dan mengemuka dalam mimik wajah seni rupa kita dengan berbagai bentuk visual yang diambil dari mana saja, berbahan apa saja dan bagaimana maunya gagasan, sejauh itu memiliki relevansi, daya gugah dan tentunya dimasa sekarang  jadi dokumentasi banyak orang. Salah satunya menjadi referensi untuk mengembangkan ide dan mendorong publik untuk berpikir reflektif. Dimana proses apresiasi dan kelahiran makna menjadi insight yang melekat pada mereka yang menikmati dan mengalaminya. Namun, sesungguhnya yang menarik adalah satu entitas yang tak muncul dipermukaan yakni, bagaimana relasi proses produksi karya seni ditengah pengaruh meletiknya gagasan terhadap penciptaan kode, simbol atau kehadiran metafora dan pilihan materialnya, apakah ia berasal dari penguasaan material atau sebaliknya : ide membutuhkan instrumen yang tepat, atau sebenarnya ia muncul secara spontan ?, bagaimana seorang seniman memutuskannya dan apa setelahnya atau bagaimana hasilnya hingga kemudian bisa memicu selera absurd estetik dan artistik pada subyek, semata karena senang dan suka.

Syahrizal Pahlevi salah satu seniman terkemuka Indonesia yang berbasis di Yogyakarta, sibuk mengoprek gagasan - gagasan yang berkaitan erat dengan media yang digelutinya selama bertahun - tahun. Idenya muncul ketika material/media atau bahan dari bekas hasil sebuah karya cetakan tidak memiliki konteks, tidak "eksis" dan berdasar kondisinya, bebas makna. Bahan berupa pelat bekas dari hasil cukilan hardboard dan triplek ini akan terbengkalai jika ia tidak direspon lagi setelah dicetak. Pelat ini perlu diangkat kembali dari "ketidakbergunaannya" dan dijejali pertanyaan untuk memastikan relevansi dan signifikansinya ditengah perebutan keunikan dan kekhasan media oleh mereka yang berburu kebaruan. Untuk menghidupi material yang kurang berguna tersebut, Levi mulai memancing banyak pertanyaan setelah ia mengalami kemelut diakhir proses produksi karya seni grafis, selain berpikir bagaimana mendistrisbusi karya. Kira - kira mau diapakan seharusnya pelat yang sudah tidak digunakan untuk mencetak ini?. Memang pada akhirnya pelat itu ikut dipamerkan dengan hasil cetakannya, karenanya material/media pasca produksi itu keberadaannya sekarang memiliki konteks, yang telah dibentuk bersama oleh kondisi proses selama produksi sehingga ia tidak teralienasi. Selebihnya pelat itu sekarang eksis untuk dimaknai dan kita andaikan menjadi alter ego dari karya cetak tersebut.

Proses produksi karya seni grafis, boleh dikata, setidak - tidaknya membutuhkan energi lebih, salah satunya teknik cukil pada hardboard, apalagi teknik reduksi yang membutuhkan konsentrasi dan ketelitian agar ketepatan cetakan konsisten, tintanya rata, tidak geser atau tidak blawor hasil cetakannya. Hal lainnya juga, kebanyakan teknik seni grafis terdapat tingkat kerumitan dan kesulitan tersendiri, suatu tantangan terlebih ketika teknik itu dikombinasi dengan teknik lain yang bermula dari induk pelat dan menghasilkan cetakan berikut edisi yang mengikutinya. Plate yang dicukil dengan baik, ada kalanya menghasilkan cetakan yang kurang bagus, bahkan gagal. Dengan mencetak beberapa edisi, biasanya menghasilkan cetakan sempurna. Hasil cetakan tersebut menjadi jejak (trace : menjadi karya seni cetak dan punya kembaran) dari si empunya pelat tadi. Jejak itu segera digandakan sesuai kebutuhan, sesekali dibuat satu / dua edisi cetakan.

Sementara, pelat yang sudah "eksis" mendapat konteks dan penafsiran itu, kadangkala juga hadir bersama hasil cetakan untuk saling melengkapi. Sampai pada dua artefak (pelat dan hasil cetakan) ini, dua - duanya bisa saja saling bertolakan, karena bisa saja salah satunya sangat mungkin diberi definisi yang berbeda, alias sempalan dari ide yang satunya, jika pelat tidak diniatkan hadir bersama hasil cetakan. Maka perluasan dari seni grafis ini, sepenuhnya jadi alternatif dan strategi berkarya untuk meminimalisir kendala dan sebuah fenomena dari gejala perkembangan dari seni grafis itu sendiri. Penggunaan lembaran pelat besi dan pelat yang berbahan serbuk lunak seperti hardboard atau MDF, juga multipleks sedang dirayakan oleh para pegrafis dimasa pasca produksi, ini sudah jamak digunakan sebagai material / media karya seni yang berdiri sendiri. Ia bisa jadi hybrida, membelah diri, mengalami ambiguitas dan mungkin saja dibubuhi identitas, agar jejak perkembangan seni grafis bisa diidentifikasi untuk melihat kemungkinan baru menjadi "sesuatu" disuatu masa. Ia bisa jadi lukisan, disaat yang sama juga menjadi karya seni grafis atau menjelma jadi mural melalui stencil, hingga upaya identifikasi itu tidak diperlukan, selagi kebutuhannya tidak terlalu mendesak. Sejatinya, ia sudah luruh dalam paradigma seni rupa kontemporer.

Dalam upayanya mencari tahu atas jelajah kreatifitasnya sendiri, Levi mencoba mengidentifikasi pelat - pelat yang sedang dipamerkan ini beserta hasilnya. Bagi Levi, pelat - pelat yang mulanya nirmakna ini tak lain merupakan bagian penting dari proses produksi dan setelahnya. Adalah bagian - bagian yang perlu dipikirkan kembali untuk memantik diskusi, fungsi dan peran pelat pasca dicetak, tidak ujug - ujug dipamerkan begitu saja. Kesertaan konsep atau narasinya berkelindan dengan hasilnya. Sehingga penggunaan pelat dalam konteks seni grafis yang banyak bermunculan dalam beberapa dekade ini sebagai karya otonom memiliki landasan dan akar kelahirannya. Kiranya ada suatu alasan kenapa pelat itu mesti hadir sebagai karya seni disamping hasil cetakannya. Ia adalah produk niscaya dari hasrat kreatif pegrafis dalam mengeksplorasi bahasa ungkap dan media, setelah mengalami konvensi, darinya praktik produksi menggunakan pelat itu bisa diproduksi secara mandiri, dibentuk, dicukil, diwarnai, dipotong, dikombinasi dengan tumpukan dan lain - lain. Pada perkembangan mutakhir ini, ia tidak memerlukan cetakan, dengan sendirinya membentuk nilai bagi pegrafis dan akademisi, meskipun pola mekarnya kurang terdeteksi ditengah arus mainstream perburuan karya seni.

Pada karya - karya pelat Hardboard Levi di pameran ini, bisa jadi salah satu cara menggali lagi keberadaan medium seni grafis yang selama ini ia tekuni secara konsisten. Pelat bekas itu menunjukkan jejak - jejak bentukan figur impresif, menangkap kesan sepintas melalui cukilan yang berkarakter tegas, kilasan dari potret diri teman - teman yang ia kenal. Pada pelat itu terkesan warna yang saling bertumpangan dibeberapa bagian. Ada juga citra panorama lingkungan keseharian yang bisa kita kenali dalam bentuk gedung, rumah, tanaman dan barisan teks - teks yang mengacu pada layanan jasa, tipologi sederhana ini dengan jelas memberi kita asumsi pekerjaan seseorang/masyarakat yang hidup disuatu tempat dalam suasana modern - industrial. Selain itu, ia juga memamerkan karya instalasi dan memanipulasi atmosfer ruang pamer melalui siasat pengaturan dan peletakan karya. Levi sedang "meniup roh" pelat bekas cetakan yang nyaris diabaikan itu untuk menanggapi dan mengkritisi proses berkaryanya sendiri dengan pertanyaan setegas - tegasnya : "akan dikemanakan pelat hasil cetakan itu".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun