Mohon tunggu...
Maya Satriani Ayuningtyas
Maya Satriani Ayuningtyas Mohon Tunggu... -

Karena menulis adalah kebutuhan, dan saya banyak belajar di Dema Justicia :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Warna Baru Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

8 April 2014   16:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui dalam hukum acara pidana dikenal istilah praperadilan. Dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, praperadilan dimaksudkan sebagai wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan mengenai permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (pasal 1 angka 10).  Ternyata praperadilan merupakan salah satu sistem dalam peradilan pidana yang baru diadopsi melalui UU No 8 Tahun 1981 karena sebelumnya praperadilan tidak dikenal dalam hukum acara pidana lama yang diatur dalam Herziene Inlandsche Reglement (H.I.R). HIR menganut sistem inquisitoir, yaitu menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka, sehingga sejak saat pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah apriori dianggap bersalah

Andi Hamzah berpendapat bahwa praperadilan adalah salah satu jelmaan dari Harbeas Corpus sebagai prototype, yaitu sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana. Oleh karena tujuan praperadilan yang ingin melindungi HAM maka sudah seharusnya ketentuan mengenai praperadilan diatur sedemikian rupa untuk mengakomodir kepentingan para pihak. Keberadaan Putusan MK No 65/PUU-IX/2011 mengenai pengujian pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Putusan MK No 98/PUU-X/2012 mengenai pengujian pasal 80 UU No 8 Tahun 1981 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan warna baru dalam sistem praperadilan di Indonesia.

Perkara No 65/PUU-IX/2011 tentang pengujian pasal 83 ayat (1) dan (2)  terhadap UUD NRI Tahun 1945 dikatakan melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 karena memberikan batasan kepada pemohon praperadilan untuk mengajukan banding mengenai putusan praperadilan mengenai pasal 79, 80, dan 81. Ketentuan tersebut berarti mengandung makna bahwa permintaan banding hanya dapat diajukan mengenai putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Hal ini menunjukkan adanya ketentuan yang diskriminatif terhadap pemohon prapradilan yang berkaitan dengan adanya putusan mengenai sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan karena di sisi lain ketentuan UU tersebut memberikan peluang untuk penyidik dan penuntut umum dalam mengajukan banding atas putusan praperadilan. Oleh karena itu MK melalui Putusan No 65/PUU-IX/2011 memutuskan bahwa pasal 83 ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini berarti baik pemohon praperadilan dan penyidik/penuntut umum sama sekali tidak memiliki hak untuk mengajukan banding atas putusan praperadilan.

Selanjutnya pasal 80 UU No 8 Tahun 1981 dikatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena membatasi pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan hanya sebatas saksi korban atau pelapor. Pengertian pihak ketiga harusnya dimaknai lebih luas agar kepentingan umum dapat terakomodir dengan baik misalnya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat. Mengutip Pertimbangan Hakim Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, konsepsi hukum pidana berbeda dengan konsepsi hukum perdata sehingga tidak menjadi relevan alasan kepentingan dan kerugian sebagaimana diatur dalam konsepsi hukum perdata. Oleh karena itu melalui Putusan MK No 98/PUU-IX/2013 dikatakan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan seperti yang dimaksud dalam pasal 80 UU No 8 Tahun 1981 dimaknai termasuk saksi korban, pelapor dan lembaga swadaya masyarakat serta organisasi kemasyarakatan. Dengan demikian diharapkan adanya pengawasan dari masyarakat dalam upaya melindungi Hak Asasi Manusia khusunya pihak yang berperkara dalam sistem peradilan pidana.

Tidak berhenti disitu. Upaya memaksimalkan praperadilan dalam upaya melindungi HAM dapat tercermin dalam Rancangan KUHAP yang sudah sekian lama dibahas oleh lembaga legislatif. Dalam Rancangan KUHAP praperadilan berganti baju menjadi Hakim Komisaris yang memiliki kewenangan yang jauh lebih luas dari praperadilan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981. Kewenangan Hakim Komisaris adalah untuk menilai sah atau tidaknya upaya paksa baik mengenai penangkapan, penahananan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan serta untuk soal penangguhan penahanan bagi tersangka. Hakim Komisaris juga berhak memutuskan suatu perkara yang diajukan penuntut umum kepadanya layak atau tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Dalam penjelasan RKUHAP ini dijelaskan bahwa Hakim Komisaris merupakan lembaga baru yang menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya.  Praperadilan selama ini dinilai hanya menjalankan pengawasann secara administrative dimana menentukan sah atau tidaknya upaya paksa melalui proses administratifnya. Sementara tidak ada kewenangan praperadilan dalam mengawasi prosedur yang tidak sesuai dalam upaya paksa yang berhubungan dengan sikap sewenang-wenang penegak hukum kepada tersangka. Melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik diisyaratkan bahwa apapun tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus segera dihadapkan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu dalam Rancangan KUHAP  dibuatlah suatu ketentuan dimana Hakim Komisaris berwenang untuk mentepakan dan memutuskan pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Hal itu dapat [ula tercermin dari penjelasan pasal yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upaya paksa adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan membawa secara fisik tersangka ke  hakim komisaris. Dengan adanya perluasan makna upaya paksa inilah Hakim Komisaris tidak hanya sekedar berwenang melakukan pengawasan dari segi administratfi namun juga pelaksanaan prosedur upaya paksa tersebut.

Tentu ada pro dan kontra mengenai kewenangan hakim komisaris dalam Rancangan KUHAP ini. Salah satunya adalah Hakim Komisaris akan mengalami perbenturan kewenangan dengan pihak penyidik karena birokrasi yang mengharuskan upaya paksa mendapatkan izin dari Hakim Komisaris akan betentangan dengan asas peradilan cepat. Selain itu dengan kewenangan yang sangat luas yang diberikan kepada Hakim Komisaris memungkinkan adanya kesewenang-wenangan dari pihak Hakim Komisaris apalagi dalam ketentuan Rancangan KUHAP membolehkan adanya penggunaan kewenangan berdasarkan inisisatif Hakim Komisaris yang bersangkutan sementara dalam melaksanakan tugasnya Hakim Komisaris hanya diawasi oleh Tim Pengawas dari Pengadilan Tinggi. Dapat terjaminkah integritas dan kapabilitas Hakim Komisaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya?

Harapan saya hanya satu, semoga praperadilan dalam baju yang baru ini bisa melaksanakan fungsinya dengan baik dalam upaya perlindungan hak para pihak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia terutama dalam proses upaya paksa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun