“Tapi kamu tidak bisa sebut namaku dengan benar.” Charlie menunjukkan wajah pura-pura tersinggungnya. Aku menepuk bahunya jengkel, “Dan namaku? Widuri dan Linda terlalu jauh jaraknya…tapi Chaplin dan Charlie? Wait…kenapa kamu panggil aku Widuri? Apa pacarmu dulu waktu kuliah di Indonesia juga kamu panggil Widuri?” mataku berbinar-binar usil.
Charlie terlihat berpikir sejenak. “Widuri, aku tidak mau cerita.”
“Ok, tapi ajak aku keliling Mastricht ya? Aku pingin ke jembatan itu. Pemandangan kanalnya bagus.” aku menunjuk ke arah jembatan besar yang menghubungkan sisi kota yang lain dengan sisi kota tempat kami berada. Di sepanjang kanal yang membelah kota, berjejer bangunan-bangunan kuno antik. Dengan atap-atap tinggi menjulang dan jendela-jendela kokoh berbingkai putih, dari jauh bagaikan sangkar burung yang dicat merah bata, putih, coklat, bahkan hijau.
Sebenarnya, aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Di sini aku belajar untuk sangat menghargai kehidupan pribadi orang lain. Suatu jawaban yang sangat terus terang, dan aku harus menerimanya tanpa bertanya lebih lanjut – ada apa sebenarnya?
“Beres bos,” Charlie menarik tanganku, dan setengah berlari aku mengikuti langkah kakinya yang lebar. “Hari ini terlalu hangat untuk bercerita sedih, ada kamu, kita harus tertawa seharian.” Charlie memamerkan senyum lebarnya. “Ayo, kamu kutraktir ice cream.”
Kami akhirnya berhenti untuk menikmati semangkuk ice cream di sebuah kafe yang menggelar meja dan kursi di luar. Semuanya dipadati orang yang bersantai sambil berjemur, sekedar minum cold beer atau segelas witte wijn dingin sambil menikmati kentang goreng dengan garlic sauce. Ada juga beberapa pasangan yang duduk saling bertatap-tatapan dengan mesra, saling menggenggam tangan, tanpa berkata-kata. Selalu menyenangkan untuk melihat sesuatu yang indah, walau itu kebahagiaan orang lain yang samasekali tidak kukenal.
“Widuri, kamu tahu kan orang Belanda sangat tergila-gila sama makanan Indonesia?”
“Yap, di Leeuwarden banyak restaurant Indonesia, juga ada TOKO, KIOS.” aku sibuk menyendok ice cream ke mulutku, seolah takut akan direbut Charlie.
“Hehe, tahu tidak di snack bar mereka jual kentang goreng dengan satay sauce, satay ayam, juga kerupuk emping. Even McDonald, they sell satay sauce. Juga di supermarket mereka jual lumpia goreng Semarang, sop buntut, baso sapi, semuanya instant!”
“Wah, rasanya bangga ya jadi orang Indonesia. Chaplin, aku minta sedikit ya ice cream-mu. Punyaku sudah habis.” tanpa menunggu jawaban, aku menyendok ice cream rasa manggo dari mangkuk Charlie. “Enak,”
“Kamu wanita Indonesia yang sangat rakus dan sedikit tidak sopan.” Charlie benar-benar mulai akrab dengan kebiasaan rakusku.