Mohon tunggu...
Maya Nirmala Sari
Maya Nirmala Sari Mohon Tunggu... Freelancer - Dosen - Editor Website Bisnis dan Keuangan

Peduli lingkungan dan cinta buah-buahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Pagi di Puncak Rinjani

10 Februari 2016   18:11 Diperbarui: 10 Februari 2016   18:23 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya aku bisa membuka mata.

Butuh waktu beberapa detik sampai aku menyadari dimana aku terbaring pagi ini. Hawa dingin menyeruak ke dalam tenda berwarna kuning menyala. Ah, dimanakah fajar yang katanya indah itu?

"Sudah bangun, ya?" Katamu, retoris. Tatapanmu lembut seolah bertanya, "kamu ingat apa yang terjadi tadi malam, nduk?"

Aku hanya tersenyum, masih mengantuk. "Sini, kak," aku memintamu duduk mendekat.

Kamu menggeser mundur. Menjauhi pintu tenda yang terbuka untuk memamerkan pucuk-pucuk daun yang terguyur hujan semalaman. "Ada apa?" katamu, lirih.

Aku meletakkan kepala di pangkuanmu. Kau menarik nafas panjang, entah apa maksudnya. Lalu jemarimu mulai membelai rambutku. Kicau burung sayup bersahutan di luar. 

"Aku bahagiaaaa sekali," kataku. Ya, aku seperti merasakan de javu. Seperti inilah mimpi-mimpiku selama ini. Pagi hari, yang walaupun mendung, memandang panorama memukau pegunungan dari dalam tenda bersamamu. Hanya berdua denganmu. Bermanja-manja dalam pangkuanmu, dan jemarimu tak henti membelaiku, rasanya seperti ada aliran cinta yang berloncatan keluar dari ujung jarimu. Kita bercengkerama dari hati ke hati, seolah tidak ada hati lain yang tersakiti dari kebersamaan ini.

"Syukurlah, kalau kamu sudah bahagia. Berarti sudah ya?" Kamu bertanya hati-hati.

"Sudah apa?" aku terbata, perasaanku mulai tidak enak. Sepertinya kamu akan menyampaikan salam perpisahan. Pelupuk mataku mulai menghangat.

Tangan kekarmu mengusap kepalaku lembut. Mencoba menenangkan. Kamu berpikir sejenak, bagaimana merangkai kata agar aku tidak tersakiti. Ah, peduli setan! Lihat saja, seberapa pandai kamu bisa menenangkanku? "Apanya yg sudah?" tanyaku.

Kamu tersenyum getir. "Kamu sudah dapat yang kamu mau kan? Camping di puncak Rinjani berdua aku..." kalimatmu menggantung. Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Kabut semakin pekat. Kamu menarik napas dalam, menyuplai hawa dingin ke paru-parumu yang bergemuruh.

Aku tergugu, menunggu kelanjutan kisah ini. Akankah dengan mudahnya kamu meninggalkan aku...

"Setelah ini, kamu janji ya, nduk... Kamu harus menjadi Nina yang seperti dulu ku kenal. Nina yang kuat, yang ngga gampang galau. Kamu harus janji sama aku, kamu akan berusaha melupakan semua kisah kita..."

Aku diam. Airmata mulai menetes jatuh membasahi pahamu.

Kamu terus membelai-belai lembut. Seperti seorang ayah yang sedang menasehati putrinya. Kata-katamu meluncur lancar tanpa kesan sedang menanggung beban berat. Kondisi ini berbanding terbalik denganku. Aku rapuh.

"Aku tahu pasti ini tidak akan mudah. Tidak mungkin kita bisa melupakan semuanya. Tetapi paling tidak, sedikit demi sedikit kamu bisa kembali seperti dulu. Kamu harus melanjutkan hidupmu, tanpa aku. Karena kita memang tidak mungkin bisa bersama." 

Aku tetap diam. Memandang kabut yang menari-nari diantara pepohonan.

"janji ya sama aku?" Kamu membungkuk, mendekat ke wajahku yang masih tidak ingin lepas dari pangkuanmu. "Iya?" pintamu.

"Aku ngga akan bisa" bisikku, serak.

Kamu menarik napas dalam, mungkin geram. Mungkin kamu ingin menghempaskan tubuhku menjauh. Mungkin kamu ingin mencaci maki aku. Entah karena hutang budi apa, kamu tetap berperilaku santun, kala itu.

"Jangan bilang ngga bisa, nduk. Aku yakin kamu bisa. Aku yakin kamu kuat. Kamu kuat mengendalikan dirimu saat aku tidak kuat menahannya. Jadi aku yakin, kamu pasti kuat melewati masa-masa sulit ini. Janji ya? Kamu akan berusaha menghilangkan perasaanmu padaku, perasaan cinta itu, kalau memang itu cinta..."

"Tapi..." aku menelan ludah, "kamu juga janji ngga akan meninggalkan aku? Tanpa kamu minta, aku pasti akan berusaha tegar, berusaha mengembalikan diriku yang dulu sebelum mengenalmu, kak... Aku pasti berusaha melupakan semua kenangan bersamamu... tapi ku mohon berjanjilah, jangan tinggalkan aku... Biarkan kita terpisah pelan-pelan, menjauh dengan sendirinya" pintaku.

Kamu tersenyum. Senyum yang ternyata selalu membuatku terbayang-bayang. "iyaa..." Kamu menarik selimutku. Memastikan aku tidak kedinginan. "Kapan sih aku ninggalin kamu? Selama ini aku sudah cukup sabar meladeni semua permintaanmu kan?"

"Dan kamu masih tidak mengakui kalau kamu sebenarnya menyayangiku..." aku menyindir, ini sebentuk GR atau fakta, hanya kamu yang tahu.

"Beneran ya, kamu janji ngga boleh baper lagi ngga boleh galau lagi, kamu janji harus kuat dan melanjutkan hidupmu dengan bahagia tanpa aku. Janji ya, nduk?" Nada yang ini setengah memaksa. Mungkin kalau ada kertas dan alat tulis, kamu akan membuatnya nyata hitam di atas putih.

"Iya, aku janji, kak. Inget loo... kamu juga janji, ga boleh ninggalin aku. Biar aku aja yang ninggalin kamu, hahaha" Berusaha tertawa, langkah awal untuk menghapus nestapa.

Kamu tersenyum. "Janji?" aku beranjak dari pangkuanmu, duduk tepat di depanmu. Membalas senyummu, dengan anggukan. 

Kamu menyodorkan jari kelingking, "Janji yaa..." matamu mengerling.

Aku tersenyum lebar, mengaitkan kelingkingku di kelingkingmu. "Janji!"

Kita saling menatap dengan kelingking masih bertaut. Ada getaran hangat di dadaku, menjalar ke setiap senti pembuluh darah. Merasuk ke sumsum setiap ruas tulang. Aku kira ini sekedar perkara sepele, semudah mengaitkan jari kelingking saja. Aku tidak menganggapnya sebuah janji besar yang akan membuatku berkalang tangis setiap malam. Sangat mudah untuk mengucapkan, "aku janji". 

Aku, sangat menghormati janji itu. Janji untuk menjauh. Janji untuk melupakan. Janji macam apa itu!

***

Betapa dalam rindu itu. Betapa ingin menghubungimu. Aku bertahan untuk tidak mengusik hidupmu lagi. Namun, tampaknya, entah apa yang terjadi padamu. Lupakah kamu dengan janji kita? Khilaf kah kamu, lagi? 

Bukan aku yang memulai menghubungimu. Tapi kamu. Aku sempat tidak mengerti, maumu apa sebenarnya, kak. Ah, lalu aku sadar, toh kamu juga manusia biasa. Mungkin kamu juga rindu. Itu saja.

Berapa lama kamu khilaf, kak? Dengan cepat kamu bisa kembali mengendalikan diri, dan tentu saja, hati. Lalu sunyi. tanpa kabar. 

Aku merasa dipermainkan dengan seribu maaf yang telah terucap. Aku kah layanganmu? yang diulur tinggi terbang menggapai langit, dibahagiakan sampai lupa diri. Lalu dengan cepat kau putus benang layangan ini. Tidak dapat kembali menyentuh bumi karena angin terus mempermainkan tak tentu arah.

Kamu, telah membuat aku berat untuk menunaikan janjiku untuk tidak galau lagi. Dan kamu, juga melanggar janjimu sendiri. Ya, kamu janji tidak akan meninggalkanku kan, kak? Kamu akan menemaniku melewati masa-masa sulit untuk melupakan kisah kita.

Sekarang, malah kamu yang galau dengan kisah baru yang entah itu nyata atau drama. Kamu melanggar janjimu, kak. Karena pada akhirnya, kamu meninggalkan aku juga.

 

sumber gambar : alam-maya.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun