Ditengah hutan belantara yang lebat, seiris tipis jalan setapak membelah. Memanjang dari utara ke selatan, berliku-liku mengikuti lekukan sungai disisinya. Ditengah hari yang terik, seorang bocah berusaha berlindung dibawah bayang-bayang hutan nan teduh. Tampaknya sudah cukup lama ia berjalan. Pakaiannya yang compang-camping basah oleh peluh. Kain jarik usang itu tampak tidak cukup menampung keringatnya yang membanjir. Si bocah kelana sudah terbiasa hidup sendiri. Tidak ada yang pernah memperdulikannya sejauh yang dapat diingatnya. Ia lahir ditengah sawah, entah siapa ayah dan ibunya. Dari hari ke hari ia tumbuh hanya karena berkat kebaikan hati para Dewa.
Walaupun dengan susah payah kini Wana, begitulah ia menamakan dirinya sendiri, telah menjadi seorang remaja kurus kering namun kuat tekadnya. Lapar sudah menjadi sesuatu yang akrab baginya, ia dapat hidup hanya dengan meminum air sungai dan memakan sedikit biji-bijian atau buah dari hutan selama berminggu-minggu. Bila rasanya tak tertahankan lagi, atau bila ia memerlukan kain untuk memperbaiki bajunya barulah ia mencari desa terdekat dengan mengikuti aliran sungai yang kecil namun jernih itu, lambat laun pasti akan bertemu desa.
Betul saja, ketika matahari terbit keesokan paginya Wana melihat atap genting rumah-rumah tak jauh dari tempatnya bermalam. Segera ia memasuki batas desa tersebut sambil membawa setumpuk kayu bakar. Wana senang sekali, ia berhasil menukar kayunya dengan setumpuk kue pisang dan lepat ketan. Perutnya memang sudah keroncongan sejak dua hari yang lalu. Ia makan dengan lahap, lalu melanjutkan perjalanannya. Tak lama ia telah sampai ditengah sebuah desa yang cukup besar, hingga dapat disebut seperti kota kecil yang ramai. Penduduknya cukup ramah dan tampak sibuk berdagang, tetapi mereka semua terlihat tegang. Wana belum tahu, ketegangan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari kota Curik-curik ini.
Karena setiap menjelang hari ketujuh dalam satu bulan mereka harus menghadap pada sang naga merah dan naga emas, sesembahannya. Bukan hanya menyembahnya, tetapi juga bersiap kehilangan salah satu warganya: anak, orangtua, suami atau istrinya untuk dijadikan anakan naga oleh tukang sihir kepercayaan sang naga. Wana yang merupakan orang asing belum pernah mengikuti ritual ini.
Saat ia berjalan-jalan melihat situasi kota, tiba-tiba ia tersadar masuk dalam barisan penduduk kota yang bergerak kesatu arah. Hari inilah datangnya hari ketujuh. Segenap masyarakat berpakaian yang terbaik yang mereka punya. Pakaian yang didominasi warna emasatau merah. Saat diperhatikan ternyata penduduk berbaju emas hampir sama banyaknya dengan yang merah. Sesuai dengan naga pujaan mereka. “Kemarin bulan genap”, bisik seorang ibu penjual teh kendi yang sejak tadi berbaris disampingnya memberi penjelasan tanpa diminta. “Masing-masing naga harus punya anakan yang sama di bulan genap” tambah si ibu, membuat Wana semakin bingung.
Ia mulai mendengarkan dengan seksama bisik-bisik disekitarnya. “Sekarang bulan ganjil…..” “….Sang naga merah atau emas yang duluan..” “…siapa yang akan dapat anakan naga…” adalah potongan pembicaraan yang terus bergaung disepanjang jalan menanjak dari desa menuju kuil diatas gunung. Wana mulai menyadari arah barisan penduduk ini dengan ngeri. Ia bisa melihat gunung hijau berbatu yang sebagian tertutup kabut. Bersama-sama, seluruh penduduk kota mendaki tangga-tangga batu yang terjal. Dada Wana berdebar cemas saat tiba dipintu gerbang kuil yang terbuat dari batu berukir. Ia tidak tahu apa yang ada didalamnya.
Bagian dalam kuil adalah lapangan luas sekali,tepat ditengahnya tampak dua pasak besar menancap berwarna merah disebelah kanan dan emas disebelah kiri. Diujung belakang ada sebuah panggung berisi gamelan. Dari sanalah tiba-tiba seseorang yang duduk diatas bantalan awan empuk melayang masuk ke lapangan. Orang itu tampak tua karena jenggot putihnya panjang sekali hingga menjuntai keluar dari awan empuk tadi. Wajahnya runcing dan berkeriput, matanya kecil hitam bagai ular dan tampak kejam. Ia mengenakan jubah panjang seperti pendeta dengan tudung warna hitam dan membawa tongkat kayu panjang yang diatasnya bertengger bola kristal bercahaya. Penduduk kota mulai memasuki lapangan.
“Ini dia sang penyihir, Ki Kerupukan”,bisik ibu penjual teh tadi sambil menjawil lengan Wana. “Awas, jangan lihat matanya nanti dia bisa membaca pikiranmu dan tahu dosa-dosamu” desis si ibu memperingatkan. Belum sempat Wana bertanya si ibu sudah melanjutkan, “Ki Kerupukan akan membuatmu mudah tertangkap sang naga saat kita mengular nanti, karena kakimu diganduli baja seberat rasa bersalahmu”. Wana melirik sembunyi-sembunyi kearah Ki Kerupukan yang tanpa berkata menggerakkan tongkatnya kearah seperangkat alat bunyi-bunyian dan terdengarlah bunyi menggelegar “GONG!! GONG!! GONG!!”
Dengan segera bagaikan dikomando, warga kota berbaris mengular berseling-seling merah dan emas. Wana yang berkain jarik merah terpisah dari ibu penjual teh yang berkebaya merah pula. Lalu setelah akhir suara GONG mereda, semua warga sudah berbaris rapi.
Tiba-tiba terdengar suara mengguntur disertai kilat menyambar. Tampak awan mega terbelah dan menyeruaklah dua naga besarnya luar biasa. Kepalanya sebesar sapi yang gemuk, tubuh panjangnya tak kurang lebarnya dari batang pohon beringin usia ratusan tahun dan panjangnya bagai sungai. Keduanya berkilat-kilat megah terbang dikelilingi kilat dan guntur lalu bertengger melingkari pasak. Naga merah pada pasak merah dan naga emas pada pasak emas. Lalu ekor keduanya yang saling bertaut membentuk terowongan.
Naga yang merah berkilat memiliki mata dan surai keemasan, sisiknya semerah darah. Naga yang emas berkilau menyilaukan, mata dan surainya merah bagai api. Selanjutnya terdengar alunan suara gamelan diiringi nyanyian oleh arwah leluhur yang sudah lebih dahulu menjadi anak naga. “Ular naga panjangnya bukan kepalang, menjalar-jalar....” “….umpan yang lezat itulah yang dicari……” bagai terhipnotis, kaki Wana berjalan meliuk-liuk mengikuti gerakan mengular warga didepannya. Pundaknya dipegang seorang bapak dibelakangnya, dan ia memegang pundak anak kecil didepannya. Seluruh warga bergerak tanpa sadar dan entah setelah beberapa lama mereka mengular tiba-tiba suara nyanyian itu berhenti dan barisan pun sontak mematung. Tak disangka, Wana hampir saja berada tepat berada di bawah naungan buntut naga. Malangnya, seorang bapak tua berbaju emas dibelakangnya belum sadar saat rantai baja tiba-tiba muncul mengikat kakinya dan buntut naga emas membelit tubuhnya.
Tak sempat ia menjerit, Ki Kerupukan segera menggerakkan tongkat sihirnya dan dari bola Kristal keluar cahaya hijau keperakan yang menyilaukan dan mengubah bapak tadi menjadi sekeping sisik emas besar. Ternyata yang dikatakan ibu penjual teh sebagai “anakan naga” adalah kepingan sisik yang besarnya seukuran seekor kambing. Belum hilang kekagetan Wana, tiba-tiba sisik itu melayang dan menempel di buntut naga disertai percikan api keemasan dan bertambahlah panjang sang naga emas.
Naga emas terbang bergelung-gelung kesenangan, memuntahkan kembali bunga api dan kilat keemasan lalu segera melesat kembali ke balik awan. Sementara naga merah menggeram marah suaranya bagai guntur kala badai menggelora. Mata emasnya mengecil bersinar menyoroti warga desa, lalu dengan satu suara ledakan besar ia pun kembali ke angkasa. Wana hanya bisa memelototkan matanya terpana dengan semua kejadian tadi.
Setelahnya penduduk kota kembali berduyun-duyun menuruni gunung batu. Ki Kerupukan sudah tidak terlihat lagi. Sayup-sayup terdengar isakan tangis perempuan. Wana beranggapan, mereka mungkin keluarga bapak tua tadi. Sekali lagi Wana bersyukur ia masih diberi kehidupan oleh para Dewa. Bersyukur pula atas kebaikan hati ibu penjual the menasihatinya. Terlebih lagi ia lega bahwa ia pengelana yang tidak terikat di satu tempat. Dengan cepat, diayunkan kakinya menuju hutan terdekat. Sudah cukup petualangannya hari ini, saatnya kembali ke lingkungan yang akrab dengannya. Hutan belantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H