Bab I
Yesss! Hari terakhir ujian memang menyenangkan. Setelah 1 minggu babak belur dengan berbagai presentasi dan ujian lisan maupun tulis aku bisa bernapas lega hari ini. Besok tidak ada lagi beban laporan, makalah ataupun evaluasi program kesehatan yang harus selesai dengan deadline yang mendesak.
Hmmm hari ini mau kemana yaaaa? Teman-teman sekelompokku sepertinya mau jalan-jalan deh. Yah mungkin makan-makan sebentar. Setelah 3 bulan bersama dalam suka duka membuat kita lebih dekat lagi. For bitter and sweet we’re always together.
Nah benar kan dugaanku, kita ternyata memang akan makan-makan. Saat ini aku sudah di mobil yang sedang meluncur kearah Town Square.
Sesampainya disana ternyata parkirnya penuh. Akhirnya kita harus berputar dua kali sebelum dapat parkir. Teman-temanku berencana mencoba salah satu restoran di lantai 1. Yasudah akuikut saja pilihan mereka. Kedengarannya resto yang mahal jadi kusiapkan uang lebih didompet untuk jaga-jaga. Kan malu kalau setelah makan ternyata uangnya nggak cukup! Hiii mengerikan, jangan sampai deh terjadi yang seperti itu.
Tempatnya lumayan Cozy, dengan dekorasi minimalis namun terkesan friendly dan nyaman. Karena ber-12 orang kami pilih mejayang paling luar, agar tidak terlalu berisik dan mengganggu pelanggan yang lain.
Setelah duduk manis, datanglah pelayan membawakan daftar menu. Kulihat-lihat makanannya memang menggiurkan dari mulai nasi goreng, spaghetti, aneka salad sampai dessert yang yummy.
Tapi harga yang tercantum untuk tiap item cukup mendebarkan ditambah lagi tax price-nya 15,5%! Wuih kepalaku pusing melihatnya. Bukannya uangku tidak cukup untuk membeli makanan itu, tapi rasanya sayang harus menghamburkan uang sebanyak itu. Setelah kulihat berulang kali akhirnya kuputuskan akan mencoba dessert-nya saja. Kupilih Newyork cheese cake, yaitu cheesecake dengan saus stroberi dan crust yang renyah dibawahnya. Sambil menunggu pesanan kami mengobrol dan bercanda dengan ributnya.
Hmmm pilihanku benar-benar tepat, baik rasa maupun harganya sepadan. Begitu pikirku saat kucicipi potongan pertama yang langsung meleleh dalam mulutku. Rasa keju yang gurih dan lembut bercampur dalam proporsi yang tepat dengan rasa stroberi yang manis-asam.Akhirnya aku menikmati setiap potongan cheesecake itu dengan mataterpejam dan hati berbunga-bunga. Aku memang selalu begitu kalau menikmati makanan yang benar-benar enak.
Teman-temanku sampai tersenyum-senyum melihatku seperti ini. Apalagi Giri yang sedang sibuk makan ox tail fried rice (nasi goreng buntut), ia nyengir dengan mulut berisi makanan dan menatapku penuh arti. Duh gawat, hatiku mulai was-was melihatnya. Inilah akibat suka flirting sembarangan, aku mengutuki diri sendiri. Hahaha aku jadi ingin tertawa mengingat berbagai kejadian lalu, kok bisa-bisanya aku sempat ngelaba dia ya. Mungkin stress akibat tekanan berbagai tugas mengganggu selera dan penilaianku, jadi Giri pun tampak menggiurkan dimataku saat itu.
Setelah kenyang dan sedikit shock melihat tagihan yang harus dibayar, kami berbondong-bondong pergi dari tempat itu dan berpisah. Aku kembali naik mobil Giri karena rencananya mau kembali ke kampus.
Dalam mobil tinggal kita berdua, entah siapa yang mulai, tiba-tiba Giri jadi bicara mengenai perasaan. Perasaan suka, cinta dan yang sebangsanya. Wah aku mulai deg-degan, jangan-jangan dia menanggapi serius saat kita saling flirting dulu.
Nah lagi-lagi dugaanku benar. Tepat satu lampu merah lagi sebelum kami sampai ke kampus ia menyatakan perasaannya padaku. Dengan banyak suara ‘dehem’ sebagai upaya untuk menutupi kegugupan yang jadi kebiasaannya, ditambah wajah memerah ia menyampaikan perasaannya padaku.
Bahasa yang dipakai begitu sopan dan berbunga-bunga seperti kebiasaannya. Aku merasa jahat karena dalam hati tertawa melihat wajah dan sikapnya yang lucu. Tapi diluar aku terlihat serius mendengarkan setiap perkataannya.
Saat tiba dibagian ia menanyakan bagaimana perasaanku padanya. Kujawab dengan jujur dan apa adanya. Bahwa memang aku merasakan sedikit rasa suka dan senang saat bersamanya, tapi buatku itu belum cukup untuk dijadikan dasar dalam membangun sebuah hubungan.
Wuih canggih ya bahasaku. Yah pokoknya sampai ia mengerti kalau kita tidak bisa berhubungan dalam arti pacaran.
***********
Satu minggu berlalu setelah acara di Town Square, tiba-tiba aku teringat cheesecake yang nikmat itu. Hari ini kebetulan aku hanya ada tugas di unit rawat jalan jadi bisa pulang cepat. Sekitar pukul 2 siang aku mulai meluncur kearah Town Square, sendirian tentu saja.
Untung saja kali ini aku dapat parkir dengan mudah. Sambil melihat-lihat aku berjalan santai menuju restoran yang kemarin dulu kudatangi. Ooh ternyata namanya Grease Heaven (hahahaha!) yang rupanya kali ini sedang sepi pengunjung. Kupilih meja yang berada paling dalam dengan kursi hanya untuk dua orang.
Pelayan yang ramah segera datang dan membawakan daftar menu. Aku sudah tahu apa yang kuinginkan, yaitu Newyork cheesecake seperti kemarin. Namun pelayan itu juga merekomendasikan jenis-jenis cheesecake lain yang ada di daftar. Seperti cookies n cream cheesecake, walnut cheesecake dan coffee cheesecake. Hmmm aku jadi sedikit ragu karena semua kelihatan menggiurkan. Akhirnya kuputuskan akan mencoba cookies n cream cheesecake.
Kali ini pilihanku pun benar-benar yummy. Rasa kejunya memang sedikit tertutup dengan rasa cookies yang agak pahit. Tapi tetap nikmat karena langsung meleleh dimulut. Saat aku sedang asik menikmati, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di kursi kosong di depanku.
“Sorry for being late.”ucapnya dengan suara bariton yang lembut.
“Mmm eh-shuse mi?” (maksudnya excuse me) tanyaku bingung dengan garpu kue masih dimulut.
“I’m sorry i make you waiting. The traffic was unbelievable.”ulang si orang asing, digeleng-gelengkan kepalanya seolah menegaskan betapa menyebalkan kemacetan yang dihadapinya.
“Excuse me, do I know you?”akupun mengulang pertanyaanku dengan alis bertaut. Sekarang garpuku sudah tergeletak di piring.
Kalau sejak tadi orang asing ini tidak melihat kearahku karena sibuk membereskan laptopnya, setelah perkataanku yang terakhir dia segera menatap kearahku.
Kalau sejak tadi kita berbicara dalam bahasa Inggris-padahal jelas kami sama-sama orang Indonesia-tidak mengherankan aku, maka matanya yang penuh tanda tanya justru membuatku bingung.
“You are Miss Tina, aren’t you?”tanyanya hati-hati dengan pandangan menyelidik.
“Well Yes. But nobody call me Tina except my parents. And I still don’t know who you are. And why are we speak in English?”alisku semakin bertaut dan suaraku mulai meninggi. Aku merasa sedikit panik.
“Eh maaf, kebiasaan kalau bertemu klien bule. Saya Kuncoro. Bu Tina sudah bicara dengan saya ditelepon kan. “kembali suarabaritonnya mendominasi dan dengan mantap ia mengulurkan tangannya.
Kuabaikan tangan itu.
“ Mmmh anda kurang mengerti omongan saya ya. Saya tidak mengenal anda, saya tidak pernah menghubungi anda dan jangan panggil saya ibu! Saya masih muda.”disetiap kata yang kuucapkan napasku semakin cepat dan tanpa sadar suaraku semakin meninggi pada kalimat terakhir.
“Lho kok jadi gini? Eh uh oh Maaf kalau begitu bu eh sori mbak, saya salah orang.”ia menggaruk-garuk kepala sambil menoleh kiri-kanan, seolah mencari Tina yang sebenarnya.
Namun tampaknya tidak ada siapa-siapa lagi, karena tamu Grease Heaven saat itu hanya kami berdua. Aku mulai memahami mengapa ia salah alamat.
Melihat sikapnya yang salah tingkah dan sedikit malu membuatku merasa agak iba padanya. Kuputuskan hari ini akan berbaik hati pada orang ini. Jadi kutarik napas perlahan dan mulai bicara lagi dengan nada yang lebih tenang.
“Memangnya apa yang membuat anda yakin kalau saya memang Tina yang anda maksud?” saat itu orang asing ini sudah akan beranjak dari kursi didepanku, lalu perlahan duduk kembali.
“Well kita sudah janjian di Grease Heaven dan dia bilang akan menunggu saya sambil makan cheesecake. “jelasnya sambil menunjuk kue dipiringku.
“Lho bagaimana anda tahu saya makan cheesecake? kuenya saja sudah hampir habis.”kutimpali jawabannya.
“Ya saya tanya sama pelayan.”jawabnya praktis sambil menggerakkan kepala kearah pelayanku yang ramah tadi.
“Oh ok, I should’ve figure it out.”aku hanya mengangguk-angguk selama setengah menit tanpa tahu bagaimana selanjutnya. Untuk meneruskan menikmati kue,aku sudah terlanjur malas. Setelah beberapa menit yang sunyi dan panjang akhirnya dengan agak kikuk ia berdiri lagi dari kursinya
“Sekali lagi sori sudah mengganggu. Permisi.”sambil menganggukkan kepalanya kearahku. Dan kubalas dengan anggukan plussenyum kecil.
Akhirnya karena sayang sudah membayar mahal dan tidak ingin mubazir, kuhabiskan sisa cheesecake dengan sekali suap. Lalu berencana segera pulang karena hari sudah sore. Setelah membayar dan berjalan keluar Grease Heaven aku menoleh ke arah si orang asing tadi.
Ia tampak sedang bicara dengan seorang wanita dan memperlihatkan sesuatu dari laptop-nya. Kulihat ia menoleh kearahku dan kembali menganggukkan kepalanya kearahku yang kubalas dengan senyum.
Huh ternyata Tina yang dia tunggu memang sudah ibu-ibu setengah baya! Kok bisa-bisanya mengira aku orang tersebut. Memangnya aku sudah kelihatan seperti ibu-ibu?
************
Bab II
Dengan bingung kuperhatikan lemariku yang tampak siap meledak setiap saat, dijejali berbagai macam baju. Nanti malam aku harus datang ke resepsi pernikahan salah satu temanku. Enaknya kali ini aku pakai baju apa ya? Kebaya atau sesuatu yang lebih sederhana dan modern? Beberapa pernikahan sebelumnya aku selalu memakai kebaya, mungkin hari ini kucoba yang lain.
Akhirnya pilihanku jatuh pada blus longgar batik sutra kecoklatan dengan celana panjang hitam serta pashmina yang senada. Plus aksesoris dari batu-batu kecoklatan. Nah urusan baju selesai.
Ups! Sepatunya hampir kelupaan. Untung aku masih punya selop hitam untuk segala acara. Sayang haknya dengan tinggi 10 cm akan membuat kakiku tersiksa. Tapi setidaknya akan membuatku terlihat lebih tinggi.
Ok sekarang bagaimana dengan rambutku? Hmm sudahlah di blow sajadan biarkan tergerai sebahu, aku tidak mau repot. Yah kurasa penampilanku cukup cantik, setelah mematut diri didepan cermin seukuran badan.
Uh sebenarnya pergi ke pernikahan teman membuatku agak depresi, pikirku sambil dandan. Mereka sudah siap menempuh hidup baru bersama pasangannya. Sementara aku, punya pasangan saja belum.
Well, pacaran sih sudah pernah tapi ya belum ada yang membuatku terpikir akan menjadikannya suami, dan mungkin begitu pula sebaliknya. Sedih juga jadinya.
Oh stop it! Jangan jadi depresi begini, aku adalah cewek single yang kuat, mandiri dan bahagia. Ok I’m ready for party! Kuambil kunci mobil dan mulai meluncur kearah kuningan.
Setelah parkir, kulihat lagi undangan untuk memastikan aku berada ditempat dan pada waktu yang tepat. Jangan sampai salah deh, hal-hal seperti ini menurutku akan sangat memalukan.
Nah, sekarang saatnya berjalan dengan penuh percaya diri. Oh iya, pada acara-acara seperti ini ‘kan banyak sekali yang datang berpasangan. Maka untuk single fighter seperti aku kesan pertama saat memasuki ruangan sangat penting.
Aku selalu melatih gaya jalan dan sikap tubuh untuk saat-saat seperti ini. Jalan dengan santai, badan tegak, kepala tidak boleh menunduk. Sesekali menoleh kanan-kiri dengan tenang boleh-boleh saja, usahakan garis tubuh-leher dan sikap kepala membentuk satu lengkungan mulus.
Ok selesai! Menurutku gaya jalanku kali ini yang paling sempurna. Practise makes perfect.
Not that anyone noticed, but it worth to try. Who knows someone will fall in love with me because he needs my beautiful walk for the rest of his life.
Yeah right. I rolled over my eyes, and grin a little.
Setelah masuk kedalam ruangan pesta ternyata pengantin sudah duduk di pelaminan dan orang-orang sedang antri untuk bersalaman. Sebenarnya ada juga tamu-tamu yang sudah tidak sabar menyerbu makanan,ITU sesuatu yang tidak akan pernah kulakukan.
Aku bergabung dengan antrian panjang tersebut. Ini adalah saat-saat gawat dimana mungkin terjadi hal-hal memalukan lainnya. Bisa-bisa rambutmu atau pakaianmu tersangkut pada orang lain karena antrian yang berjubel.
Ketika sampai di panggung pun harus hati-hati jangan sampai tersandung tangga, atau lipatan karpet. Tapi juga jangan sampai terlihat menunduk terus, karena akan terlihat jelek dan tidak percaya diri.
Untuk mengantisipasi hal-hal diatas, aku selalu menghindari antri dekat dengan anak-anak, ibu-ibu dengan sanggul besar, kebaya-kebaya penuh payet/manik-manik dan orang-orang yang datang dalam rombongan besar. Aku lebih memilih antri dekat kumpulan bapak-bapak atau orang-orang muda yang seumur.
Kali ini aku antri dekat sekumpulan bapak-bapak. Agaknya mereka saudara dari mempelai pria. Saat antrian bergerak lambat, aku merasa ada yang menyenggol lenganku dari belakang. Kupikir itu hal yang biasa, saat antri begini pasti ada saja yang sedikit mendorong-dorong. Namun ketika terasa berulangkali akhirnya aku menoleh ingin melihat siapa sih orangnya.
Yang kulihat bukan ibu-ibu yang tidak sabaran, melainkan orang muda yang kurang lebih seumur denganku sedang senyum kearahku. Aku merasa tidak mengenalnya, walau rasanya wajahnya tidak asing. Aku menoleh ke sekelilingku, memastikan apakah ia melihat kearahku atau orang dibelakangku.
Ternyata memang ia tersenyum padaku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain balas senyum padanya, sambil berpikir keras mengingat-ingat siapa dia ya?
Perlahan orang tersebut menggeser berdirinya sehingga tepat dibelakangku. Aku merasa agak risih karena orang asing ini tiba-tiba dengan sengaja berdiri dekat sekali denganku. Punggungku terasa gatal dan panas karenanya. Aku berusaha tetap terlihat tenang dan percaya diri tentunya.
“Maaf, pasti kamu sudah lupa sama saya ya.” Bisiknya dari belakang dekat telingaku.
Uh rasanya kok jadi deg-degan ya? Pasti gara-gara nada bariton lembut yang keluar dari mulutnya. Aku makin merasa risih dan ingin segera menjauh dari orang ini. Tapi gengsi ingin menampilkan ketenangan dan percaya diri yang menang, aku menguatkan diri tetap dalam posisi seperti ini.
Tanpa menoleh dan dengan suara tenang kujawab,
“Ok kamu tahu rahasiaku. Apa seharusnya aku tahu kamu?”
“Nggak juga sih. Mungkin kalau saya sebut Grease Heaven dan cheesecake kamu bisa ingat saya?” jawabnya yang mendadak membawa ingatanku kembali pada kejadian tempo hari.
“Oh kamu ‘kan yang seenaknya saja mengira saya klien kamu, padahal ternyata klien kamu ibu-ibu setengah baya.” Tanpa sadar aku memutar badan kebelakang untuk melihatnya lebih jelas. Suaraku yang sedikit meninggi membuat beberapa orang menoleh. Uh malu deh, untung aku segera tersadar dan kembali pada sikap semula.
He wears batik like me, and apparently he’s alone too and umh… he’s kind a cute. Otakku tiba-tiba saja mengirim informasi tanpa kuminta, dan membuatku makin resah.
“Saya minta maaf lagi. Habis waktu di telepon saya ‘kan tidak bisa lihat dia umur berapa.”jawabnya dengan nada geli. Kupikir ia akan melanjutkan ucapannya, tapi ternyata tidak. Penasaran, kutolehkan sedikit kepala agar dapat melirik kearahnya,
“Kenapa?” tanyaku
“Sepertinya kamu lebih kesal saat saya panggil kamu ‘ibu’ dari pada kenyataan bahwa saya mengganggu kenikmatanmu mencicipi cheesecake.”bisiknya lagi-lagi dekat telingaku, ada tawa terselip didalamnya. Antrian mulai bergerak perlahan, kutegakkan kepalaku dan mengangkat sebelah alis,
“Well, woman are sensitive about their age. You should know that.” Jawabku.
“Oh, I do now. Thanks to you.” Balasnya. Aku tersenyum kecil mendengar jawabannya.
Tanpa terasa antrian sudah sampai ujung, sebentar lagi giliranku naik ke panggung. Tak kusadari bahwa si orang asing (aku masih lupa namanya) sudah disampingku.
Kemudian kita bersama-sama naik ke panggung. Kuberikan ucapan selamat untuk kedua mempelai dan orangtuanya. Tak lupa sun kiri-kanan untuk temanku yang terlihat sangat cantik malam ini dengan kebaya putih berpayet perak. Kulirik si orang asing dibelakangku yang tampaknya sahabat lama sang mempelai pria, mereka bersalaman dan saling menepuk bahu. Temanku bahkan bertanya,
“Lho kalian datang bareng? Kamu kenal mas Kun?” tanyanya menyelidik sambil menatap baju kami yang sama-sama batik cokelat. Sebelum sempat kujawab, si orang asing-yang baru saja kuingat namanya Kuncoro-sudah menyambar,
“ Ya, kenalan lama kok.” Ujarnya dengan senyum lebar. Alhasil kedua mempelai ikut tersenyum penuh arti padaku juga. Kuputuskan tidak perlu mengkonfrontasikan ucapan Kuncoro dipelaminan. Selain tidak sopan, tidak mencerminkan sikap tenang dan percaya diri, juga akan membuat tamu lain menunggu.
Setelah turun dari panggung aku tetap berjalan dengan tenang menuju tempat makanan. Ternyata Kuncoro tetap mengikutiku dari belakang. Setelah mengambil piring aku mulai memilih puding apa yang akan kucoba.
“Kamu marah ya aku bilang kita kenalan lama?” Tanya sibariton yang sekarang sudah berdiri disampingku dengan piring penuh nasi dan lauk pauknya. Wah cepat juga gerakannya, pikirku.
“Oh nggak kok. Kupikir nggak ada gunanya meralat di depan. Bikin antrian macet.” Jawabku sambil menyendok puding yoghurt dengan potongan stroberi dan bluberi. Lalu berjalan santai mencari tempat makan yang enak.
Sambil jalan aku melihat berkelilingmencari teman-temanku. Kok belum ada yang kelihatan ya, apa sudah pulang? Eh ternyata Kuncoro masih mengikutiku dengan piring yang sudah setengah kosong. Kupandangi piringnya lalu melihat badannya dari atas ke bawah. Tampaknya ia menyadari pandanganku,
“Kenapa?” tanyanya dengan sedikit kikuk, sendoknya hampir jatuh dari piring.
“Kamu makannya banyak ya, kok nggak gemuk sih?” ujarkudengan santai sambil mulai menyuap puding. Mmmh asam-manis yang segar dan enak.
“Wah nggak tahu ya, dari sananya mungkin.”ujarnya agak salah tingkah sambil memperhatikan badannya sendiri,
“Tapi nggak kurus-kurus amat juga kan?” dahinya berkerut minta persetujuan.
“Ya, lumayan lah. Rajin ke Gym?” aku berbasa-basi sekedar menyambung pembicaraan.
Hmmm puding ini benar-benar enak, rasanya ingin tambah lagi deh. Ah nggak ah malu kalau kelihatan nambah, pikirku menimbang-nimbang. Karena asik berpikir aku tidak memperhatikan jawaban Kuncoro,
“Eh tadi kamu ngomong apa?” tanyaku menatapnya dengan pandangan meminta maaf.
“Hmm pasti kamu lagi keasikkan nikmati pudingnya ya. Tadi aku bilang aku ke Gym tiga kali seminggu.”jawabnya memperhatikan sisa pudingku sambil geleng-geleng kepala.
“ Oh iya.”aku hanya mengangguk, lalu beranjak dari tempat itu menuju gubuk-gubuk makanan lainnya. Kuncoro sudah tidak kelihatan lagi, mungkin dia bosan.
Saat kulihat ada gubuk dim sum, langsung terbit air liurku melihatnya.
Tapi nggak sampai menetes keluar sih, nggak sopan dong.
Sejenak kuperhatikan berbagai jenis dim sum yang tersedia. Kuambil hakkau udang, siomay ayam dengan rumput laut dan lumpia goreng. Dan saat itu aku baru melihat teman-temanku.
Ternyata mereka berkumpul dan sedang membuat video rekaman untuk kenang-kenangan bagi kedua mempelai. Dengan piring dim sum di tangan aku bergabung dan sedikit berbasa-basi sebentar.
Aku memang tidak terlalu menyukai ide bergerombol bersama-sama saat di pesta. Itu membuatmu invisible, tampak kurang percaya diri karena harus dalam grup serta tidak membuka kesempatan menjalin perkenalan baru.
Setelah kutinggalkan gerombolan itu, aku berpikir-pikir tentang perkenalan baru. Kuncoro bisa dibilang kenalan baru, mana ya dia sekarang. Kuputuskan untuk mencarinya.
Ok sekarang saatnya keliling ruangan, jalan santai;badan tegak; kepala dan leher membentuk lengkung mulus. Hitung-hitung melihat siapa saja yang datang.
Setelah dua kali kuputari ruangan, tidak juga menemukan Kuncoro dan kakiku sudah menjerit-jerit sakit dalam high heels ini, kuputuskan sudah saatnya pulang.
Begitu keluar dari ruangan pesta, aku melihat Kuncoro sedang berdiri dengan beberapa temannya. Oooh rupanya dari tadi ia disini, pantas tidak ketemu saat kucari didalam.
Kuberikan senyum kecil lalu kuteruskan berjalan keluar. Tapi Kuncoro malah mengikuti di belakangku,
“Hei, Miss Tina. Excuse me.” Serunya sambil mencegat langkahku. Matanya yang hitam tampak bersinar dalam keremangan lampu lapangan parkir. Aku pun berhenti melangkah dan menatapnya dengan pandangan bertanya,
“Hei. Kamu belum memberitahu namamu, uhmmm yang bukan panggilan orangtuamu.”pintanya dengan senyum.
“Apa suatu keharusan untuk memberitahumu?”tanyaku juga dengan senyum danmulai melemparkan bunga-bunga pesona. Ia tertawa kecil dan mendongakkan kepalanya lalu kembali menatapku,
“Well yes! Coz I need to know my client’s name and maybe a telephone number would be nice.”aksen tiruannya terasa menggelitik sehingga aku pun ikut tertawa.
“But as your client, I really don’t know what kind of bussines are you in to?” lalu kuteruskan
“And ofcourse we can talk about your bussines some other time. It’s getting very late, I have to go home. Ummm I’ll make an appointment with your secretary? You do have one aren’t you?” tanyaku pura-pura serius, tetapi menyelipkan senyum dalam mataku.
“ Hahahaha, you are one of a kind. You don’t need my secretary. Let’s meet at…ooohI don’t know.. maybe… Grease Heaven? I’ll be the one with cheesecake on the table.” Sebelah alisnya terangkat, lalu tawanya menggema keseluruh tempat parkir.
Aku ingin tetap jual mahal namun bibirku sudah melengkung membentuk senyuman lagi. Well my lips are faster than my head, damn flirty girl!.
“Ok then. I’ll see you there tomorrow around 4?” kupastikan waktunya.
“Be there!”lalu ia kembali kedalam gedung dan aku berjalan ke mobil masih tersenyum. Malam pesta sudah berakhir sekarang kembali pulang dan mengistirahatkan kakiku yang malang.
*********
Bab III
Malam tadi aku tidur dengan nyenyak, bahkan terlalu nyenyak sampai terlambat bangun. Kusambar baju tanpa memikirkan matching atau tidak, sepatu pun kupilih yang paling nyaman karena hari ini aku harus naik bus. Mobilku sangat tidak bersahabat karena di pagi yang repot ini malah mogok. Untung saja aku masih bisa sampai tepat saat presentasi kasus (preskas) pagi akan dimulai.
Setelah preskas kuperhatikan bajuku ternyata lumayan juga untuk keadaan terburu-buru. Setidaknya rok tiga per empat kuning semu hijau masih nyambung dengan cardigan rajut hijau pupus dan pump shoes coklat. Cuma tas putih ini agak kurang pas rasanya. Tapi putih termasuk dalam warna netral yang bisa dicocokkan dengan warna apa saja, pikirku. Sampai sebelum makan siang aku sama sekali lupa nanti sore ada janji dengan Kuncoro.
Saat makan siang, temanku bercerita mengenai bioskop di Town Square yang masih baru. Barulah aku ingat nanti sore harus kesana. Wah mudah-mudahan preskas siang nanti tidak terlalu lama. Rasanya malas kalau harus kesana lebih sore dari jam 2 karena pasti macet.
Ternyata……. hari ini alam semesta sedang memojokkanku. Setelah bangun kesiangan, mobil mogok sekarang dosen yang datangnya telat banget. Jadi preskas baru selesai jam setengah empat.
Duh sebel, pasti macet deh kearah Town Square. Tapi, karena sudah janji ya harus ditepati. Inkar janji tidak mencerminkan sikap bisa dipercaya, bisa berpengaruh jelek padakepercayaan dirimu.
Fiuh akhirnya sampai juga di Town Square. Dan sekarang sudah jam…. Hah setengah enam!! Gawat nih, jangan-jangan Kuncoro sudah pulang karena sebal. Bergegas aku menuju Grease Heaven, nggak sempat lagi deh mempraktekkan jalan santai-ku.
Hari ini Grease Heaven lumayan penuh jadi aku tidak bisa langsung melihat Kuncoro ada didalam atau tidak. Kutarik napas panjang, lalu mulai berjalan tenang memasuki Grease Heaven sambil melihat sekeliling.
Di meja tempat tempo hari aku duduk ada beberapa piring bekas kue. Mungkinkah itu bekasnya Kuncoro? Segera aku menuju kesana lalu menoleh kekiri-kanan mencari orang itu. Pelayan yang melihat aku kebingungan segera datang dan menghampiriku.
“Ada yang bisa dibantu mbak?” tanyanya dengan ramah.
“ Mmmh mau tanya , yang tadi duduk disini apa laki-laki, badannya tinggi dan pakai kacamata ya?” aku balik tanya dengan kata-kata yang terasa aneh bahkan ditelingaku sendiri.Tapi pelayan tersebut tampaknya memahami maksudku dan segera menjawab dengan senyuman,
“Oh iya. Sudah dari jam empat tadi. Mbak temannya?” aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
Berarti Kuncoro sudah pergi dengan kesal karena menunggu terlalu lama, pikirku. Aku pun duduk di meja itu merasa lemas. Rasanya kecewa sekali. Tentunya kecewa karena aku mengecewakan orang lain. Uh kayaknya butuh obat dewa nih.
Cepat kuminta daftar menu dari pelayan yang ramah itu, dan kupesan marble cheesecake dan hot chocolate. Aku baru saja mulai menikmati coklat panas yang menenangkan,
“It’s been a hard day?” suarabariton yang sudah menjadi sangat familiar terdengar dibelakangku. Aku tersenyum dibalik cangkirku, tapi tidak menoleh.
“Yup!” jawabku sambil menganggukkan kepala. Lalu saat Kuncoro duduk di kursi di seberang meja aku masih menekuri cangkirku, tapi bisa kurasakan ia tersenyum kearahku.
“Thanks for waiting.” Ucapku, akhirnya kuangkat wajahku dan senyum kearahnya.
“Hei anything for my client to be.”ia menimpali dengan mimik lucu, lalu kami berdua tertawa. Rupanya ia tadi hanya pergi ke kamar kecil sebentar.
Akhirnya kujelaskan situasi yang membuat hari ini berantakan. Ia pun memahaminya. Dan pembicaraan merembet pada pekerjaannya, ternyata ia seorang exportir furniture. Sebenarnya perusahaannya merupakan usaha keluarga, ia adalah generasi ketiga dan setelah lulus sekolah bisnis diminta mengembangkannya.
Kliennya waktu itu adalah pengusaha kayu jati yang ingin menjadi supplier. Laluakupun menceritakan suka dukaku dalam menjalani masa magang sebagai dokter muda. Tak terasa sudah satu jam lebih kami mengobrol. Coklat panas dan cheesecake-ku sudah licin tandas, Kuncoro sudah menghabiskan cangkir kopi yang ketiga.
“Hei kamu sudah mau pulang?”tanyanya ketika melihatku memanggil pelayan untuk minta bon.
“Iya, sekarang sudah hampir setengah delapan. Aku nggak mau pulang terlalu malam.”jawabku menjelaskan.
“Oh iya mobilmu kan mogok, jadi pulangnya naik taksi atau bus?” tanyanya dengan mimik yang mungkin bisa disebut….khawatir?
“Iyalah. Makanya aku pulang sekarang ya.”kuperhatikan pelayan yang sedang mengambilkan bon. Aku sempat berpikir, wah bagaimana caranya bilang kalau aku hanya bisa bayar bon milikku tanpa terdengar menyedihkan ya. Duh sesuatu yang baru yang harus dilatih dirumah.
Saat bon datang, ternyata aku tidak perlu bingung karena Kuncoro segera mengambilnya dari pelayan. Lalu ia mengeluarkan kartu kreditnya dan memberikannya pada pelayan.
“ Eh kamu nggak perlu bayarin aku. Kan jadi nggak enak.”protesku sambil menatapnya.
“Nggak ada yang nggak enak kok. Kupikir secangkir coklat dan sepotong cheesecake bisa ditukar dengan namamu?”nadanya menggoda dengan senyuman yang cukup menawan, mau tidak mau akupun ikut tersenyum.
“We’ve talked about so many things, but I still don’t know your name.”sambung Kuncoro.
“All you have to do is ask. Nicely.”sambutku sambil menegakkan tubuh dan menyilangkan kaki.
“Ok, my dear. May I introduce my self, I’m Kuncoro Permadi Hadisutedjo. And yours?” ujarnya dengan manis sambil mengulurkan tangannya.
“ Agustina Wiriatmaja. My friends call me Gia.” Jawabku tak kalah manis dan menyambut tangannya hangat.
“Can I call you Gia then?”sambungnya meminta persetujuan.
“Ofcourse.” Jawabku singkat.
Kuncoro menerima jawabanku dengan pandangan senang.Akupun balas menatapnya dengan senyum, lalu mataku tertumbuk pada jam tangannya.
“Oh no! sekarang sudah jam delapan, aku benar-benar harus segera pulang. Sori ya aku duluan, thanks for everything.”cepat ku beranjak dari kursiku, tapi tangan Kuncoro menahanku.
“Hei Gia.” Ia menarik napas sesaat seakan meresapi namaku, dan lagi-lagi memamerkan senyum kecilnya untuk yang ke-entah berapa puluh kali-nya malam ini.
“Senangnya bisa manggil nama kamu sekarang. Ehm maksudku, kamu tenang saja nanti aku antar pulang.”tawarannya terdengar lebih seperti suatu keputusan yang diputuskannya sendiri, aku tidak suka.
Ini kedua kalinya kutemui sesuatu yang tidak kusukai dari Kuncoro. Yang pertama saat ia memanggilku ‘ibu’, well mungkin itu bisa dicoret. Tawarannya yang terdengar baik hati ini membahayakan statusku sebagai wanita mandiri. Sepertinya ia menganggap aku tidak mampu menjaga diriku sendiri.
Wah kayaknya aku kebanyakan analisa nih. Aku mencoba menjaga volume suaraku dan tidak mulai meradang,
“What makes you think I’ll let you drive me home?”tantangku dengan wajah serius, kali ini benar-benar serius.
“Well because I’m such a gentlemen?” godanya, melihatku masih membisu ia melanjutkan,” No? I’m handsome? kind, and nice? Still no? Ok I’m getting frustrated here. Maybe just because you kindly let me be useful?” jawabnya lucu.
Nampaknya ia tidak menyadari nada suaraku yang sedikit ketus tadi. Tapi melihat gayanya yang kebingungan mau tidak mau sudut bibirku mulai tertarik keatas, akhirnya menjadi sebuah senyuman. Wajahnya yang nampak gembirabegitu polos dan menggemaskan, hatiku pun luluh.
“But you’re a stranger to me. Can I trust you not taking advantage of me?”tanyaku menggoda ikut dalam permainannya.
“If I say, cross my heart then you’ll see it as white as the snow, would you believe it?” balasnya dengan menunjuk ke dadanya, kujawab dengan gelengan kepala.
“Nope. Living human’s heart always red and bloody. If it turns white you’d have heart attack.”tambahku dengan wajah serius yang sekarang kubuat-buat.
“Oops I forgot I was talking to a doctor. Then you’ll just have to trust me.” Tawarnya sambil menautkan alis dan merentangkan kedua tangannya.
“Wrong. I can send sms to my mother; let her know whom I go with. I always do that.”aku berdiri meninggalkan kursiku, Kuncoro pun berjalan meninggalkan Grease Heaven bersamaku. Sementara pelayan restoran itu setengah mengejar Kuncoro untuk mengembalikan kartu kreditnya, ia segera berbalik dan menandatangani tagihan.
“Well have you do that when you were with me?”sambil menyimpan kartu kreditnya ia sudah kembali berjalan disampingku.
“Yup. “anggukan kuat menyertai jawabanku. Langkah Kuncoro terhenti sejenak dan ia memandangiku dengan wajah tercengang,
“Damn girl, you’re so tricky!”keluhnyasambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, aku tak kuasa menahan tawa.
“Let’s go home Gia the tricky girl!.” Ajaknya meneruskan langkah dan segera kusambut sambil tertawa kecil.
Ditempat parkir aku tercengang melihat mobilnya. Jeep besar seperti yang dipakai tentara, tanpa dinding dan tanpa atap! Bussinesman seperti Kuncoro ternyata suka naik mobil yang model begini, kok rasanya ada yang nggak cocok? Ia yang tampak imut dengan kacamata tanpa bingkai, kemeja dan celana panjang cokelat tua plus wool vest warna krem dan dasi Vs army Jeep? Huffs, aku hanya menghembuskan napas dengan ragu.
Ia melihatku memandangi mobilnya dengan ragu,
“What? Something wrong?”tanyanya polos. Kupikir sekarang bukan saatnya protes, maka saat kutolehkan wajahku kearahnya kuberikan senyum termanis,
“Oh nothing wrong. Absolutely nothing.”ia nampak berseri-seri mendengar jawabanku.
“I just hope it’s not raining.”gumamku dengan suara pelan sambil memanjat naik. Yah, memanjat karena memang jarak lantai dengan pintu mobilnya cukup tinggi. Dan yah, karena tubuhnya yang termasuk petite menambah problem. Ia melihatku cukup kesulitan, dan membantuku naik.
“Sorry? Kamu bilang apa barusan?”. Ternyata ia mendengar!
“Nggak apa-apa. Susah juga ya naiknya.”aku berkelit sibuk membetulkan posisi rokku.
Untung saja diluar tidak hujan,sambil menyetir di jalanan yang masih luar biasa macet, Kuncoro terus bercerita tentang banyak hal. Dan ia sering membuatku tertawa.
“Kayaknya waktu di resepsi kamu lebih tinggi deh, kok sekarang jadi mungil?”tiba-tiba ia bertanya usil. Matanya bersinar nakal memperhatikan sepatuku.
“Ok, you know my secret. Again.”
“ That is something I should thanks for my high heels. Walau rasanya kaki ini capek sekali.”jelasku sedikit malu.
“Aku nggak terlalu mengerti kenapa perempuan selalu membuat dirinya menderita untuk alasan-alasan seperti itu?”ujarnya dengan gelengan kepala tidak mengerti. Aku merasa sedikit sebal mendengarnya,
“Hei kami melakukan itu karena tuntutan pria. Kalian yang selalu menilai perempuan dari ukuran tampilan luarnya.”semburku, tanganku membentuk dua tanda petik saat mengatakan ‘ukuran’.
“Eh nggak juga kok!”sambarnya dengan sedikit mendelik.
“Setidaknya nggak semua laki-laki.”tambahnya pelan. Aku hanya mengangguk-angguk dengan tidak yakin.
Setelah itu kami terdiam, ia sibuk memperhatikan jalan. Dan aku…sambil sesekali memberi tahu arah…, beberapakali…oh ok, seringkali melirik kerahnya, memandangi rambutnya yang ditiup angin malam, menghirup dalam-dalam wangi-nya. Duh kayaknya, aku yang taking advantage Kuncoro nih.
Siapa yang nggak akan bolak balik ngelirik kalau disampingnya ada cowok tinggi, wajah bersih yang…..yah lumayan manis, rambut ikal terpotong rapi dan favoritku adalah wanginya. Baunya nggak terlalu kuat, samar-samar harum kayu manis dan sedikit citrus yang menyenangkan.
Hei! Kuingatkan diriku sendiri, jangan jadi cewek yang seperti ini. Mana resolusi tahun baru kemarin untuk jadi cewek yang tangguh, mandiri dan nggak ‘cowok minded’? Huu baru ketemu cowok model begini sudah kesengsem.
I’m miss independent, yeah, miss independent. Suaraku yang dengan sumbang menyanyikan lagunya Kelly Clarkson saat tahun baru kemarin kembali terngiang-ngiang di telingaku.
Memang sih Kuncoro cukup simpatik, senyumnya manis, gayanya yang kadang polos juga menggemaskan…lho..lho..kok jadi muji-muji dia sih. Aaah udah, nggak usah mikir Kuncoro lagi. Kuhirup napas dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan kejalan.
Celaka! Malah harumnya Kuncoro yang kuhirup dan serasa membius otakku juga membuat leherku kaku hanya mau melihat kearahnya saja.
Oh my god, apa aku terkena penyakit baru, sindrom apa gitu. Uuuh ada obatnya nggak ya? Stop. Stop it Gia! NGGAK BOLEH KECENTILAN, lagian dia belum tentu juga suka sama kamu. Siapa tahu cuma flirting kayak kamu sama si Giri? Uuh rasioku teriak-teriak di kepala nih.
“Hei Gia, kok jadi diem terus?”
“Nggak usah curi-curi pandang gitu ah, mau ngeliat aku terus juga nggak papa kok. Nggak dilarang dan nggak bayar lho.”tiba-tiba alunan lembut bariton kembali terdengar membuyarkan pertengkaran otak dan hatiku. Awalnya secara refleks aku langsung senyum merespons ucapannya, tapi …hah …maksudnya apa?
“Hei siapa yang curi-curi pandang? Aku cuma berusaha nginget-nginget muka kamu kalau ternyata kamu penjahat!”kilahku membela diri dengan wajah panas. Untung malam ini gelap jadi mukaku nggak kelihatan memerah.
“Hei calm down babe, I’m just kidding. But the offer is for real.”jawabnya sambil melirikku dengan pandangan menggoda. Babe? he call me babe? Yukk disgusting!. Tanpa sadar aku bergidik.
Menurutku babe hanya dipakai oleh cowok tipe boyband, yang flamboyan, nggak serius dan cenderung sering mainin cewek. Ok akhirnya ada sesuatu dari Kuncoro yang ‘nggak banget’, paling tidak bisa membuatku kembali menepati resolusi-ku. Seperti saat dalam standing party, dan pelayan nawarin makanan kecil bernama Kuncoro aku akan jawab,’ Hmmm Kuncoro? No thanks, I’m noxious!’ Analogi yang nggak nyambung? Memang sih. Yah intinya Say No to Kuncoro.
“Nih pakai jaketku kalau kamu kedinginan.”ujarnya saat dilampu merah dan tahu-tahu tangannya sudah melingkari pundakkumenyampirkan jaket hangat.
Wuih kok mulai main fisik nih, nyenggol-nyenggol segala. Ok harus mulai waspada, jangan-jangan dia memang penjahat kelamin! Tiba-tiba saja aku merasa sangat lugu dan bodoh, begitu mudahnya diantar pulang laki-laki yangbaru kenal.
Duh gimana nih? Apa yang seharusnya Miss Independent lakukan dalam keadaan kayak gini ya? Hmmm ayo tenang, dan coba pikir pelan-pelan. Cewek mandiri harus bisa menguasai keadaan yang bagaimana pun. Jadi sekarang buat rencana! Kalau dia tiba-tiba menyergap, aku harus teriak keras-keras atau kutimpuk saja pakai buku teks yang tebal ini?
“Earth to Gia, hello! Earth calling Gia, are you here?”saat aku masih tercekam ketakutan, Kuncoro melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku. Secara refleks kutepis tangannya,
“Oups! Apa-apaan sih?”tanyaku dengan mata mendelik. Tapi Kuncoro masih saja cengengesan,
“Hehehehe kamu tuh cewek aneh ya. Tadi di Grease Heaven ngomong banyak, eh sekarang diem-diem terus. Ditegur malah marah. Ada apa sih?”suaranya yang tenang dan santai membuatku kebingungan harus menjawab apa.
“Eh sudah mau sampai rumahku nih. Didepan belok kekanan ya.”Aku berusaha menghindar dari pertanyaannya. Karena nggak mungkin kan kubilang padanya kalau aku curiga ia seorang penjahat kelamin padahal ternyata dia sudah mengantarku sampai rumah dengan selamat.
“Eits ngeles ya?” alisnya terangkat menatapku, lalu ia geleng-geleng kepala meneruskan,
“Hmmm You are one of a kind. Nah rumahmu yang mana?” Lagi-lagi Kuncoro hanya tertawa ringan.
“Sebentar lagi, nah itu yang pagarnya merah. Ya disini saja parkirnya.”kutunjukkan kebun kosong di depan rumahku supaya ia dapat memutar mobilnya dengan nyaman.
“Wah bahkan rumahmu pun unik. Aku belum pernah lihat rumah yang pagarnya merah ngejreng begini deh.”komentarnya.
Pagar rumahku yang tinggi dan penuh ukiran terbuat dari besi tempa memang berwarna merah menyala. Yang memilih warna ibuku, menurutnya dengan warna ini orang-orang akan lebih mudah menemukan rumah kami.
Well my mom does have unique way of thought.
“Ya mau bilang apalagi. We are one unique family, maybe. Thank youvery much for your kindness mister Kun.” Ucapku sambil turun dari mobilnya.
“Nggak ditawarin masuk nih?”tanyanya dengan sorot mata jahil yang mulai kukenali.
“Kayaknya sudah terlalu malam deh. Lagi pula kamu kan mesti cepat pulang, rumahmu masih jauh.” Tolakku halus. Karena pasti ayahku akan tanya macam-macam kalau tahu aku diantar pulang laki-laki, apalagi yang baru kenal.
“Wrong babe! We live inthe same neighbourhood. I forgot to tell you that.”jawabnya sambil nyengir mengejutkanku.
“Hah yang bener. Kamu tinggal dimana?” tanyaku menolehkan kepalaku ke kiri dan kanan seolah akan tiba-tiba menemukan rumah Kuncoro. “Kok nggak bilang dari tadi? Sok-sok nggak tahu jalan kearah sini lagi. Huh dasar!”aku sudah merepet kayak petasan mendekat ke mobilnya yang sedang memutar.
“Hahahaha sorry Gia. This time is my turn to be tricky. Rumahku dikomplek seberang, bahkan tadi kelewatan kok. Can you guess?”godanya lagi sambil memundurkan mobilnya sampai di depanku, sehingga kami bicara berhadapan.
Hmm aku mulai berpikir, bagaimana rumah orang yang punya perusahaan furniture kayu turun temurun ya?
“Ahhh jangan-jangan rumah yang bergaya etnik banget dan penuh ukiran kayu dipojok jalan dahlia itu ya?” tebakku sambil mengacung-acungkan telunjukku kedepan wajahnya.
“I knew that you’re not some ordinary girl. That’s right! So I guess we are neighbour, right?” jawabnya sambil membuat gerakan toss antara telunjukku, yang masih teracung, dengan telunjuknya.
“Wow, rumahmu besar sekali.” Aku mengingat kembali rumah yang begitu sering kulewati selama ini.
“Eh benar juga, kita memang tetangga.”kulanjutkan sambil senyum ringan lalu tanpa kusadari aku menguap (dan lupa menutup mulut ku, ouch!).
“Senang deh malam ini sama kamu, rasanya kepingin terus. Tapi kelihatannya kamu sudah ngantuk banget dan aku harus pulang.” Ujarnya mengakhiri pertemuan kali ini yang hanya bisa kujawab dengan anggukan kepala karena aku memang sudah sangat mengantuk. Hoahhhemmm, lagi-lagi menguap (kali ini berhasil ingat untuk menutup mulutku, fiuh!).
“ Bye Gia-my recently known-neighbour, have a good night sleep.” Pamitnya sambil melambaikan tangan.
“Yah, makasih banyak Kun. Sweet dreams ok.” Aku pun melangkah masuk kerumah sambil geleng-geleng kepala. Padahal rumah kami begitu dekat, tapi bertemu dan kenalnya sampai harus jauh-jauh ke Town Square segala.
Setelah membersihkan diri dan siap untuk tidur aku mengingat-ingat kembali semua kejadian hari ini. Kebiasaan baru yang terus kuusahakan selalu kulakukan sebelum tidur.
Aku pernah membaca dimanaaa ya? Bahwa kebiasaan ini bagus, karena membuat kita selalu mengevaluasi diri setiap hari. Dan mempersiapkan yang lebih baik lagi untuk besok harinya. Dalam ingatanku yang jelas adalah saat aku tercekam ketakutan bahwa Kuncoro mungkin seorang penjahat kelamin, padahal ternyata ia tetanggaku.
Aku jadi sedikit malu, tapi penajahat kan tidak pandang bulu. Siapa saja bisa jadi orang jahat kalau ada dorongan yang cukup kuat untuk itu. Nah kalau yang ini kupelajari setelah membaca buku-buku psikiatri dan lot’s of novel-novel detektif.
Oahhheem duh ngantuknya, ok mudah-mudahan besok aku bisa bangun pagi, tidak mudah marah dan selalu waspada tapi tidak perlu jadi paranoid terhadap orang lain. ……………zzzzz.
Bab IV
Hari ini pakai baju apa ya? Aku baru selesai mandi pagi dan merasa sangat segar serta siap untuk memulai hari. Hmmm kemarin warna hijau, hari ini biru saja deh.
Kupilih rok katun model setengah A sebetis warna biru dengan kembang-kembang kecil warna pink-ungu dengan kaus rajut ungu pucat plus anting-anting biru. Nah tas putihku masih bisa dipakai hari ini dengan sepatu sandal putih. Ok kurasa cukup manis.
Selesai dandan, segera kuseruput susu hangat yang menjadi sarapanku setiap pagi. Saat kuambil kunci mobil, aku langsung teringat bahwa kemarin belum ada yang sempat membawa mobilku ke bengkel. Oh damn it! Berarti hari ini harus naik bus lagi.
Tiiin..tiiin…tiba-tiba terdengar klakson mobil didepan rumahku. Aku segera keluar garasi untuk melihat siapa sih yang main-main klakson pagi-pagi begini. Didepan pagar merahku ada mobil sedan keluaran terbaru warna hitam mengkilat. Lalu pengemudinya keluar dan kulihat ia adalah…Kuncoro!
“Hei, selamat pagi. Ada apa Kun?”tanyaku sambil menghampirinya
“Pagi Gia. Nggak ada apa-apa, Cuma aku ingat kemarin mobil kamu kan masih mogok, kupikir mungkin hari ini kamu mau berangkat bareng aku. Dari pada repot naik bus, kan lumayan. Gimana?”tawarnya.
Yaampun dia manis banget. Wajah yang imut tampak segar pagi ini, dan senyumnya yang lebar serta tatapan matanya menampilkan ketulusan. Aku jadi meleleh lagi nih, gawat…gawat…
“Oh…eh.. wow that’s very nice of you.” Jawabku geragapan.
“Aku memang lagi mikir mau naik bus lagi, then suddenly you came and offering me this? Oh Kun you’re my hero.”kuakhiri kalimatku sekonyol mungkin untuk mengimbangi kegugupanku diawalnya.
Dan berhasil, Kuncoro tertawa kecil sambil mengangguk-angguk. Kubuka pagar merahku dan menguncinya kembali. Kuncoro berjalan memutari mobilnya dan membukakan pintu untukku masih dengan senyum lalu masuk kebelakang kemudi.
“I’m your hero right?” tanyanya saat menstater mobilnya sambil menatapku dan kujawab dengan anggukan serta kelopakmata berkedip-kedip lucu, lalu lanjutnya
“So I’m a superman kind of hero, or batman type, or what?”ia menggodaku lagi saat mobilnya keluar dari komplek rumahku. Aku menatapnya dengan pandangan menilai lalu,
“Hmmm, I think Mr. Incredible will suits you right.” Jawabku dengan wajah lucu dan ia tertawa lagi.
Suara tawanya enak didengar, lesung pipinya muncul lagi dan sudut matanya berkerut manis. Duuuh pagi-pagi sudah dapat godaan nih. Mempertahan New Year’s resolution memang sulit!
“Why him? I’m not married,”
“Never have anychild too by the way, and I’m not that fat!” sanggahnya.
Yes, ternyata pancinganku kena. Hihihihi aku memang ingin tahu statusnya (I can’t help it). Memang aku tidak melihat cincin di jari manisnya, dan sikapnya yang suka flirting disana-sini seharusnya tidak dilakukan oleh pria yang sudah menikah. Tapi siapa tahu?
“Tenang, bukan karena fisik kok. Karena kamu kayaknya tipe family man seperti Mr. Incredible.” Suaraku melembut, dan pipiku mulai memanas saat mengatakannya.
Duh sialan tadinya mau menggoda lagi kok malah jadi deg-deg-an sendiri sih. Aku tak berani menatap kearahnya lagi. Untung saja jalanan pagi ini tidak macet sehingga dengan cepat kami sudah sampai daerah Menteng.
Beberapa saat kita saling terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing, menelusuri waktu yang berjalan dengan perlahan.Kemudian Kuncoro menoleh dan bertanya,
“Oh iya, aku belum tahu kamu mau turun dimana?” sambil menatapku saat lampu merah menyala di Taman Suropati.
Masih kurasakan sisa pipi yang memanas tadi, sehingga aku masih belum berani menatap langsung ke matanya, hanya sampai setinggi dagu saja.
“Ehm kalau tidak merepotkan, aku bisa turun di salemba saja.” Ujarku yang dibalas hanya dengan anggukan.
Jadilah Kuncoro mengantarkan aku di depan rumah sakit tempat aku magang sebagai dokter muda. Ia tidak menurunkan aku di pinggir jalan, tetapi mau berepot-repot untuk masuk, bayar karcis dan mengantarkanku sampai lobby. Kuucapkan terima kasih banyak atas kebaikannya, dan segera kabur dari hadapannya karena tak kuasa berlama-lama menatapnya.
Sepanjang lorong rumah sakit yang kulalui aku sibuk memarahi hatiku. Kapan mau belajar untuk menepati janji pada diri sendiri. Tahun ini aku seharusnya jadi miss independent, nggak terpengaruh sama cowok manapun.
I had enough with men. They always make me do something stupid, give my heart entirely and ended with bloody broken heart. That’s what always happens when I’m with a man. But now, with this…this…totally stranger that I -only known for couple days even though he’s my neighbour-, I feel something that I know -not supporting the resolution.
Untungnya hari itu aku sibuk sekali dengan banyaknya pasien di unit rawat jalan, diskusi serta presentasi yang memakan waktu sampai sore. Aku bahkan tidak sempat makan siang karena sibuk menyiapkan presentasi. Waktu senggang memang sesuatu yang berharga dalam dunia kedokteran. Yah ini memang risiko pekerjaan.
Maka begitu ada waktu sedikit kuusahakan sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal yang benar-benar kusuka. Salah satunya ya cheesecake, selain itu mencari buku-buku tua di pasar Senen atau di internet, atau ya membaca ulang novel detektif yang kupunya.
I know it’s not really a sophisticated hobby. I like visiting museum too before…umm and I like to go to clasical music’s concert too before..Uhh.
Well I can’t avoid it all my life.
Before I was infected by a virus named Donny and make me sick for 4 years. Four precious years ….
Ooh get over it! Focus Gia, Focus.
Kuhela napas berkali-kali sampai kupikir mungkin aku bisa membuat paru-paruku meledak dipenuhi udara Jakarta yang buruk ini. Tapi setidaknya aku mulai bisa berkonsentrasi kembali untuk presentasi kasusku siang ini.
******
Thanks God it’s over! Presentasiku lancar, walau konsulennya super killer tapi beliau tidak komplain apapun. Tubuhku terasa babak belur capek sekali, untung bukan giliranku jaga kali ini, pikirku lega.
“Gi..Gia!” kudengar seseorang memanggilku, Oh Oh ternyata si-cantik-centil-Cyntia (I used to call her that quitely ).
Duh aku lagi capek dan malas mendengar ocehannya yang biasanya seputar make up, baju, sepatu keluaran terbaru di butik sini atau di mall sana. Tapi, salah satu kriteria Miss Independent adalah ramah, jadi ayo tarik bibirmu keatas Gia! Make a smile.
“Hei ada apa Cyn? Kok sampai terengah-engah begitu sih?”tanyaku seramah mungkin.
“Gia sayang aku mau minta tolong.” Ujarnya manja. Alarm mulai bordering dikepalaku.
“Hari ini giliranku jaga, tapi tiba-tiba ibuku telepon katanya ada masalah gawat dan aku harus cepat pulang. Mau minta tolong kamu gantikan aku jaga, mau ya?” ucapnya bertubi-tubi lalu menampilkan senyum manjanya yang tampak lebih menyebalkan dari biasanya.
Yaaah, baru aja bernapas lega hari ini nggak jaga, eh kejadian juga.
“Ok Cyn, kalau memang gawat yah kamu harus cepat pulang. Tenang aja aku gantiin.”jawabku dengan tenang dan senyum setulus mungkin.
Liar! Padahal dalam hati kesel banget sampai kepingin menendang bokongku sendiri.
“Aduuuh, makacih ya Gia sayang. Makacih banget, besok aku kasih sepatu Gucci-ku yang udah nggak kupakai lagi tapi masih bagus kok…warnanya bronze....”Cyntia terus saja mengocah tanpa menyadari aku sudah berjalan menjauh.
“Cyn, bukannya ada yang gawat? Sana cepat pulang!” teriakku dari ujung koridor.
“Hah? Oh eh iyya. Thanks ya Gi. Da daah!”si-cantik-centil Cyntia pun segera pergi. Dalam hati aku tahu keadaan gawat yang dimaksud mamanya adalah beliau gagal mendapatkan tas atau aksesoris paling trendi merek ternama untuk Cyntia tersayang.
Teman-temanku yang lain sudah beberapa kali mengalami yang seperti ini, yah sekarang giliranku.
Bukannya aku tidak suka jaga malam, tetapi hari ini aku benar-benar tanpa persiapan. Tanpa baju ganti untuk besok, bahkan untuk malam nanti. Duh gimana yaaa???
Untungnya dalam lokerku selalu tersedia baju dalam dan alat mandi. Jadi untuk sementara aku masih bisa bertahan. Kuaduk-aduk isi lokerku, dan akhirnya kutemukan celana panjang semi training warna hitam. Wah aku selamat. Sekarang aku tinggal beli kaus di koperasi dan Voila! Aku bisa ganti baju untuk jaga.
Dari sekian banyak macam model kaus yang semuanya berlogo universitasku, kupilih warna abu-abu dan berlengan panjang. Untuk jaga malam memang penting sekali memakai pakaian yang nyaman, walau tetap harus sopan. Karena pasti akan sibuk sekali berhadapan dengan pasien gawat darurat, sehingga harus banyak bergerak.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian baruku plus jas putih, aku segera pergi ke unit gawat darurat dan melapor pada supervisor disana. Saat itu baru pukul 4 sore dan ruangan sudah dipenuhi banyak pasien, aku pun larut dalam berbagai kesibukan.
Tanpa terasa ternyata sudah pukul setengah tujuh malam dan aku tiba-tiba merasa pusing. Baru kuingat, aku belum makan apa-apa sejak pagi tadi.
Aku segera minta ijin supervisorku untuk makan sebentar. Dari pada aku tiba-tiba ambruk malah merepotkan yang lain, lebih baik aku segera mengisi perut.
Saat kembali dari kantin, pasien semakin banyak dan ruangan penuh. Kulihat ada pasien baru yang tampaknya tidak gawat sehingga belum ditangani. Segera kuhampiri,
“Selamat mal…lho Kuncoro? Kamu kenapa?”aku betul-betul kaget melihatnya disana. Ia terbaring di brankar dengan hidung berdarah.
“Wah, Gia betul-betul kejutan yang menyenangkan.”ucapnya, padahal yang didengar Gia hanya gumam-gumaman tidak jelas.
Tanpa memperdulikan ucapan Kuncoro, segera Gia memakai sarung tangan lalu mengambil alat untuk membersihkan darah. Saat bekerja, Kuncoro masih saja berusaha menjelaskan sesuatu tapi Gia tidak bisa mendengar dengan jelas karena suaranya masih sengau. Setelah melihat sumber perdarahannya, Gia segera melapor pada supervisornya dan mendapat instruksi apa yang sebaiknya dilakukan.
Selang beberapa waktu, perdarahan sudah berhenti dan luka-luka lecet disekitar hidung Kuncoro juga sudah dibersihkan.
“Nah Kun, tadi aku nggak ngerti apa pun yang kamu katakan. Sekarang bisa coba lagi ceritakan apa yang terjadi?”tanya Gia
Walau di hidungnya banyak kapas dan kasa serta wajahnya coreng moreng oleh larutan antiseptik, ia berhasil senyum lebar yang diakhiri kernyitan menahan sakit.
“Uh, perih juga ya Gi. “keluhnya
“Iya, nah habis ini kamu foto tulang hidung ya, aku takut ada yang patah. Sambil menunggu antrian, ceritakan kejadiannya Kun.” Tambah Gia.
“Tadi aku baru mau ambil uang di ATM, terus ditodong. Aku nggak mau kasih, lalu kartunya kutendang kekolong mesin ATM. Penodongnya ada dua orang, mereka marah karena nggak berhasil menguras ATM-ku terus aku dipukulin deh. Dompet sama ponselku diambil.”urai Kuncoro.
“Wah kasihan kamu, terus didompet ada isinya?” ucapku prihatin.
“Nggak banyak, paling beberapa ribu perak. Sisanya kartu kredit aja. Bisa segera kublokir besok pagi.”jawabnya dengan tabah.
Aku sibuk mencatatnya dalam rekam medis. Karena akumasih diam ia yang sedari tadi menatapku meneruskan
“Tadi aku bilang, ini kejutan yang menyenangkan bisa ketemu kamu lagi disini Gi.” Ia tersenyum kecil saat mengatakannya.
“Duh, kok muka bonyok begini dibilang menyenangkan Kun. Kalau ketemuan mendingan dirumah atau tempat lain deh, jangan disini. Nah sekarang giliran kamu foto ya, aku tunggu disini.” Jawabku balas senyum, dan kudorong brankarnya kedalam ruang roentgent.
Saat perawat mendorongkan kembali brankarnya keruang gawat darurat, aku sedang berkonsultasi dengan supervisor ahli saraf mengenai Kuncoro. Aku khawatir ia mengalami gegar otak karena mengalami pukulan di wajah serta kepala bagian belakang. Neurologist setuju untuk mengobservasinya diruang rawat selama 24 jam.
“Hei Kun, gimana masih perih ya?”tanyaku lembut. Kuamati wajahnya untuk mengamati tanda-tanda perdarahan susulan. Namun saat mataku bertemu matanya langsung kupalingkan wajah kearah lain, panas langsung menjalari pipiku. Segera kubuka hasil foto tulang hidungnya untuk menjauh dari tatapannya.
“Iya sedikit. Gimana fotonya?”tanyanya saat melihatku mengamati dengan cermat gambaran tulang wajah serta tulang tengkoraknya.
“Menurutku sih baik-baik aja, tapi coba kutanya supervisor ya, disekitar sini ada yang meragukan. “jawabku sambil menunjuk salah-satu bagian dari tulang hidungnya,. Lalu kubawa fotonya untuk berkonsultasi lagi dengan supervisor.
Saat aku kembali ia masih berbaring dibrankar, terlihat semakin tidak berdaya sekaligus menggemaskan.
“Yup, ada tulang hidung yang retak Kun. Dan kamu mengalami gegar otak ringan. Untuk tulang hidungnya nanti akan dipasang bidai selama beberapa hari,bisa sambil rawat jalan. Tapi untuk gegar otaknya kamu harus diobservasi selama 24 jam dulu disini. Kujelaskan perlahan sambil mengamati ekspresi wajahnya.
“Wah padahal aku nggak apa-apa kok, Cuma perih sedikit disini.”ia menunjukkan luka lecet dipipinya.
“Yang di situ malah nggak apa-apa Kun, tapi yang disini yang perlu diawasi.”kusentuhkepalanya untuk menunjukkan gegar otak yang dialami.
“Yah terserah kamulah Gi, kan kamu yang ngerti. Aku ok saja.” Jawabnya sambil menyisir rambutnya kebelakang, dan tangannya bersentuhan dengan tanganku.
Refleks aku menarik tanganku, dan tanpa bisa dicegah wajahku terasa panas lagi.
Gosh, Gia don’t blush in here. This is ER for God sake! Otakku mulai memarahi diriku sendiri.
“Mmhhh ada yang perlu dihubungi? Ayah-ibumu mungkin? Aku bisa bantu.” Kuusahakan memerangi kegugupanku dengan mencatat saat ia mendiktekan nomor telepon rumahnya. Setelah itu kutelepon orangtuanya, sambil kujelaskan secara singkat keadaannya saat ini.
“Ok Kun, they know that you’re here. By the way we must move you to one day care room on the second floor now. Is there anything you wan’t to ask or something I can help you?”
“Yes. Gia you are MY hero now. Thank you.” Ucapnya lembut dengan nada bariton yang dalam. Matanya berusaha menatapku, tapi seperti biasa aku menghindar. Lalu segera kuberikan senyum singkat,
“Hey it’s my job. But you’re welcome. Now get some rest, ok. I’ll see you again in the morning.”kuperhatikan brankarnya berjalan menjauh didorong perawat menuju lantai dua. Kuhela napas beberapa kali untuk mengusir Kuncoro dari pikiranku,dan melanjutkan ke pasien berikutnya.
Sisa malam itu tidak berbeda dengan sebelumnya. Penuh dan melelahkan. Saat pagi datang aku sudah babak belur. Tiba-tiba aku baru ingat bahwa pagi ini adalah hari sabtu, itu berarti kuliah libur dan aku bisa langsung pulang.
Setelah menyelesaikan rekam medis aku meminta ijin untuk pulang pada supervisorku. Saat bersiap-siap aku ingat bahwa kemarin malam aku berjanji untuk melihat keadaan Kuncoro pagi ini, kuputuskan lebih baik aku mandi dahulu karena keadaaanku sudah kucel dan kusut.
Bab V
Setelah mandi lalu sarapan aku merasa lebih segar. Kudorong pintu kamar perawatan Kuncoro dan kulihat ia sendirian, masih tertidur. Lalu aku duduk dikursi sebelah tempat tidurnya, menunggu ia bangun sambil berpikir kok tidak ada keluarganya yang menunggu ya..ooaahemm.. duh mulai mengantuk ….padahal semalam orangtuanya berjanji akan datang tapi kenapa tidak ada yang…zzzzzzzzz
Rasanya ada yang mengelus-elus rambutku, Siapa ya? Kubuka mataku dengan berat dan
ASTAGA, aku ketiduran! Saat kutegakkan tubuhku kulihat Kuncoro sudah bangun dan tersenyum mengamatiku. Dengan hidungnya yang dibidai dan perban berlapis ia tampak menyedihkan sekaligus lucu dan imut.
“Halo Gia, selamat siang.”sapanya dengan manis, dengan suara sengau akibat bidai di hidungnya.
“Uh halo juga, maaf ya saya ketiduran. Padahal tadi niatnya mau menunggu kamu bangun tidur. Jam berapa sekarang?” ucapku masih mengantuk dan sedikit malu.
Yah hanya ‘sedikit malu’ karena dalam keadaan mengantuk dan capekkesadaranku sedang tidak sepenuhnya. Wah kalau aku ingat saat aku benar-benar sadar nanti, bayangkan gimana malunya? Uh...
“Jam sebelas. Nggak apa-apa kok, aku malah senang kamu sempat tidur. Terimakasih sudah menyempatkan kesini ya.”ia menepuk-nepuk tanganku yang tergeletak ditempat tidurnya. Seperti tersengat, langsung kutarik tanganku dari tempat tidur.
“Hah jam sebelas? Aduuh aku malu banget Kun. Sori ya, aku ketidurannya lama banget.”kuusap wajahku dan mengucek-ucek kedua mata, lalu merapikan rambutku sebisanya. Oh maluuuuu…..
“Hei nggak apa-apa kamu kan memang kecapekan semalam. Lagi pula, waktu kamu tidur kelihatan manis.”tambahnya dengan suara perlahan.
“Eh apaan?”tanyaku, karena tidak jelas mendengar bagian akhir kalimatnya.
“Kamu manis waktu tidur.”ulangnya.
“Oh masa sih? Kalau bangun nggak ya?” jawabku masih belum sadar benar. Ia tersenyum,
“Gia, kamu pulang aja sekarang. Muka kamukelihatan lelah banget tuh.”
“Tapi kamu bisa pulang naik bus dalam keadaan mengantuk begitu? Apa mau tidur disini saja? Aku nggak keberatan kok”tawarannya terdengar menggoda.
What? Spending more time with the one that alwayas make my cheek blushed? No way.
“Ehhm makasih buat tawarannya, tapi aku harus pulang Kun. Kayaknya kamu sudah baik-baik aja ya. Mungkin besok pagi kamu bisa pulang. “ujarku sambil merapikan barang bawaan.
“Besok aku mampir lagi kesini ya, nggak apa-apa kan?”sambungku, karena ia masih diam memperhatikanku.
“Hmm sebenarnya ….aku lebih senang kalau kamu bisa kesini lagi nanti malam Gi. Tomorrow seem too long for me.” Jawabnya dengan lemah.
“Eh tapi kalau kamu masih capek ya nggak usah. Besok juga nggak apa-apa.”ralatnya dengan setengah tersenyum.
“Hmmm Mr. Incredible mulai manja nih.”ucapku dengan nada lucu dan senyum. Ia hanya balas tersenyum, tapi matanya meminta .
Ohh Ok, now I start to feel guilty if I can’t visit him tonight. This is not right! My heart is trying to fool my brain again. Stop it Gia, Stop!
Wajahku sedikit mengeras dan tak kuasa memandangnya,
“Bye Kun, take care.”lalu segera kubalikkan tubuh menuju pintu.
Sesaat sebelum kututup pintu dibelakangku aku mendengarnya berkata,
“Thanks Mrs. Incredible!”
Aku terbelalak sesaat didepan pintu mendengarnya. Untuk masuk kembali dan menanyakan apa maksudnya aku tidak berani. Takut pertahananku luluh lagi seperti sesaat tadi.
Sudahlah, paling bukan apa-apa. Ia hanya bercanda seperti waktu itu aku katakan ia Mr. Incredible.
Seperti sudah diduga sebelumnya, begitu sampai rumah aku segera tertidur bahkan sebelum mencium bantal. Aku terus tidur sampai sore, dan baru terbangun pukul 7 petang merasa cukup segar.
Begitu terbangun langsung teringat Kuncoro. Kubayangkan apa yang kulihat pagi tadi. Kenapa ia sendirian ya? Apa tidak ada keluarganya yang menemani? Bagaimana dengan kartu kreditnya, ATM nya? Aduh aku merasa kasihan padanya, dan merasa bersalah kenapa tidak teringat untuk menawarkan bantuan padanya.
Gia, dia bukan siapa-siapa. You only know him for a day, why even bother? Satu sisi kepalaku memarahiku.
But Gia, helping others doesn’t require relationship or even reason. Whenever you can, you must help them. Sisi kepalaku yang lain menimpali.
Aduh aku jadi pusing gara-gara makhluk Kuncoro itu.
Hmmm apa aku kerumahnya saja ya, mencari tahu bagaimana keadaan Kun dari orangtuanya. Pasti mereka sudah menjenguknya.
Dengan mengenakan celana jeans dan kaus, aku menyetir kerumahnya. Begitu sampai di pintu gerbangnya aku mengagumi ukiran pada gerbang kayu yang tebal dan tinggi itu. Kuketuk gerbangnya dan diterima oleh Satpam.
Sedikit kikuk aku mengatakan ingin bertemu dengan orangtuanya Kuncoro (aku tidak tahu nama orangtuanya), dan dipersilahkan masuk.
Aku menunggu diruang tamu yang kental sekali suasana etnik jawanya. Penuh ukiran di meja, kursi, pembatas ruangan ditambah pajangan wayang dan lain-lain.
Saat sedangmengagumi sebuah wayang kulit yang sangat besar tergantung didinding aku mendengar suara langkah,
“Selamat malam, saya mamanya Kuncoro”ucap seorang wanita pertengahan lima puluhan dengan logat jawa yang kental. Penampilannya yang resmi mengenakan kebaya dan rambut tersanggul rapi membuatku merasa kucel sekali dengan celana jeansku.
“Uh eh, saya Gia tante.”jawabku resah dan melirik jeansku, lalu melihat kain yang dikenakan mamanya Kun.
“Saya dokter jaga gawat darurat yang menelepon tante kemarin mengenai keadaan yang menimpa Kuncoro.”sambungku melihat pandangan bertanya dimata mamanya Kun.
“Ohh begitu, tadi saya pikir siapa. Silahkan duduk nak dokter.”tawarnya dengan ramah.
‘Nak dokter’? My god.
“Nah apa yang bisa ibu bantu? Tumben dokternya mau berkunjung kerumah segala, Kun baik-baik saja kan?”tanyanya.
“Oh tidak apa-apa tante eh ibu. Kebetulan kita tetanggaan, saya tinggal di komplek seberang. Tadi pagi saat saya pulang Kun baik-baik saja. Saya hanya ingin mengetahui keadaannya sore ini dari tante eh ibu.” Jawabku belepotan.
Aku bingung mau panggil tante atau ibu. Wah gagal total keinginanku ingin menampilkan citra Miss Independent dihadapan wanita jawa ini.
“Oh tante malah belum melihat dia sejak kemarin. Disini sibuk sekali, adiknya Kun mau menikah minggu depan.”jawabnya
“Ooh begitu.”aku hanya bisa mengaguk-angguk
“Tapi papanya sudah melihat dia sebentar tadi siang, katanya biasa-biasa aja tuh. Nggak ketemu kamu ya?”kujawab dengan gelengan kepala,
“Mungkin setelah nak dokter pulang.”sambungnya.
“Panggil saya Gia saja tante eh iibu.” Usulku karena taktahan mendengar panggilan ‘nak dokter’ ala the 80’s.
“Kalau begitu kamu panggil saja saya tante Widya.”
Yang kujawab hanya dengan anggukan.
“ Jadi kamu tinggal di komplek seberang? Rumahnya sebelah mana? Mungkin tante kenal mamamu.”
“Diujung jalan anggrek yang pagarnya merah tua tante.”
“Ooh yang ngejreng itu tho”logatnya terasa semakin kental saja. Kujawab dengan anggukan. Tante Widya lalu menjelaskan bahwa ia memang mengenal ibuku, karena pernah ikut klub senam jantung bersama di komplek ini.
Setelah itu ada jeda beberapa menit yang terasa bertahun-tahun saat pembicaraan terhenti dan kami sama-sama diam. Bingung harus bertindak bagaimana, akhirnya kuputuskan untuk pamit pulang.
“Ok terimakasih sudah berkunjung ya Gia.” Ujar tante Widya sambil mengantarku ke pintu.
Sepulang dari rumah Kuncoro aku memikirkan hal yang terasa janggal untukku. Kuncoro dibiarkan sendirian oleh ibunya, hanya dijenguk ayahnya. Walaupunsibuk dengan pernikahan adiknya, tetap saja ada kesan keluarganya kurang perduli terhadap anak laki-laki mereka yang sudah bersusah payah menjalankan bisnis keluarga ini. Yah mungkin memang begitu cara mereka, atau ada hal-hal lain yang tidak kuketahui terjadi dalam keluarga mereka sehingga bersikap seperti itu.
Ah sudahlah aku tidak berhak menghakimi atau ikut campur dalam urusan keluarga orang lain. Lebih baik besok pagi-pagi kujenguk Kuncoro saja , mudah-mudahan ia senang.
Bab VI
Pukul enam kurang lima belas menit pagi ini aku sudah meluncur dijalan. Untungnya kemarin ayah sudah membawa mobilku kebengkel. Saat aku berangkat pagidan merasakan jalanan di jakarta yang masih sepi rasanya agak aneh. Jalan-jalan utama yang biasanya padat oleh mobil-mobil berjejalan kali ini masih lengang, sehingga aku bisa dengan cepat sampai ke rumah sakit.
Saat aku sampai di ruang rawat sehari tampak perawat baru saja keluar dari kamar Kuncoro bersama konsulen neurologis yang mengadakan kunjungan pasien pagi. Segera saja kuhampiri dan kutanyakan bagaimana diagnosa akhirKuncoro.
“Anda siapanya?”tanya dokter konsulen itu .
“Mmmh saya …saya teman sekaligus dokter jaga IGD-nya kemarin dok. Orangtuanya menitipkan pada saya.”jawabku sekenanya sambil tergagap-gagap karena bingung.
“Ooh saya kira istrinya tadi.”ucapnya yang membuat wajahku terasa panas.
“Untuk sekarang sudah stabil. Tanda-tanda komplikasi lanjutan yang mungkin terjadi tidak ditemukan selama observasi. Jadi sekarang boleh pulang. Hanya saya sarankan istirahat dulu di rumah minimal sehari lagi sebelum kembali bekerja.” Urainya
“Oh begitu dok. Ya akan saya sampaikan pada orangtuanya. Terimakasih banyak dok. Saya permisi.”pamitku, beliau pun berlalu melanjutkan kunjungan pagi ke pasien-pasien berikutnya.
Kubuka pintu kamar Kuncoro , ia sedang duduk di tepi ranjangnya. Ia tidak mendengar aku masuk,
“Hi there Mr. Incredible. How are you feeling today?”sapaku lembut.
“Oh there you are. Aku sudah menunggu kamu dari tadi. Like I said before, it’s been too long for me.” Matanya tampak berbinar-binar saat melihatku.
Kuperhatikan wajahnya dengan cermat, tampaknya tidak ada sesuatu yang lain kecuali rasa syukur. Dan aku pun merasa lega bahwa ia tidak terlihat kesepian.
“Semalam bisa tidur nyenyak?”tanyaku.
“Ya, sampai nggak inget apa-apa.” Jawabnya sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.
Segera kubantu ia bangun dengan menyangga lengannya. Setelah ia bisa berdiri dengan stabil baru kulepaskan.
“Well that’s good. Makanya pagi ini kamu terlihat segar. Umm ada yang jemput kamu pulang hari ini?” tanyaku lagi dengan hati-hati, sambil mengamati wajahnya lekat-lekat.
“Nggak. Aku bisa pulang sendiri kok.”jawabnya ringkas, wajahnya tidak berubah sedikit pun. Aku heran sekali.
“Walaupun kamu sudah boleh pulang tapi kan habis mengalami gegar otak, jangan pulang sendirian dong”
“Ya nggak apa-apa. Semua orang rumah lagi repot dengan pernikahan adikku. Ayahku harus menanganani pesanan yang tadinya merupakan tugasku. Aku malah sudah merepotkan mereka.” Jawabnya kalem.
Tak habis pikir, aku hanya menggeleng-geleng kepala.
“Yasudah aku antar kamu pulang Kun.” Tandasku dengan tegas.
“Sekarang mungkin sebaiknya kamu ganti baju dulu. Biar aku urus masalah administrasinya dan mungkin ada resep untuk dirumah.”sambungku.
“Oh terima kasih Gi. Untuk pembayaran kemarin sudah diselesaikan oleh ayahku. Jadi tinggal yang lain-lain saja.”suaranya terdengar lega.
“OK. Segera kuurus ya.” Kutinggalkan ia dan berjalan keluar kamarnya.
Diluar kamar aku masih saja mengernyit dan mengeleng-geleng kepala tak habis pikir. Tante Widya bisa menyempatkan waktu untuk menyanggul rambutnya begitu rapi tapi tidak punya waktu untuk menjenguk anak laki-lakinya .
Pengurusan administrasi selesai dengan cepat. Aku sudah memegang resep untuk Kun setengah jam kemudian. Cepat aku kembali kekamarnya.
“Halo sudah selesai ganti bajunya?” tanyaku dari balik tirai tempat tidurnya.
“Eh belum Gi, sebentar ya.” Suaranya terdengar lain, sedikit bergetar.
Tak lama ia menyibakkan tirainya dan sudah tampak rapi mengenakan baju yang kemarin dipakainya saat datang ke IGD. Ada sedikit bercak darah di dekat kerahnya. Aku hanya mengehela napas melihatnya.
Lalu kulihat matanya. Mata itu begitu berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Kali ini tak ada riak jenaka atau kilatan nakal disana. Justru ada kegalauan, kecemasan dan kepedihan yang dalam.
Namun selain itu tak ada yang berubah, wajahnya tetap seperti biasa, senyumnya terkembang melihatku. Aku balas tersenyum dan berusaha tidak melihat matanya karena membuat aku merasa nyeri dalam hati.
Kudorong kursi rodanya kearah lapangan parkir, dan membantunya menaiki mobilku.
“Udah Gi, aku bisa sendiri kok. Aku gegar otak bukannya jadi kakek-kakek. Aku bisa pasang sendiri sabuk pengamannya.” Protesnya ketika aku berusaha melakukan semua untuknya.
“Ok, maaf Kun. Aku tahu kamu bisa kok. “ujarku sambil melepaskan tanganku dari sabuk pengamannya.
Lalu aku segera duduk didepan setir, tiba-tiba merasa tak mampu menstater mobilku. Tak dapat kutahan, aku menoleh dan menatap Kun dengan pandangan sedih.
Ia merasakan tatapanku dan menoleh. Kulihat matanya, kepedihan itu kembali tampak.
“Jangan melihatku seperti itu Gi. Jangan kasihani aku.” tiba-tiba suaranya tidak lembut seperti biasanya. Ada protes disana. Aku tidak menjawab apa-apa, tak kuasa. Namun terus memandangnya. Ia segera memalingkan wajahnya menatap jendela.
“Damn you Gia. Don’t look at me like that. Don’t you dare.”kali ini nadanya lebih keras dari sebelumnya, ada kemarahan dan juga ancaman. Tapi juga ada getaran.
Aku tidak amarah, tidak tersinggung, hanya sedih.Lalu kuhela napas dengan cepat dan mengalihkan pandanganku. Kustater mobil dan mulai mengubah gigi,tiba-tiba tangan Kun menghentikan gerakanku.
Tangan kiriku digenggam erat olehnya, semakin lama genggamannya semakin erat sampai terasa sakit. Aku tidak berusaha melepaskannya, hanya terdiam dan membiarkan Kun melepaskan semuanya lewat genggaman tangan ini.
Secara naluri aku memahami apa yang dirasakannya walaupun aku tidak tahu persis bagaimana permasalahannya. Kubiarkan ia terus menggenggam tanganku bemenit-menti lamanya, sementara mobil kumatikan kembali. Wajahnya tampak tegang dan matanya menatap lurus kedepan. Semua emosi yang tampak bergejolak hanya terasa lewat genggaman tangannya.
Lalu perlahan-lahan genggamannya melonggar dan akhirnya ia melepaskan tanganku. Kembali memalingkan wajahnya kearah jendela, seakan tak berani menatapku.
“Ayo pulang Gi.”ucapnya perlahan.
Aku hanya mengangguk dan segera menjalankan mobil keluar dari rumah sakit.
Sepanjang jalan kami hanya diam, tidak ada yang berniat memulai pembicaraan. Namun juga terasa keakraban yang semakin terjalin sesudah ketegangan tadi. Lalu telepon ganggamku berbunyi memecah kesunyian.
“Halo?”jawabku
“Hei Bu, kemana aja lo ?”suara Ari ketua kelompokku terdengar nyaring di telepon. Uups aku lupa memberitahu teman-temanku.
“Oh iya Ri, sori gue lupa ngasih tahu lo. Mm gue lagi ngurus sodara, dia kemarin masuk rumah sakit dan hari ini pulang. Ini gue lagi nganter dia pulang . Sori banget ya gue lupa. Besok gue bawa suratnya deh dan langsung ngadep kordinator sendiri.”jawabku
“Okeh okeh, nggak apa-apa kok. Tapi kita-kita khawatir aja, tadi pas diabsen kita bilang elo sakit. Habisnya bingung jawab apaan.”
“Aduh thank you so much ri, besok gue urus sendiri ok. Salam buat anak-anak ya. See you tomorrow.”
“Bye” lalu Ari memutuskan sambungan.
Aku menggunakan hands free , namun speakernya cukup keras sehingga Kuncoro tampaknya juga bisa mendengar. Aku merasa ia menatapku, aku menoleh dan tersenyum padanya.
“Maaf merepotkan kamu Gi.”ucapnya. Kali ini suaranya sudah mendekati seperti biasanya.
“Ah nggak apa-apa kok. “jawabku singkat.
Lalu ia kembali menatap ke jendela.
Sesampainya di kompleks rumahnya ia menunjukkan arah yang kutahu tidak menuju rumah etniknya,
“Lho Kun belokkan jalan dahlia kan yang tadi. Kamu bukan mau pulang?”tanyaku heran.
“Aku mau pulang kerumahku sendiri Gi.”
Ternyata yang dimaksud rumahnya sendiri adalah paviliun mungil dibelakang showroomfurniture milik keluarganya. Kuhentikan mobil di tempat parkir showroom yang lumayan luas itu.
“Jadi kamu tinggal disini?”tanyaku
Ia hanya mengangguk lalu membuka pintu mobil dan beranjak keluar. Aku masih duduk dibelakang setir, saat ia menghampiri pintuku
“Mau masuk?”tawarnya. Aku sedikit ragu.
Tetapi saat kulihat wajah polosnya, matanya yang masih menyiratkan sisa kegalauan tadi aku membuka pintu dan mengikutinya keluar.
Paviliun itu pun sebagian besar berornamen kayu, walau tidak seramai rumah di jalan dahlia. Yang ini lebih sesuai dengan seleraku. Sederhana tapi anggun.
Kuncoro membuka pintunya dan membawaku keruang tamu yang mungil tapi artistik. Disana ada sofa-sofa kulit warna anggur, meja kayu dengan ukiran yang indah serta meja kerja yang tampak antik dengan banyak laci-laci kecil.
“Disini biasanya aku menerima klien yang sudah akrab dan berbincang dengan mereka,.”jelasnya menunjuk ke sofa.
Lalu ia mengajakku lebih kedalam memperlihatkan ruang kerjanya. Disana terdapat meja kerja yang lebih formil, dan penuh tumpukkan kertas serta buku. Dibelakangnya terdapat lemari buku besar memenuhi dinding, dijejali buku-buku tebal. Diseberang meja kerja juga terdapat televisi dan sofa untuk dua orang dengan kain penutup bercorak unik bernuansa coklat kemerahan. (baru gegar otak kok jalan-jalan?)
“Here is where work and pleasure sometimes blend in.”
“Buat proposal sambil nonton bola, misalnya”katanya sambil tersenyum kecil.
Selanjutnya dapur yang juga mungil didominasi warna coklat kehijauan.
“Apa kamu masak sendiri Kun?”tanyaku
“Ya jarang-jarang sih.”jawabnya sambil bersender pada meja dapur.
“Padahal dapur kamu cantik banget lho. “ujarku mengagumi lemari dengan panel kayu bernuansa coklat tua yang dicat khusus sehingga tampak tua dan antik yang menempel didinding, dibawahnya terdapat dinding yang dilapisi mosaik dari keramik kecil-kecil dengan warna gradasi kuning kehijauan sampai hijau apel dan membentuk pola ornamen yang unik, serta kulkas besar yang tersembunyi dalam lemari kayu berukir bunga mawar yang dapat didorong keluar-masuk.
“Kamu boleh datang dan mengagumi dapurku setiap hari sesuka kamu Gi.”ucapnya dengan senyum. Ia tampak sudah seperti Kuncoro yang sebelumnya kukenal.
“Disini ada apa?”tanyaku mendorong pintu di sebelah kiri dapur. Dan segera terlihat bahwa itu kamar tidur.
“Ups sori.”ucapku pendek, sedikit malu
“Nggak apa-apa kok, itu kamar tamu. Kecil memang, tapi lumayanada kamar mandi didalamnya. “
Lalu ia berjalan lebih jauh lagi kebelakang dan membuka sebuah pintu kayu hitam,yang sudah kuduga adalah kamarnya
“Ini baru kamarku Gi. Mau lihat?”ia menawari
“Oh nggak usah, nggak perlu kok. Terima kasih. “jawabku gugup.
“Kamu ganti baju aja dulu Kun, yang itukan sudah dari kemarin.”usulku
Ia hanya mengangguk dan menghilang kedalam kamarnya.
Aku meneruskan kebelakang dan menemukan kebun mungil yang cantik disana. Dengan batu-batu koral, tanaman perdu yang hijau berpadu dengan semak yang berbunga kecil-kecil warna merah jambu serta ungu. Juga ada beberapa pot mawar, kamboja dan anggrek. Tepat pada teras kecil yang memisahkan kebun dengan rumah terdapat ayunan dari kayu yang diikatkan pada eternit atap rumah. Aku duduk disana sambil mengagumi kebun mungilnya.
Lalu kudengar suara pintu berderit, Kuncoro sudah berganti baju dengan celana panjang dan sweatshirt. Hidungnya memang masih dibidai, tapi selain itu ia terlihat sehat seperti sebelumnya.
“Hai.”sapanya
“Hai”kujawab sambil menatapnya dengan senang
“You have a little paradise here Kun.”pujiku sambil memandang kebunnya.
Ia masih berdiri didekat pintu dan mengikuti arah pandanganku ke kebunnya lalu mengangguk. Lalu Kuncoro yang masih menunduk melanjutkan,
“Gia, soal yang tadi …di mobil.”ucapnya terputus-putus.
Aku bangkit dan mendekatinya.
“Hei nggak apa-apa. Tenang aja, nggak apa-apa, ok?”ucapku menenangkannya .
Saat itu aku berdiri tepat didepannya, lalu ia mengangkat wajahnya sehingga kami kembali bertatapan. Tiba-tiba tak sampai semenit kemudian, ia menciumku!
Aku tak tahu harus bagaimana, ciumannya terasa begitu mendesak sekaligus menggetarkan.
Tiba-tiba aku tersadar, aku sendirian disini dengan orang asing yang menciumku! Bahaya…………..Gia cepat pergi! Jerit otakku mengingatkan.
Secepatnya kulepaskan diri dari pelukannya lalu kudorong ia kesamping karena menghalangi jalanku kepintu dan aku segera berlari keluar dari rumah itu.
Aku lari dan cepat-cepat memasuki mobil. Kupikir ia akan mengejarku. Kupikir ia memang benar-benar penjahat kelamin. Secepatnya kutancap gas dan pergi dari sana.
Didalam mobil aku terengah-engah, jantungku berdebar-debar. Kugosok-gososk bibirku untuk menghapus semua yang kurasa disana.
Aku merasa marah, bingung, terkejut, kecewa dan takjub. Aku tak tahu apa yang harus kurasakan atau kupikirkan. Akhirnya kuikuti saran otakku yang paling masuk akal: jangan pernah menemui Kuncoro lagi, titik.
Sementara itu aku harus bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.
Yeah, THAT’S easy. I rolled over my eyes again.
Bab VII
Seminggu terakhir ini aku menjalankan hidup seperti biasa. Tanpa Kuncoro sama sekali dipikiranku.
Uh liar! I think of him every second. I eat and sleep with him everywhere.
Hidup seperti biasa yang kujalani bagai robot tak beremosi. Kulakukan semua kewajibanku, presentasi kasus, jaga malam, kuliah seperti biasa. Tapi hatiku tidak bersamaku.
Aku tak habis pikir kenapa aku tidak merasa marah luar biasa yang cukup lama terhadap Kuncoro. Ia sudah seenaknya saja menciumku. Padahal ……oh aku tak tahu harus berpikir apalagi. Semuanya tampak terlalu membingungkan.
Aku ingin sekali merasa marah tapi yang ada malah rasa penasaran kenapa ia melakukan itu? Apa yang sekarang terjadi padanya? Aku ingin membencinya karena melecehkan aku tapi ingatanku malah kembali melayang saat ia menarikku lalu menciumku. Bibirnya yang lembut menyentuh bibirku, seolah baru saja minum cokelat panas, rasa hangat mengalir dari bibir keseluruh tubuh. Dan bagaimana kakiku yang goyah saat melepaskan diri dari pelukannya.
Stop it Gia, S T O P!
Aku memilih menghabiskan sisa minggu ini dengan jaga malam berturut-turut jumat-sabtu. Setidaknya bekerja sampai babak belur akan mengalihkanpikiranku dari hal-hal lain yang tidak ingin kupikirkan.
You know what I mean.
Dan benar saja, jaga 2x24 jam memang menghabiskan semua energiku. Aku bahkan langsung tertidur saat naik bus. Begitu sampai ditempat tujuan, kondekturnya harus membangunkan aku. Dalam keadaan kelelahan seperti ini aku tidak berani menyetir sendiri. Lebih baik naik bus dan ketiduran, ketimbang menyetir sambil mengantuk dan membahayakan orang lain selain diri sendiri.
Sesampainya dirumah aku merasa sangat lapar. Untung saja ibuku sudah membuat sarapan minggu pagi-nya yang biasa. Nasi goreng isi segala macam yang ada di kulkas.
Judul dan isinya memang benar-benar sesuai, karena ibuku akan memasukkan benar-benar semua yang ada dalam kulkas sebagai topping nasi gorengnya. Seperti pagi ini aku menemukan sepiring besar nasi goreng dengan suwiran ayam gulai sisa 2 hari yang lalu, potongan ikan bandeng pepes sisa kemarin, tauge, timun, selada air, potongan tempe bacem dan mmm apa ya ini? Oh ternyata oyong rebus yang dipotong tipis-tipis. Walau isinya aneh, rasanya enak juga. Setidaknya dengan lidahku yang kaku karena kecapekan aku bisa menelan makanan ini.
Segera mandi dan berganti baju aku berbaring diranjangku yang nyaman. Oooh enak sekali rasanya meluruskan punggung dan .zzzzzzzzz…
****
Sepanjang hari minggu itu kuhabiskan dengan tidur sampai keesokan paginya. Benar-benar balas dendam. Aku hanya bangun untuk ke kamar mandi dan makan. Hari senin tubuhku sudah merasa segar dan siap beraktivitas lagi.
Namun saat semua tugas sudah dikerjakan, seluruh rasa letih sudah hilang pikiranku kembali melayang ke makhluk bernama Kuncoro.
Sialan.
Dengan murung aku berpakaian. Suasana hati yang kelabu berpengaruh juga terhadap pilihan warna bajuku. Rok terusan warna hitam dengan sepatu, tas dan bando hitam. Hanya bros mungil dari bebatuan warna warni yang tersemat didadaku menceriakan sedikit penampilanku.
Kuambil kunci mobil dan pamit pergi pada ayah dan ibu. Saat kumundurkan mobil keluar dari garasi di kaca spion depan aku melihat ada mobil lain mendekat kerumahku. Mobil siapa ya, sedan hitam yang rasanya kukenal itu?
Oh ya ampun, itu kan mobilnya Kuncoro! Entah apa yang kupikirkan saat itu karena aku langsung mengeluarkan mobil secepatnya dan tancap gas pergi.
Dari spion kuintip pengemudi sedan hitam itu memang Kuncoro, sempat membuka pintu dan baru saja beranjak turun saat mobilku melesat keluar.
Ia pun masuk kembali dan menstater mobilnya lalu mengikuti mobilku. Aku coba mengendarai mobil seperti biasa, walau rasanya ingin sekali ngebut dan meninggalkan mobil dibelakangku itu.
Setelah beberapa kilometer mobil Kuncoro masih dibelakangku. Gawat ini, dia akan mengikutiku sampai ke rumah sakit. Kupikir sebaiknya aku menepi.
Segera kupinggirkan mobil dibahu jalan dengan memasang lampu pengaman. Kuncoro pun berhenti dibelakangku. Lalu kulihat dari spion ia turun dari mobilnya dan mulai berjalan kearah mobilku.
Aduh jantungku berdetak kencang, rasa panas mulai menjalari wajahku yang kuyakin mulai berwarna kemerahan. Tapi kutarik napas panjang beberapa kali dan bersiap untuk yang terburuk.
Kulihat ia berdiri disamping jendelaku, wajahku masih menatap lurus kedepan. Lalu Kuncoro mengetuk pelan kaca jendelaku meminta aku menurunkan kaca.
Kupencet power window namun tak kutolehkan wajahku. Kupasang tatapan setajam dan sedingin mungkin.
“Gia, aku minta waktumu sebentar boleh?”tanyanya dengan lembut.
Aku tetap diam, tak juga kupalingkan wajahku dari tatapan lurus kedepan. Namun kali ini lebih dikarenakan tak berani menatap matanya. Saat kudengar suaranya dan kurasakan kehadirannya hatiku langsung meleleh. Aku takut mataku membocorkan semua yang tidak ingin kubocorkan.
“Please Gia, kasih aku kesempatan. Beberapa hari terakhir sulit sekali menemuimu. Jaga berhari-hari, tidak pernah datang ke Grease Heaven lagi.”lanjutnya
“Aku belum sempat meminta nomor teleponmu waktu itu jadi bingung cara menghubungimu. Akhirnya aku datangi saja rumahmu tetapi pembantumu bilang kamu jagamalam atau belum pulang. Kucari ke IGD namun saat itu kamu tampak sibuk sekali, jadi aku takut mengganggu. Aku bingung setengah mati Gia!” jelasnya dengan terburu-buru.
Aku tersentak, berarti dia datang ke IGD kemarin. Kok aku bisa nggak sadar ya?
Karena melihat aku masih diam dan tidak juga menoleh kearahnya, ia menyentuh daguku
“Gia, ayo kita cari tempat yang nyaman dan kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya. Please…” bisiknya
Mau tak mau aku harus menoleh kearahnya Kujauhkan daguku dari sentuhannya, lalu mengangguk kecil.
“Di taman Suropati ada bangku-bangku kecil. Ketemu disana aja. “ucapku datar.
Segera kututup jendela dan mulai menstater mobilku.
Kulihat Kuncoro pun segera masuk dan menjalankan mobilnya.
Sepanjang jalan menuju taman Suropati detak jantungku semakin tak keruan. Perutku bergejolak tak nyaman dan seluruh wajahku terasa semakin memanas. Aku tak sempat dan tak mau berpikir apa yang akan terjadi di taman nanti. Penjelasan seperti apa yang akan diberikan Kuncoro padaku. Aku hanya ingin menuntaskan semuanya.
Sengaja kupilih taman Suropati karena tempatnya dekat, teduh dan yang paling penting ada kantor polisi tepat diujungnya. Yah aku kan mesti berjaga-jaga kalau ternyata Kuncoro memang penjahat kelamin.
Aku sampai lebih dulu di taman, segera keluar dari mobil lalu mulai mencari bangku yang letaknya paling dekat dengan pos polisi. Kudengar mobilnya datang mendekat. Aku tetap berjalan kearah bangku lalu duduk disana.
Bangku itu terbuat dari semen dan sebagian diberi keramik. Letaknya persis disamping kanan agak belakang dari pos polisi dan dibawah pohon yang rindang. Kulihat bapak-bapak polisi sedang ngobrol satu sama lain di teras pos.
Rasanya tempat ini cukup pas. Kalau terjadi apa-apa aku bisa teriak dan akan terdengar oleh polisi tersebut.
Kudengar langkah-langkah mendekat, pasti Kuncoro. Benar saja, ia bergegas mendatangi bangku tersebut dan duduk disampingku.
Mataku masih tak ingin melihatnya. Sebagai gantinya kuamati lumut-lumut yang tumbuh disekitar bangku itu.
Setelah ia duduk, aku tetap diam. Lebih baik menunggu dari pada memulai, pikirku.
“Terimakasih Gi, kamu kasih aku kesempatan ini. Aku ingin sekali menjelaskan semuanya.”mulainya perlahan.
Aku masih menunggu, lumut hijau itu tampak seperti beludru.
“Pertama aku ingin meminta maaf atas ………atas..sikapku waktu itu. Pasti kamu kaget ya Gi?”suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Maaf atas kelancanganku, saat itu aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukan itu. Tiba-tiba saja tubuhku bertindak tanpa konfirmasi dengan kepalaku.”
“Aku sendiri bingung Gi………..”ucapannya semakin perlahan
“Kamu sudah merendahkan aku, melecehkan aku, memanfaatkan aku.”selaku datar dan dingin.
“……..sungguh aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Sama sekali tidak pernah terlintas dibenakku untuk merendahkan kamu Gia. Sama sekali.” Ralatnya cepat.
“Kamu harus percaya aku.”tambahnya kemudian.
“Aku hanya bisa bilang kalau kamu sudah membuat aku benar-benar bingung. Hati-otak dan tubuhku seperti tidak akur lagi. Semuanya jalan sendiri-sendiri.”keluhnya.
Nada suaranya benar-benar menyiratkan kegundahannya. Dan seperti menyuarakan kegundahanku juga. Aku memberanikan diri melirik sedikit kearahnya. Kulihat ia sedang membungkuk dan menunduk, kepalanya diantara kedua tangannya.
“Bagaimana dengan gegar otaknya? Sudah kontrol lagi?”tanyaku refleks, teringat kecelakaan yang menimpanya.
Ia mengangkat kepalanya dan menoleh kearahku lalu melihat aku sudah menatapnya.
“Oh sudah tidak apa-apa sekarang. Hari rabu kemarin aku kontrol, dan dikatakan sudah sembuh Gi.”jawabnya .
Wajahnya masih tampak cemas dan matanya berusaha membaca wajahku. Lalu sepertinya ia melihat pengertianku. Bahwa aku berusaha mengerti penjelasannya, dan bisa menerima apa adanya. Kemudian ia tersenyum, menolehkan kepalanya ke kiri , ke kanan lalu melihatku dan tersenyum kembali lalu kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti orang bodoh saja. Dalam hati akupun mulai tersenyum.
“Waktu kamu dirawat aku kerumah.”ucapku
Ia tampak terkejut, tapi tidak berkata apa-apa.
“Lalu bertemu ibumu. Tante Widya.”tambahku.
“Terus?”tanyanya
“Yah sempat ngobrol sedikit sih. Diaselalu dandan serapi itu di rumah ya?”
Ia terdiam dan mengangguk.
“Ada yang ingin aku tanyain kekamu. Aku penasaran sekali sejak kamu dirumah sakit.” Kali ini giliran Kuncoro yang tetap diam.
“Kenapa tidak ada yang jenguk kamu Kun?”
“Yah sesibuk-sibuknya mengurus pernikahan kalau ada anggota keluarga yang sakit biasanya pasti dijenguk. Apalagi anak sendiri. Ibu-ibu kan paling heboh kalau anaknya kenapa-kenapa.”aku memberi alasan dari pertanyaanku barusan.
“Yah karena dia bukan ibuku.”jawab Kun dengan cepat dan datar.
“Hah?”
“Iya, dia ibu tiriku Gi.”ia memulai,
Kuncoro lalu menjelaskan bahwa ibu kandungnya meninggal saat ia berusia 10 tahun karena kecelakaan kereta api. Saat itu almarhumah baru pulang dari Jepara mengurus pabrik furnitur keluarga ketika kereta yang ditumpanginya terbalik.
Kemudian saat ia berusia 12 tahun ayahnya menikah lagi dengan tante Widya atas dorongan keluarga ayahnya. Mengingat tante Widya dari keluarga bangsawan dan sangat menerapkan nilai-nilai budaya Jawa sehingga dianggap dapat memajukan bisnis keluarga. Saat itu tante Widya juga seorang janda dan dari pernikahan sebelumnya ia memiliki anak perempuan yang masih berusia 5 tahun.
Sejak umur 12 tahun itulah Kun merasa kehidupan keluarganya menjadi tidak menyenangkan. Ayahnya berubah jadi dingin, ibu tirinya hanya sibuk mengurusi anak perempuannya. Yang menjadi tempat Kun berkeluh kesah dan bermanja-manaja hanyalah eyang putri dari pihak ibunya.
Makanya Kun memilihSMA diluar kota dan kuliah pun di luar negeri agar dapat sebisa mungkin menjauhi rumah. Eyangnya jugalah yang mewariskan perusahaan dan pabrik furnitur itu kepadanya untuk dijalankan atas nama almarhumah ibunya.
“Kamu masih sering ketemu eyang putri-mu?”tanyaku
“Dua tahun yang lalu beliau meninggal karena sakit ginjal Gi. “jawabnya perlahan. Pandangannya terlihat menerawang.
“Mmh kurasa sejak itulah kamu memutuskan untuk tinggal terpisah dari rumah di jalan dahlia ya?” tebakku.
Ia menoleh dan menatap mataku lalu mengangguk.
“I’m sorry for your lost Kun. Ibu dan eyang putri-mu.”ujarku lirih
“Thanks.”
“Mudah-mudahan aku nggak buat kamu tambah bingung Gi. Maaf kalau masalah keluargaku malah membebanimu.” Lalu ia melanjutkan
“Tetapi saat kita ngobrol rasanya kita seperti sudah saling mengenal lama. Aku langsung merasa sangat nyaman dan tenang.”
“Kurasa omongan-omongan kita yang sepertinya nggak berarti, ternyata sudah menjadi sesuatu yang berarti untukku. Membuatku merasa sangat dekat dengan kamu Gia.”katanya dengan lembut.
Kembali kutatap matanya yang tampak bersungguh-sungguh. Sorot matanya menyiratkan kepedihan tetapi juga terlihat harapan dan keceriaan yang terpendam, menunggu dibangkitkan.
Aku menggangguk, “Aku tahu maksudmu Kun. Sepertinya mirip dengan yang kurasa.” Lalu cepat-cepat kulanjutkan
“Tetapi aku mau semuanya jalan perlahan-lahan, dan biarkan mengalir seperti apa adanya.”
“Bagaimana?”tanyaku
“Oke Gi. Oke. Terima kasih.”anggukannya mempertegas persetujuannya atas permintaanku.
Lalu kita bangkit meninggalkan bangku taman itu dan berjalan kearah mobil dengan bergandengan tangan seperti dua orang sahabat. Ia menemaniku sampai ke pintu mobil lalu meremas lembut tanganku dan melepaskannya.
Aku sedang sibuk mengaduk-aduk tasku mencari kunci saat ia tertawa kecil sehingga membuatku menoleh
“Kenapa?”
“Setelah kita ngobrol panjang lebar aku masih belum tahu nomor teleponmu.”
Aku ikut tertawa bersamanya
“Kayaknya kita payah ya dalam teknik berkenalan?”
“Waktu itu namamu, sekarang nomor teleponmu Gi.”
“Ok, makanya sekarang catat nih. Nomornya…………….” Kami pun saling bertukar nomor telepon.
Setelah aku berhasil menemukan kunci mobil lalu membukanya dan masuk ke belakang setir, Kun menutupkan pintunya. Kali ini segera kubuka jendela,
“Thank you so much my dear Gia.”ucapnya lembut, lalu ia mengambil tangan kananku dari atas setir dan mengecupnya lembut. Ia pun beranjak dan berjalan kearah mobilnya.
Kuperhatikan dari spion tengah saat ia berjalan ke mobilnya.
Good Lord, he’s so sweet. I feel something warm crawling from my right hand to the face and all over my body. And I’m blushing again……
Dengan gugup kustater mobil. Perlu usaha beberapa kali karena kunci mobil sepertinya tidak kooperatif dengan berkali-kali jatuh. Akhirnya kujalankan mobil perlahan meninggalkan areal taman Suropati. Mobil Kun tampak masih mengikutiku dibelakang.
Setibanya didepan rumah sakit kupasang lampu sein kiri dan ia mengklaksonku dua kali lalu mendahuluiku yang sedang mengantri masuk. Kulambaikan tangan kearahnya yang tersenyum lebar sambil menurunkan kaca lalu mobilnya pun berlalu.
Bab VIII
Dalam minggu itu Gia banyak menghabiskan waktu bersama Kuncoro. Tentu saja saat ia sedang tidak jaga malam atau kuliah. Ia melihat-lihat showroom furniture, diajak melihat bengkel untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil perabot yang dikirim dari Jepara.
Showroom yang besar itu terletak disamping rumah mungilnya Kun. Disana terdapat berbagai contoh furnitur dari kursi-kursi mungil, set meja makan, sofa dengan berbagai model, tempat tidur penuh ukiran, meja rias dan masih banyak barang-barang lain. Tampaknya selain furnitur besar, item-item dekor yang antik bernuansa tradisionil jawa pun dipajang disana seperti pajangan kayu berbentuk burung yang juga bisa sebagai tempat menaruh kartu nama, asbak antik berbentuk kura-kura, nampan dari anyaman rotan dibingkai ukiran kayu dan lain-lain.
Gia bisa melihat bahwa Kun memiliki aura pemimpin yang memancar saat ia sedang berbicara dengan pegawainya. Tetapi tidak terlihat seperti tukang perintah, sehingga walau banyak bawahannya yang berusia jauh lebih tua tetap menghargainya. Kun pun bersikap menghormati karyawannya yang lebih tua. Kadang ia memanggil pak de atau buk de untuk pegawai yang lebih dekat dengannya.
Akhir minggu ini pesta pernikahan adik tirinya Kun, Gia ingin memakai kebaya tradisional. Karena menurut Kun acara resepsinya akan kental nuansa adat jawa keratonnya, walau dilaksanakan di Jakarta. Hari ini Gia menyempatkan diri pergi berburu kebaya di departemen store dan butik.
Setelah berkeliling sampai pegal ia tidak juga menemukan kebaya yang sesuai, akhirnya karena sudah kelelahan Gia pun pulang. Sesampainya dirumah melihat wajahnya yang cemberut, mama Gia menegur.
“Lho lho, anak mama pulangnya kok sambil cemberut?”
“Eh anak gadis nggak boleh manyun gitu sayang, nanti susah dapat jodoh lho.”nasihat mama yang nggak nyambung berhasil membuatku tersenyum.
“Naah gitu dong. Kamu teh geulis pisan kalau senyum.”mama menjawil daguku.
Lalu kuceritakan kekesalanku karena tidak menemukan kebaya tradisional yang kuinginkan.
“Memang kebaya kamu bukan kebaya tradisional?”Tanya mama
“Bukan ma, semuanya kebaya modern. “jawabku tak sabar.
“Kamu sih nggak bilang dari kemarin-kemarin, kan bisa jahit dulu.”mama malah menyalahkan aku.
“Yah mama, aku diundangnya juga baru dua hari lalu.”timpalku dengan kesal.
“Memangnya siapa sih yang nikah? teman kamu?”
“Anaknya tante Widya yang rumahnya penuh ukiran kayu di kompleks seberang.”
“Lho kok mama nggak diundang?”lagi-lagi respon ibuku nggak nyambung.
“Yee nggak tahu.”jawabku sambil beranjak hendak pergi kekamar.
“Siapa yang undang kamu? Tante widya-nya?” tanya ibu sambil menahanku.
“Bukan, tapi anak laki-lakinya.”
“Eh anak tirinya? Kasihan deh itu anak.,”mama mulai menceritakan gossip yang ia dengar saat arisan dengan ibu-ibu klub jantung sehat. Aku pun kembali duduk dan mendengarkan cerita mama dengan penuh minat.
Kata mama, Kunmemang kehilangan ibu kandungnya saat masih SD tak lama kemudian ayahnya menikah lagi. Tapi istri baru ayahnya termasuk kategori ibu tiri yang jahat. Memang tidak pernah memukul, tetapi menelantarkan Kun begitu saja. Untung ada neneknya yang mengurus dan mengasuh Kun sampai besar. Nah perusahaan furniture mereka yang besar itu adalah milik keluarga ibu kandungnya. Lalu saat ibunya meninggal, kepemimpinannya diambil alih oleh ayah Kun. Rupanya itulah alasan ibu tirinya menikahi ayahnya Kun (setidaknya itu menurut ibu-ibu kompleks lho, tambah mama). Sebagai bangsawan ia tentu harus hidup enak, sementara kebangsawanannya tidak menghasilkan uang.
Singkat cerita selama beberapa tahun perusahaan itu dipegang ayahnya Kun namun atas kendali dari ibu tirinya. Namun saat Kun dewasa ia mulai menyadari niat jelek ibu tirinya, dan membicarakan masalah ini dengan pengacara hukum. Ternyata selama neneknya masih hidup perusahaan itu secara hukum tetap milik keluarga ibunya. Nah ketika meninggal, dalam surat wasiatnya neneknya Kun secara jelas mewariskan perusahaan itu kepada Kuncoro saja. Nama ayahnya tidak disebut-sebut dalam surat wasiatnya.
Sejak itulah Kuncoro menjadi pemimpin tunggal disana. Ayahnya tentu saja masih terlibat namun setidaknya kendali tante Widya tidak bisa berpengaruh lagi. Karena keputusan terakhir semua harus melalui Kuncoro.
Aku menghela napas memikirkan tanggung jawab berat yang dipikul Kuncoro diusia semuda itu. Berapa sih usianya sekarang? paling dua puluh delapan , maksimal tiga puluh tahun.
“Mama kok tahu sampai sedetil itu?”tanyaku heran
“Yah biasalah ibu-ibu kan hebat kalau cari tahu masalah gossip.”terkekeh mamaku menjawab.
“Oh iya, mama baru ingat.”
“Kalau yang kamu maksud kebaya tradisional itu kebaya jaman dulu ya pakai aja kebaya mama yang lama-lama. Masih bagus tuh disimpan dilemari atas.”usul mama.
Yes. Aku begitu bersemangat langsung loncat dari sofa dan berlari menuju lantai dua rumahku. Ibuku memang tidak pernah membuang barang-barangnya sejak muda, dari baju, sepatu, foto-foto dan barang-barang lain. Semua disimpan rapi dalam lemari khusus yang ukurannya sebesar kamar.
“Jangan diberantakin ya Gi, mama baru merapikan susunannya kemarin.”teriakan mama dari bawah terdengar sayup dalam lemari itu.
“Ya ma!”aku balas teriak.
Kubolak-balik deratan baju-baju yang tergantung rapi, dan mataku langsung tertuju pada kebaya kartini warna merah hati. Wah asyik nih barang vintage. Tradisional yang otentik.
Aku keluar dari lemari dan membawa kebaya temuanku kekamar lalu mencobanya. Pundaknya pas, tapi pinggangnya kebesaran sedikit. Wah gampang bisa dibetulkan dengan cepat. Aku lalu mencari-cari kain batikku yang berwarna putih dengan nuansa pink dan merah hati. Lalu kupadukan dengan kebaya tadi.
Ya, pas sekali. Ok masalah baju beres. Tinggal minta tolong mama membetulkan dibagian pinggang dan pinggul.
******
Akhirnya hari sabtu tiba, malam ini Kun akan menjemputku. Walau kebayaku tradisional tapi untuk urusan rambut aku malas memakai sanggul Jawa yang buesar seperti tante Widya tempo hari. Akhirnya setelah disasak sedikit rambutku dinaikkan keatas membentuk french twist yang sederhana dengan jepitan bunga-bunga kecil sebagai pemanis.
“Gia ini Kuncoro sudah datang nak.”kembali teriakan ibuku terdengar sampai ke dalam kamar. Kuberikan sapuan terakhir kuas blush on dan aku segera mengemas tas tanganku lalu keluar.
“Iya ma, Gia sudah siap kok.”jawabku sambil menutup pintu kamar.
“Aduh aduh, anak mamah geulis pisan. “ujar ibuku spontan , aku hanya tersenyum saja. Kuncoro yang juga melihat kearahku tampak menyetujui komentar ibuku.
“Yaudah ma, Gia berangkat ya.”pamitku.
“Iya tante, saya pamit dulu ajak Gia ke resepsi.”Kuncoro meminta ijin pada ibuku.
“Iya kasep, mangga. Tapi jangan kemaleman yah pulangnya. Salam buat bu Widya juga adikmu.”
“Iya tante. Permisi.”
Untung saja kali ini Kun membawa mobil sedannya bukan Jeep tentara. Ia membantuku naik ke mobil lalu menutupkan pintuku. Saat ia sudah dibelakang kemudi, Kun kembali menatapku.
“Gia, kamu cantik banget. “serunya
“Wah makasih Kun. “jawabku tersipu.
“Aku harus hati-hati nanti.”ujarnya saat menstater mobil.
“Lho kenapa?”aku menoleh kearahnya dengan heran.
“Sepupu-sepupuku pasti bakal ngecengin kamu semalaman. Harus kuusir semuanya, nggak boleh deket-deket kamu.”jawabnya setengah serius sambil menatapku.
“Hahahaha kamu ada-ada aja Kun. Yuk berangkat.”
Saat mereka sampai di tempat resepsi, tamu-tamu sudah berdatangan. Kuncoro sengaja hanya mengajakku ke resepsinya karena ia juga tidak menghadiri akad nikahnya. Baginya ini adalah resepsi orang lain, bukan keluarganya. Jadi saat kami mulai mengantri untuk bersalaman dengan pengantin, serasa mengalami dejavu jadinya.
Aku mengerling pada Kun sambil menahan senyum dan melihat bahwa Kuncoro pun sedang melirik nakal kepadaku sambil mengulum tawa.
“Feels familiar?”tanyanya menggoda.
“Uhuh.” aku mengangguksambil tersenyum.
Kali ini kami sampai ke pelaminan lebih cepat dan akhirnya bisa bersalaman dengan pengantinnya.
“Oh inikan nak dokter ya?”ujar tante Widya saat kami bersalaman.
“Gia, tante.”ralatku.
“Iya, iya. Laras ini mbak Gia, dokter yang waktu itu datang kerumah.”tante mengenalkan aku pada adik tirinya Kun. Sang mempelai wanita hanya mengangguk mengabaikan uluran tanganku, lalu aku balas mengangguk.
“Kun kamu kok nggak bawa nak Gia sejak kemarin-kemarin?”yang ini ayahnya yang bicara. Rupanya seperti pak raden dalam film unyil jaman dahulu karena kumisnya tuebal sekali.
“Nggak apa-apa pak. Sudah ya, masih banyak yang antri mau salaman.”Kun mengelak dan segera menarikku turun dari pelaminan.
Diruang resepsi itu Kun tampak mencari-cari kumpulan saudara dari pihak ibunya. Setidaknya begitulah yang ia katakan padaku. Sementara mataku sibuk mencari desert disekitar susunan berbagai makanan. Lalu kulihat pudingnya sangat tidak menggiurkan, menyurutkan seleraku untuk makan. Aku segera kembali fokus pada Kun yang sekarang………….lho mana dia?
Celingukan aku menoleh kekanan dan kekiri. Berusaha memanjangkan leherku untuk mencari sosok tingginya ditengah kerumunan tamu yang mulai memadati ruangan. Setengah kesal, aku mulai mengelilingi ruangan. Untung saja aku masih mengingat untuk mempraktekkan gaya jalanku.
Ditengah jalan aku sempat melewati sekumpulan perempuan-perempuan muda berseragam panitia, dengan kebaya warna lembayung pucat. Saat itu mereka tampak sedang mengobrolkan sesuatu dengan seru. Ketika aku melewatinya sempat terdengar,
“…..Laras dijodohkan oleh ibunya. .”
“………iya, dia kan sejak dahulu suka dengan saudara tirinya itu lho…..”
“……..memang tidak ada hubungan darah sih, tapi mana boleh bersaudara berpacaran. Iya kan?………………”
“..iya, bener. Pernah hampir kawin lari segala kan, untung nggak jadi………….”
Hal itu membuatnya terkejut setengah mati, sampai ia berhenti berjalan. Karena lututnya goyah dan setengah berharap dapat mendengar lebih banyak lagi. Khususnya tentang bagaimana perasaan Kuncoro terhadap adik tirinya. Tetapi sayang sekali pembicaraan mereka telah berbelok mengenai pak de siapa yang rencananya mau nikah lagi atau apalah.
Berbagai pikiran jelek dan jahatberkecamuk dalam kepala Gia saat ia berjalan kembali mengitari ruangan itu mencari Kuncoro.
Bagaimana kalau Kun juga mencintai saudara tirinya. Bagaimana kalau iahanya dimanfaatkan untuk sekedar jadi pelarian. Atau lebih buruk lagi hanya untuk menunjukkan pada adik dan ibu tirinya bahwa Kun sudah melupakan cinta terlarang mereka. Atau………masih ada seribu ‘atau’ lagi yang berputar-putar dibenaknya.
Kepalanya semakin pusing, cepat-cepat Gia mencari tempat yang sunyi dipojok ruangan untuk dapat menenangkan dirinya. Diminumnya segelas air dingin yang ditemukannya dekat situ. Guyuran sejuknya ikut sedikit menenangkan hatinya.
Gia, Gia. Lagi-lagi kamu terkena perangkap laki-laki seperti itu. Sudah berapa kali ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap teguh pada new years’ resolution-nya. Setiap kali ada laki-laki dalam hidupnya ia akan mengalami hal seperti ini. Sakit hati.
Tetapi untung saja ia mengetahui hal ini sebelum dirinya lebih jauh merasakan sesuatu untuk Kun. Jadi belum terlambat untuk menyelamatkan hatinya. Ataukah sudah?
Saat ia sedang menangisi diri sendiri dalam diam, ia mendengar suara Kun dari tengah ruangan. Ternyata Kuncoro sedang mengobrol dengan seseorang laki-laki, saudaranya mungkin. Lalu dilihatnya Kuncoro mengedarkan pandangan keseluruh ruangan seakan mencari sesuatu. Gia menyadari dirinyalah yang mungkin sedang dicari. Tiba-tiba saja ada dorongan kuat untuk bersembunyi. Jadi Gia segera menggeser berdirinya tepat dibelakang pot tanaman besar yang menjadi bagian dekorasi ruangan itu.
Perlahan-lahan diintipnya Kun, yang tampaknya mulai menyadari telah kehilangan Gia. Dilihatnya Kun sedang berjalan kearah yang berlawanan berusaha menyibak kerumunan tamu. Gia berjalan secepat yang ia bisa dalam kain dan sepatu tinggi, keluar dari ruangan itu. Sesampainya di meja penerima tamu ia sempat berhenti sebentar, berpikir akan meninggalkan pesan. Tetapi ia sedangterburu-buru, akhirnya ia hanya bisa mencoret namanya yang tertulis disebelah nama Kuncoro dalam buku tamu.
Diluar hujan mulai turun rintik-rintik. Tak memperdulikan kebaya, kain dan sanggulnya, Gia nekat berlari kecil mencari taksi di luar areal parkiran gedung. Untung saja taksi segera datang.
“Kompleks taman bunga, mas.”Gia menginstruksikan pada supir, dan taksinya segera meluncur.
Dalam taksi kembali terngiang ucapan perempuan-perempuan muda itu. Dan segunung penyesalan pada diri sendiri mulai menyesaki dadanya. Akhirnya tanpa bisa dicegah air matanya mulai mengalir. Perlahan-lahan awalnya, lalu mulai semakin deras seiring napasnya semakin pendek-pendek oleh isakan yang tertahan.
Supir taksi berulangkali meliriknya lewat kaca spion, namun tampaknya tidak berani berkata apa-apa. Sesampainya dirumah, cepat Gia membayar taksi dan berlari masuk kekamar.
Untung mama tidak tahu aku pulang dalam keadaan berantakan begini, pikir Gia. Pasti mama akan berkomentar macam-macam, padahal saat ini Gia hanya ingin menangis sendiri. Menangisi kebodohan dirinya sendiri, karena ternyata entah sejak kapan ia sudah menyerahkan sebagian hatinya untuk Kun.
Bab IX
Sementara Kun yang masih berputar-putar dalam ruangan mencari Gia mulai panik. Kemana Gia? Kenapa tidak bisa ia temukan? Lalu Kun mulai memarahi diri sendiri karena terlalu asyik mengobrol dengan sepupu dari pihak ibu kandungnya yang baru pulang ke Indonesia setelah 12 tahun tinggal di Italy. Jadi mereka berbagi kenangan masa kecil, tentang ibunya Kun tentu saja.
Dan sekarang Gia hilang. Kesal pada dirinya sendiri , Kun memencet nomor Gia pada ponselnya dengan gemas. Terdengar suara ‘tutututut’ berkali-kali yang menyatakan hubungannya tidak tersambung. Diulangnya lagi dan lagi dan lagi. Tetap tidak tersambung.
Cepat Kun keluar dari ruangan karena ia yakin Gia sudah tidak ada lagi diruangan itu. Ia berlari-lari mencari sepanjang teras dan lapangan parkir gedung tersebut. Ia bahkan mencari ke toilet wanita. Gia tetap tidak ada. Bingung harus bagaimana, Kun kembali ke pintu penerima tamu, dan tanpa sengaja matanya tertumbuk pada tulisan tangannya tadi di buku tamu. Ada yang berubah, ada yang mencoret nama Gia disamping namanya. Siapa yang melakukannya?
“Mbak, tadi ada perempuan pakai kebaya merah yang menulis disini ya?”Tanya Kun pada penerima tamu.
“Oh iya mas. Mbak yang tadi datang sama mas. Terus dia langsung keluar kesana.”jawabnya sambil menunjuk pintu keluar areal parkiran gedung.
Tak sempat mengucap terimakasih, Kun segera berlari keluar. Disana dipinggir jalan yang gelap ia tidak melihat siapa-siapa. Seketika itu juga ia merasa lemas. Kemana Gia? Apa yang terjadi? Kenapa ia meninggalkan aku?
Lalu Kun berlari kemobilnya dan dengan cepat mengendarainya menuju rumah Gia. Ia harus bertanya apa sebabnya? Harus. Ia merasa kesempatannya meraih hati Gia sedang memudar perlahan-lahan oleh sesuatu yangtidak ia ketahui.
Gia yang bersemangat sekaligus melankolis, Gia yang kadang suka jaim tapi hatinya hangat. Gia yang penyayang dan perhatian walau kadang galak. Gia yang manis, yang sudah mencuri hatinya sejak Kun melihatnya memakai batik pada resepsi teman mereka. Gia yang bisa mengerti kepedihannya dalam diam, yang bisa menggenggam tangannya selama Kun mau. Gia oh Gia.
Begitu sampai didepan rumah berpagar merah itu semangatnya lenyap. Ia melihat seluruh rumah sudah gelap, pertanda pemiliknya sudah beristirahat. Kun melihat jam tangannya, pukul sebelas malam. Rasanya tidak enak kalau harus menggedor-gedor rumah keluarga Gia demi penjelasan yang bisa dia minta esok harinya.
Tetapi Kun ingin mengantisipasi kemungkinan Gia menghindar lagi dari dirinya. Maka diparkir mobilnya mendekat disamping pagar merah itu lalu dimatikan mesinnya. Kun memang bermaksud berkemah didepan rumah Gia. Namun ia tidak bisa segera tertidur.
Diingat-ingatnya lagi tatapan ibu tirinya pada Gia. Tampak tatapan merendahkan yang tersampaikan dengan halus. Seakan berkata, bahwa Gia tidak sederajat dengannya. Derajat sialan. Dasar bangsawan bangkrut. Geramnya terhadap ibu tirinya. Lalu ditambah lagi dengan sapaan dingin Laras saat dikenalkan pada Gia. Ibu dan anak sama saja.
Kun masih ingat saat ia akan berangkat keluar negeri lagi untuk ambil master. Sekitar 1 bulan sebelum ia berangkat, tiba-tiba saja ibu tirinya menjadi sangat perhatian padanya. Lalu Laras mulai sering bermanja-manja terhadapnya.
Tak lama kemudian Laras yang saat itu SMU kelas 3 mengatakan mencintainya bukan sebagai kakak tiri. Kun yang saat itu tak tahu apa-apa berusaha bersikap baik dengan mengatakan bahwa mereka tidak bisa bersama. Ia menemani Laras menangis berjam-jam lamanya, menghiburnya dengan berjalan-jalan keliling Jawa atas usul ibu tirinya.
Tetapi selama dalam proses itu Laras menjadi semakin lengket padanya, menempel terus kemana Kun pergi. Sampai ia merasa risih dan akhirnya marah besar. Apalagi setelah ia tahu bahwa sikap ibu tirinya yang seolah pura-pura tidak tahu sebenarnya bertujuan memperbesar peluang Laras mengambil keuntungan darinya.
Puncaknya adalah saat Laras mendatangi kamar Kun dalam keadaan mabuk dan pakaian minim. Untung saja Kun segera mencium gelagat buruk itu dan angkat kaki dari hotel, lalu terbang dengan pesawat pertama.
Apakah Gia mendengar insiden itu? Rumor yang beredar di keluarganya adalah bahwa tadinya ia dan Laras sempat berusaha kawin lari namun berhasil dicegah oleh ibu tirinya. Jangan-jangan Gia mendengar sepupu-sepupu Laras sedang menceritakan gossip itu.
Tergerak oleh pikiran yang baru muncul dikepalanya, Kun duduk tegak di kursinya yang sejak tadi direbahkan. Kalau begitu ia tahu apa yang dapat dilakukannya untuk menjelaskan pada Gia.
Tak terasa matahari mulai muncul dalam bentuk siluet oranye kemerahan. Namun malam seolah masih enggan beranjak, karena sekeliling masih tampak gelap. Kun melirik jam tangannya, baru pukul setengah lima pagi.
Merasa pegal, ia keluar dari mobil untuk meregangkan badan. Lalu berjalan-jalan sekeliling rumah Gia. Ia tidak melihat cahaya redup menyala lembut dibalik tirai jendela kamar Gia.
*****
Semalaman Gia tidak dapat tidur sama sekali, ia berpikir dan berpikir lagi. Tentang semuanya. Perkenalannya dengan Kuncoro yang masih seumur jagung tetapi sudah mengakibatkan efek yang begitu besar pada dirinya. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini.
Bahkan tidak juga dengan ‘virus’ Donny.
Dengan Donny tadinya ia hanya berteman biasa saja. Sampai suatu saat Donny merasa perlu mempunyai pacar anak pejabat pemerintah daerah. Dan ia membuat Gia mengira dia mencintainya. Dan akhirnya Gia memang pernah mencintainya.
Sampai saat keinginannya untuk memenangkan proyek pembangunan transportasi baru gagal. Bukan salah siapa-siapa memang. Hanya saja ayah Gia bersikap objektif. Proposal pesaingnya memang lebih baik dari milik Donny. Sejak itu mereka sering bertengkar dan terbukalah segala-galanya. Donny pun meninggalkan Gia dengan hati tersayat-sayat.
Dan sekarang, hal yang serupa hampir atau sudah terulang?
Gia tak sudi dimanfaatkan, tak sudi merasa sakit dan patah hati untuk seseorang yang sekelas Donny. Lebih baik Gia segera menyudahi apapun itu dengan Kuncoro. Dengan pikiran ini Gia bangkit dari tempat tidurnya. Mencuci muka, membersihkan sisa-sisa air mata lalu memutuskan akan pergi kerumah Kun sekarang juga. Saat keberaniannya masih ada, saat pikirannya masih segar.
Berjingkat-jingkat ia keluar dari rumah, takut membangunkan orangtuanya. Lalu perlahan-lahan sekali membuka pagar. Berulangkali melihat ke arah rumah, memastikan tidak ada yang terbangun olehnya. Lalu segera keluar pagar dan menguncinya kembali dan berjalan cepat kearah rumah Kun. Tidak dilihatnya mobil yang terparkir disamping rumahnya.
Sesampainya didepan showroom, keadaan masih gelap dan pintu pagar pun terkunci. Takut disangka maling bila ia berdiam lama-lama didepan pagar orang lain, Gia berjalan memutar. Sesampainya dibelakang rumah, Gia melihat ada pintu kecil yang langsung menuju taman belakang rumah Kun. Langsung dicobanya membuka, dan pintu itu memang tidak terkunci. Setengah bersyukur setengah memarahi Kun yang ceroboh, Gia pun masuk.
Taman kecil itu tampak sangat indah di pagi yang masih buram ini. Tetesan embun menghiasi dedaunan hijau, kabut pagi seolah mengecup kuncup-kuncup mawar. Gia kembali mengendap-endap, berusah berjalan sepelan mungkin diantara batu koral. Entah kenapa ia masih belum ingin membangunkan pemilik rumah ini.
Mungkin ia masih membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, meresapi seluruh situasi. Maka Gia pun duduk di ayunan kayu. Menunggu.
Bab X
Sudah pukul enam kurang lima belas menit. Kun tidak tahan lagi menunggu lebih lama, segera ia memencet bel rumah Gia. Tergopoh-gopoh pembantunya datang.
“Pagi bi, saya Kuncoro mau bertemu Gia ada urusan penting.”ujarnya dengan cepat pada si bibi. Yang terakhir ini menganggukkan kepalanya dan segera kembali kedalam rumah.
Lama Kun menunggu, setidaknya menurut dirinya. Lalu si bibi datang kembali tanpa Gia.
“Neng Gia na ente aya ‘Den. Kamar na kosong pas bibi lihat tadi.”logat sunda yang kental keluar dari bibir wanita tua itu.
“Lho kemana bi? Semalam pulang kesini ‘kan?” Tanya Kun mendesak.
“Sumuhun ‘Den, sapatu na aya di lebet. Tapi neng Gia na ente. Mungkin olah raga pagi Den.”dengan tangannya si bibi menunjuk kearah yang dibicarakan.
Tak lagi didengarnya jawaban si bibi, Kuncoro segera berbalik dan masuk kemobil dengan cepat. Sial, sial. Kok aku bisa tidak lihat saat dia keluar ya? Sial. Sekarang aku putari saja kompleks ini perlahan-lahan. Kalau memang ia olah raga pasti akhirnya ketemu.
Kun mengemudi perlahan-lahan. Mengamati setiap perempuan yang jalan pagi, jogging atau naik sepeda. Namun tidak juga ditemukannya Gia. Amarahnya terhadap diri sendiri semakin memuncak. Hingga pukul tujuh ia tidak berhasil menemukan Gia.
Kun kembali memutar mobilnya kerumah Gia, berharap si bibi bisa membuatnya gembira dengan mengatakan neng Gia-nya sudah kembali. Tetapi saat ia melihat wajah si bibi, Kun tahu ia belum beruntung.
Merasa terlalu tak berdaya untuk pulang kerumah Kun memutuskan untuk tetap memutari kompleks ini berulang kali. Sekali ia berhenti untuk makan bubur ayam di pinggir jalan. Perutnya memang terasa perih karena sejak kemarin belum terisi apa-apa. Namun saat semangkuk bubur hangat mengepul dengan suwiran ayam yang banyak diletakkan didepannya, Kun merasa tak berselera. Lidahnya terasa kelu, sehingga bubur itu terasa hambar. Dimain-mainkan-nya sendok bubur tanpa niatan untuk menghabiskannya.
*****
Gia yang sejak subuh duduk termenung di ayunan kayu, saat ini tampak tertidur. Angin pagi mengayunkannya dengan lembut, menyejukkan hatinya yang panas, menjernihkan pikirannya. Ia merasa lebih tenang disini, maka ia pun tertidur.
Wajahnya yang terasa hangat akibat sengatan matahari yang semakin meninggilah yang membangunkannya. Keadaan di taman itu sudah terang benderang, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah Kun. Mungkin ia tidak pulang semalam, mungkin bermalam dirumah orangtuanya. Dicobanya mengketuk-ketuk jendela kamar Kun, tetapi tidak ada jawaban. Yasudahlah, Gia pun berjalan keluar melalui pintu kecil tempatnya masuk.
Gia berjalan pulang tanpa melihat arah karena pikirannya penuh. Akhirnya ia berjalan memutar sebelum sampai rumahnya. Si bibi pasti sudah disuruh kepasar oleh mama, Gia membuka pagar dengan kuncinya sendiri.
Saat dikamar Gia memutuskan ia ingin pergi dari sini, keluar kota mungkin. Kemana ya? Lalu pandangannya tertumbuk pada ponselnya yang sejak malam dimatikan, disana ada pesan baru. Rupanya teman SMA-nya Nadya mengundangnya ikut reuni SMU di Bogor. Wah kebetulan, aku bisa sekalian refreshing. Kemudian Gia membalas smsnya dan menanyakan detil perjalanan mereka.
Gia bergegas bersiap-siap untuk mandi lalu dandan. Mmm bertemu teman-teman SMA lagi pasti menyenangkan setelah sekian tahun tidak jumpa. Kalau Nadya sih cukup sering ia bertemu. Terakhir kali ya di resepsi pernikahannya, saat aku bertemu lagi dengan Kun.
*****
Kun semakin merasa merana karena tidak juga bisa menemukan Gia. Akhirnya ia kembali kerumahnya. Dibukanya semua jendela kamar dan rumah agar udara pagi dan sinar matahari bisa masuk. Bila tidak dapat mengusir kegundahannya setidaknya mencerahkan rumah kesayangannya. Lalu matanya melihat ayunan kayunya yang mengayun perlahan. Seolah baru saja ditinggalkan seseorang yang tadinya duduk disana. Seseorang itu mungkinkah Gia?
Ah itu hanya imajinasimu saja Kun, kepalanya berkata. Mungkin angin pagi yang menggerakkannya. Perlahan Kun berjalan ke ayunan dan duduk disana. Bantalnya terasa hangat, tidak dingin seperti seharusnya. Tapi bagaimana mungkin Gia datang kesini? Semua pintu kukunci rapat. Memikirkan Gia dan kebingungan hatinya yang diakibatkan gadis itu, Kun pun tertidur. Untuk kedua kalinya di pagi itu seseorang tertidur disana.
*****
Di Bogor suasananya sangat ceria. Teman-teman lama yang bertemu kembali selalu membawa banyak tawa dan mengingat kembali kenangan yang lucu bahkan konyol. Acara reuni ini diadakan di restoran yang terletak ditengah alam. Dikelilingi pohon beringin yang teduh, tiang-tiang besar yang diselimuti lumut hijau tebal bagai permadani beludru, semak-semak dengan bunga kecil-kecil berwarna warni. Suasananya mengingatkan Gia akan taman belakang rumah Kun.
Ia senang mendengar cerita teman-temannya, tentang kehidupan mereka, suami atau istri mereka, anak-anak mereka, kenaikan atau promosi yang didapat. Juga senang mengingat-ingat kembali kelakukan mereka saat di SMA, guru-guru yang galak dan lain-lain.
Tetapi lama kelamaan Gia merasa bosan dan letih. Ia beranjak keluar dari ruangan dan berdiri di pojok teras restoran, mengamati serangga kecil dan kupu-kupu yang beterbangan disana. Tak didengarnya langkah mendekat, karena Gia terlalu larut dalam lamunannya.
“Ngapain kamu disini Gi?”Tanya Nadya.
“Eh Nad, nggakapa-apakok.”aku menoleh kaget.
“Nggak biasanya Gia yang cerewet diam-diam begini. Lagi ada masalah?” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Nadya.
“Dengan mas Kun ya?”selidik Nadya. Yaampun aku lupa mengatakan yang sebenarnya pada Nadya bahwa waktu itu kami bukan apa-apa. Tapi kurasa tak ada gunanya. Aku hanya diam saja.
“Mas Bondan suamiku itu ‘kan kawan akrabnya mas Kun semenjak kuliah di Australia dulu. Jadi aku juga sudah tahu tentang cerita keluarganya Gi. Kamu bisa curhat sama aku Gi, siapa tahu aku bisa bantu menghadapi tante Widya.” Jelas Nadya.
Aku kebingungan tak tahu harus berkata apa, “bu…………bukan begitu Nad.”
“Udah nggak apa-apa kok Gi. Dulu juga saat mas Kun hampir aja dijebak oleh Laras, ia cerita ke mas Bondan. Bahkan sempat menginap di apartemen mas Bondan, karena ia terburu-buru berangkat dari Indonesia ke Australia jadi belum dapat tempat tinggal.” Sambung Nadya panjang lebar.
“Dijebak? Maksudnya?”tanyaku semakin bingung.
“Iya, dulu tante Widya sempat bermaksud menggunakan Laras untuk menjebak mas Kun. Supaya akhirnya mereka menikah dan perusahaan furniture itu jatuh ke tangan Laras dan tante Widya.”
Aku masih saja menatap Nadya dengan pandangan tak percaya, tak mampu berkata apa-apa.
“Mereka memang jahat Gi, sampai-sampai menyebarkan gossip dikalangan keluarga mereka bahwa Kun berencana mengajak kawin lari Laras. Karena walau nggak ada hubungan darah mereka ‘kan tetep aja saudara tiri. Hiii serem.” Nadya melanjutkan lagi.
“Terus untungnya mas Kun bisa kabur tepat pada waktunya dan langsung terbang ke Aussie dengan pesawat pertama. Makanya sampai menumpang di apartemennya mas Bondan. Baju aja nggak sempat dibawa.” Nadya menghembuskan napas panjang mengakhiri ceritanya yang luar biasa itu. Ia menoleh dan melihat aku yang masih termangu, menjawil lenganku.
“Hei Gi, kamu nggak apa-apa kan?”
Aku menggeleng, “Jadi semua itu hanya rekayasa? Mas Kun nggak pernah terlibat dengan Laras?”tanyaku terbata-bata.
Kali ini Nadya yang menggeleng-geleng dengan kuat.
Lalu seperti waktu di taksi, air mata Gia tiba-tiba saja mengalir. Semakin deras, kali ini diiringi tawa campur tangis haru. Bukan isakkan pedih yang tertahan. Nadya yang melihat perubahan Gia jadi kebingungan dan akhirnya memeluknya. Gia pun menangis lagi, kali ini hatinya dibanjiri rasa syukur.
Malam itu untuk peserta reuni disediakan kamar hotel dan mereka menginap disana. Setelah menangis di bahu Nadya akhirnya Gia mencurahkan seluruh perasaannya. Rasanya seperti jaman SMA lagi. Mereka pun tertawa dan menangis bersama di tempat tidur. Setelah selesai mereka berdua sama-sama tidak bisa tidur, terlalu larut dalam emosi masing-masing.
Akhirnya Nadya yang memecah kesunyian,
“Kamu harus memberi mas Kun kesempatan Gi. Rasanya memang cuma kamu yang bisa memahaminya, memberi pengertian padanya.” Gia terdiam. Mereka sudah berada dibawah selimut masing-masing.
Nadya menoleh ke tempat tidur disebelahnya, dilihatnya Gia menatap langit-langit dengan menerawang.
“Mas Kun sungguh baik Gi. Dia tidak akan mengecewakan kamu. Kasih dia kesempatan ya.”pinta Nadya.
Perlahan Gia mengalihkan pandangannya kearah Nadya, lalu mengangguk dan tersenyum. Nadya bersorak dan melompat dari tempat tidurnya lalu memeluk Gia.
“Kalau begitu ayo kita balik ke Jakarta sekarang, ngapain disini.”ajak Nadya, matanya berkilat nekat.
“Sekarang? Baru jam tiga pagi Nad.” ucap Gia keheranan.
“Memangnya kenapa? Aku bawa mobil kok. Udah ayo kita beres-beres.” Putus Nadya. Lalu mereka segera bangkit dan meringkas barang sambil sesekali cekikikan, tersandung-sandung menarik tas keluar kamar dan check out.
Didalam mobil Nadya akhirnya mereka berdua tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata. Rasanya benar-benar seperti jaman SMA ketika mereka berdua membolos bersama. Selama perjalanan didalam mobil keduanya mengingat-ingat kenangan lalu sambil tertawa-tawa lagi.
Tak terasa sudah sampai di depan rumah Gia. Keduanya bertatapan.
“Terima kasih Nad.”kata Gia lirih.
“Sama-sama Gi.”jawab Nadya, lalu ia mengingatkan
“Inget ya, kamu harus segera beri tahu mas Kun.”
Gia mengangguk cepat lalu turun dari mobil. Saat itu mentari sudah mulai mengintip disela kabut malam. Cahaya emas kemerahannya menyeruak diantara helai-helai gelap dini hari. Dibukanya pintu pagar, lalu ia terpaku . selanjutnya dengan gerakan cepat, ditutupnya kembali pintu pagar dan Gia berjalan ke arah rumah Kun. Kepalanya tegak dan matanya bersinar-sinar.
**********
Kuncoro yang sempat tertidur tadi pagi, baru bangun pukul dua siang. Itu pun karena kepanasan terkena terik matahari. Yang diingatnya pertama kali adalah bahwa ia belum juga bisa menemui Gia.
Banyak sekali yang akan ia katakan pada gadis itu. Tentang hatinya, tatapannya, perhatiannya, kecantikannya, pengertiannya,. Tentang betapa ia membuat Kun bingung sekaligus nyaman, merasa sangat dekat dengannya, berterimakasih atas genggaman tangannya, membutuhkannya, merasa kehilangan tanpanya. Banyak sekali. Banyak.
Kun memutuskan untuk mandi agar dapat menjernihkan pikirannya. Tak berapa lama kemudian pintu rumahnya diketuk.
Tergesa-gesa ia memakai baju, merapikan rambut sebisanya dan bergegas ke pintu. Gia, pasti Gia. Wajahnya sudah terpasang senyum, saat ia membuka pintu ternyata yang datang Bondan.
Senyum lebar yang telah terkembang meluruh sedikit.
“Eh kamu Dan, tumben kesini.”sapa Kuncoro.
“Boleh masuk nggak?”kata Bondan.
“Ya boleh lah. Monggo-monggo. Bisanya masih lengket sama istri Dan.”kata Kun.
“Iya, istriku lagi ada reunian SMA-nya di Bogor. Aku nggak boleh ikut.”keluh Bondan.
“Hihihi Bondan, Bondan. Cuma ditinggal ke Bogor kok sedih banget.”Kuncoro mentertawakan temannya.
“Dasar kamu Kun. Baru tahu rasa kamu nanti kalau sudah punya istri. Rasanya nggak enak tahu, walau cuma pisah sebentar. Nggak nyaman.” Bondan bersungut-sungut.
Kun terdiam, ia teringat Gia.
“Hei kok malah diam?”
“Eh nggak, oh iya mau minum apa? Kayaknya kulkasku kosong deh. Air putih saja ya.”lalu mereka tertawa bersama.
Sore sampai malam Kun menghabiskan waktu bersama Bondan. Obrolan antar lelaki. Dari mulai sepak bola, pertandingan NBA, politik sampai sampah di Bandung yang menumpuk. Wanita-wanita tercinta pun tak lupa dibicarakan.
Mereka makan malam di kedai sate kambing dekat rumah Kun. Saat makan topik wanita kembali hadir.
“Kamu tahu kan kalau aku tadinya nggak mau menikah cepat-cepat Kun.?”Bondan memulai. Kun hanya mengangguk sambil memainkan tusuk sate.
“Nadya yang membuatku merasa perlu untuk segera menikahinya.”lanjut Bondan.
“Semenjak aku bertemu dan mengenalnya rasanya hidupku nggak lengkap kalau nggak ada dia. Rasanya ada yang ngganjel, kurang, atau apalah. Pokoknya ada yang salah.”Jelas Bondan diantara kunyahan daging sate.
“Nah begitu kamu bertemu perempuan yang membuatmu merasa seperti itu, kusarankan segera memilikinya. “
“Emangnya barang pakai dimiliki segala.” Kun menyela
“Iya kamu tahu maksudku lah. Buat ia mencintaimu, karena perempuan seperti itulah yang akan menjadi asset hidupmu. Tanpanya kamu akan merasa hampa.”Bondan tampak serius saat mengakhiri nasihatnya.
“Kamu kok tumben bisa omong romantis gini Dan.” Kun coba bercanda.
“Yee ini anak dibilangin. Aku dapat kata-kata ini dari temanku saat di Ausiee dulu. Pak Lembong, ingat nggak? Nah dia orang yang kurang beruntung sehingga kehilangan kesempatan bersama perempuan yang membuatnya merasa seperti itu.”Bondan menjelaskan panjang lebar sambil menyisihkan tusuk sate yang sudah kosong.
“Kurang beruntung maksudnya?”Tanya Kun meminggirkan piringnya yang masih tersisa setengah.
“Ya dia jadi hidup sendirian, nggak menikah, nggak punya anak dan sekarang akhirnya terdampar di panti jompo sendirian juga.”
Kuncoro terdiam kembali.
“Sudah ah, wis malem iki. Aku tak pulang ya.” Bondan bangkit sambil menepuk bahu Kun.
“Lho, sopo sing mbayari sate?”
”Ya kamulah Kun, ‘kan tuan rumah. Hahahaha.” Ujar Bondan sambil ngeloyor pergi.
“Wah dasar Bondan semprul.”
Kun kembali kerumah dan merasa sangat kesepian. Ia teringat kembali kata-kata Bondan tadi. Saat ini, detik ini ia sangat yakin bahwa Gia merupakan perwujudan semua yang dikatakan Bondan. Mengingat kegagalannya menghubungi gadis itu kembali membuatnya lemas.
Kun tertidur dalam galau di sofa merah anggurnya.
*****
Perlahan-lahan Gia menyelinap melewati pintu belakang rumah itu. Ternyata masih terbuka seperti kemarin. Lalu dikuncinya kuat-kuat dari dalam, takut ada maling yang masuk. Perlahan ia berjalan menginjak batu koral. Gia hanya ingin menyambut pagi di taman ini, dan menyambut Kun saat ia bangun nanti.
Kemudian Gia duduk di ayunan, wajahnya berbinar dan bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
Kuncoro terbangun dari tidur dengan posisi tidak enak. Menguap lalu meregangkan tubuhnya, ia merasa tidak mengantuk lagi. Mungkin duduk di taman menunggu matahari terbit adalah ide yang bagus, pikir Kun.
Ia membuka pintu belakang dengan perlahan, lalu berjalan keteras. Dan dilihatnya gadis itu disana. Gadis yang sudah susah payah dicarinya, yang memenuhi pikirannya.
Gia yang sedang duduk di ayunan menyadari kehadiarannya, menoleh kepadanya dan tersenyum.
Semua kata-kata yang ingin diucapkan, yang sudah dipikirkan, yang disusunnya untuk menjelaskan, semuanya hilang, terbang, menguap. Dengan senyuman itu, tatapan itu Gia sudah mengatakan semua yang dibutuhkan Kun. Gia membuatnya tidak perlu lagi mengumbar kata-kata, karena dalam senyuman itu terkandung pemahaman, pengertian dan persetujuan.
Dengan cepat ia menghampiri Gia dan menariknya berdiri, dekat sekali. Ditatapnya mata beningnya, dicermatinya wajah manis itu untuk mengumpulkan kepastian, untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilihatnya dalam senyuman itu nyata.
“Gia,…..aku………mmm.semua itu gossip.” Kun menarik napas, berusaha mengusir kegugupannya.
“Gia…..aku….eh….mmm…..terimakasih……..uh.”kali ini Kun menghembus napas keras-keras.
“Gia………aku tahu kamu pernah bilang ingin………perlahan-lahan…………tapi aku ….Cuma ingin kamu tahu…………kalau aku……aku……………tidak lengkap tanpa kamu……………….aku cinta kamu Gia.” Akhirnya dengan terbata-bata Kun bisa mengatakan yang perlu dikatakan. Walau memang tidak seindah yang diinginkannya.
Selama itu Gia mendengarkan Kun dengan sabar, terus menatap matanya. Lalu Gia menunduk dan sebutir air mata bening jatuh ke pipinya. Tangan Kun bergerak untuk menghapusnya, namun terhenti diudara. Kun tampak ragu-ragu, seolah menunggu persetujuan Gia.
Dengan tangannya Gia membawa tangan Kun yang tergantung ke pipinya. Diresapi hangatnya tangan Kun terasa di pipinya yang dingin, lalu Gia membuka matanya. Dilihatnya mata Kun masih bertanya, dan Gia mengangguk sambil tertawa disela tangis harunya.
Kemudian Kun memeluknya.
Disini tempatku, pikir Gia. Dipelukannya yang hangat dan memberikan rasa aman ini.
Disinilah tempatnya, pikir Kun. Dalam pelukanku ia memberikan kehangatan dan rasa nyaman yang tak ada habisnya.
Seiring bangkitnya sang ratu siang dari peraduannya, hati mereka bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H