Mohon tunggu...
Astari Mayang Anggarani
Astari Mayang Anggarani Mohon Tunggu... lainnya -

Dokter umum dan administrator rumah sakit yang banting stir menjadi ideapreneur + foodie + storyteller penuh waktu dan konsultan rumah sakit paruh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kulihat Sejati Dirimu

7 Februari 2012   05:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1

“Hei nunduk De’! ayo nunduk! Ngapain lo liat-liat gue, berani lo sama gue?” ditengah matahari yang panas menyengat aku masih semangat meneriaki adik-adik tingkat 1 yang baru masuk.

Dalam hatinya mereka mungkin kesal setengah mati padaku. Tetapi karena aku senior dan ini adalah masa orientasi mahasiswa baru, maka mereka harus menuruti segala perintahku. Sesungguhnya aku bukan senior yang gila hormat, tapi aku ingin mereka mendapatkan sesuatu dari masa orientasi ini seperti yang aku dapat dulu.

Masa orientasi mahasiswa baru tidaklah selamanya buruk menurutku, asal isi acaranya bermanfaat dan tugas-tugas yang diberikan rasional. Aku ingin adik-adikku ini mempunyai sopan santun dan menghormati yang lebih tua. Aku juga ingin mereka diperlakukan sama antara yang kaya dengan yang tidak kaya. Agar mereka mengetahui bahwa sekolah di fakultas kedokteran itu membutuhkan keberanian, tekad dan tanggung jawab.

Mereka yang mengenakan sepatu bermerek terkenal ataupun yang butut aku perlakukan sama. Sama-sama menerima teriakan mautku tepat didepan telinganya. Mereka juga mulai diperkenalkan dengan kadaver, yaitu mayat tak dikenal yang tidak ada keluarganya yang akan digunakan sebagai sarana pembelajaran. Sekaligus diharuskan menghormati kadaver-kadaver tersebut, baik yang masih utuh ataupun yang sudah berupa potongan-potongan organ.

“Wi…Dewi tungguin gue dong!” Nah itu dia si cantik Fina berlari mengejarku melintasi lapangan basket, tentunya diikuti tatapan kagum cowok-cowok se-lapangan basket.

Kadang aku merasa agak frustasi berteman dengan Fina yang cantik, langsing dan punya segudang fans cowok. Sementara aku…yah kebalikannya deh. Berwajah standar dengan tubuh agak besar….mmm…yah gendut! Satu-satunya kebanggaankuhanyalah mataku yang-kata teman-temanku-jernih dan ekspresif dengan bulu mata yang lumayan lentik. Tapi apalah artinya mataku dibanding bentuk tubuh aduhai si Fina. Tetapi walau kadang aku iri, Fina adalah teman baikku sejak SMU.

“Eh kenapa Fin? Nggak usah lari-lari gitu kalau keringetan cantiknya luntur lho.” Ujarku dengan agak sinis saat menghentikan langkahku.

“Weits, nggak usah sinis gitu deh Wi siang-siang gini, ntar makin panas nih!” canda si Fina yang sudah paham gelagat moodku mulai jelek.

“Uh sori ya Fin. Biasa, menemukan kenyataan bahwa diet gue gagal lagi dengan suksesnya. Semalam gue nimbang , tuh jarum nggak geser sedikit pun dari tempat semula.” Keluhku sambil geleng-geleng kepala.

“Yah Wi kan elo baru coba seminggu, jangan langsung nyerah lagi dong!” hibur Fina.

“Udah ah gue males ngomongin itu. Kenapa lo lari-lari tadi?”

“Mmmm kenapa ya? Kok gue jadi lupa, oh iya mau minta tolong ajarin embriologi anatomi. Gue kena her sama dr.Kartono.” ujar Fina sambil mempermainkan rambut ikalnya.

Again? Duh Fin lo dah kena her disetiap ujian anatomi lho, gue bingung ntar lo belajarnya gimana kan hernya bertutut-turut dalam satu minggu.” Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Yah habis gimana lagi, habis nggak masuk-masuk sih kalo gue belajar sendiri. Nah kalo lo yang ngajarin biasanya cepet nyantol tuh Wi.” Jawabnya santai lalu menepuk-nepuk pipi tembamku.

“Yaudah, besok kan masa orientasi anak-anak baru selesai, nah kita mulai belajar aja ya.” kusingkirkan tangannya dari pipiku. Enak aja diteuk-tepuk, emangnya bantal!. Sambil nyengir Fina berkata,

“Ok Wi, thanks berat ya. Lo emang the best. Pulang yuk capek nih habis diteriak-teriakin sama dr. Kartono.”

“Yuk. Gue sih capek habis neriakin anak baru, hehehehe.”Kuledek Fina dibalasnya dengan juluran lidah,

“Lo tuh ya ntar dapet julukan kakak tergalak lho.”

“Biar aja.”sahutku cuek.

Fiuh, hari ini matahari menyinari Jakarta dengan galaknya. Untung saja aku bawa jaket, jadi waktu turun dari bus kota kulitku tidak terbakar sinarnya yang menyengat. Finapulang duluan diantar fans barunya naik mobil yang AC-nya dingin,lupa deh sama temen.

“Assalamualaikum, Dewi pulang!”lalu kututup pagar rumahku yang mungil.

“Wa’alaikum salam. Gimana pengumuman ujian anatomi kemarin Wi?”

“Alhamdulillah dapat B Bu.” Sambil kubuka jaketku, aaah leganya sudah dirumahku yang sejuk.

“Kok nggak dapat A? yang dapat A berapa orang?” pandangan ibu yang bertanya seolah aku melakukan sesuatu yang mengecewakan. Yah itulah ibuku tercinta, selalu saja yang kudapat kurang memuaskan. Aku menghela napas dan berusaha menjelaskan dengan sabar,

“Nggak ada yang dapat A Bu, ujiannya susah banget soalnya. Yang kena her aja banyak.”

“Oh yaudah, nggak apa-apa kalau begitu. Kamu mau makan siang? Nanti ibu siapkan.” Ibu segera membalikkan badannya kembali menuju dapur.

“Sudah telat banget Bu, kan sekarang jam 5. Tadi Dewi sudah makan dikampus. Sekarang mau kekamar dulu ya.” pamitku dan segera masuk ke kamar.

“Langsung siapkan untuk ujian lusa ya Wi, kalau bisa kali ini dapat A dong.”Seruan ibuku dari dapur terdengar sesaat sebelum pintu kamarku tertutup.

“Ya Bu.”Jawabku sekedarnya.

Hmmm ibuku sayang aku bukan anak kecil lagi yang harus disuruh belajar. Tapi seperti itulah ibuku, ayahku pun tidak jauh berbeda. Walau aku anak tunggal mereka sama sekali tidak pernah memanjakan aku, malah aku selalu dituntut lebih dari yang sudah kudapat sekarang. Sebenarnya bagus sih, aku jadi selalu terpacu untuk menjadi lebih baik. Namun kadang-kadang rasanya menyesakkan dada, sampai aku kepingin nangis. Mereka tidak pernah memberikan pujian atas apapun yang sudah kudapat. Tapi aku pantang menangis, akhirnya yah makan lagi, makan lagi. Dikamarku selalu tersedia coklat dan keripik kentang di tempat tersembunyi untuk waktu-waktu yang menyebalkan seperti ini.

Sambil membuka sebungkus keripik kentang, yang aku tahu kandungan garamnya bisa membuat tubuhku menampung air seperti spons basah, teringat saatku kecil dahulu. Ayahku sudah wanti-wanti sejak aku SD agar aku menjadi dokter untuk meneruskan keluarga Purwadi yang sebagian besar keturunannya sejak kakekku adalah dokter.

Ayahku memang hanya dokter umum. Ia memilih untuk tidak menjadi dokter spesialis karena ia lebih suka melihat penyakit-penyakit sederhana pada bermacam-macam pasien sembuh dengan cara yang berbeda-beda. Ia juga disukai oleh pasien-pasiennya karena mengenal mereka secara individu, saat pasiennya datang untuk kedua kalinya ayahku pasti langsung menyapa dengan nama mereka. Ia juga menjadi dokter keluarga untuk pasien-pasiennya, jadi dari orangtua, anak, kakek-nenek dll berobat dengan ayahku semua. Tentu untuk kasus-kasus yang membutuhkan tenaga spesialis ia akan merujuk mereka agar mendapat perawatan yang tepat, namun biasanya setelah sembuh mereka akan kembali lagi ke ayahku.

Sesungguhnya aku sangat bangga pada ayahku yang seperti itu, namun terkadang aku agak kasihan padanya. Misalnya saja tarif yang dikenakan ke pasiennya tidak pernah naik selama 10 tahun ini, sementara dokter-dokter umum yang baru lulus saja tarifnya lebih tinggi. Bahkan pasien-pasiennya kadang menanyakan kenapa tarifnya tidak naik, ayahku akan menjawab bahwa bila dengan tarif yang sekarang saja ia sudah dapat membantu pasiennya dan hidup cukup mengapa harus dinaikkan. Ayahku memang sangat idealis, mungkin turunan dari kakekku ya.

Ayah ibuku sangat kusayang dan kubanggakan namun kadang aku merasa ingin mereka jadi yang biasa-biasa saja. Duh aku jadi kurang bersyukur begini sih. Mmmh aku, Dewi Asmoro Purwadi sangat bersyukur memiliki Seto Purwadi dan Sulistyorini sebagai orang tuaku, titik.

“Wi…ada telepon dari Fina!” panggilan ibu memecah lamunanku, segera kusembunyikan kantong keripik kentang yang sudah kosong dan membersihkan mulutku dari serpihan kentang dan segera keluar kamar.

“Halo Fin, gimana tadi jalan-jalan sama gebetan baru?”

“Yah lumayan, tadi langsung pulang kok. By the way sori ya tadi pulang duluan, sebenernya gue nyari-nyari elo tapi elonya nggak keliatan dan si Rico udah kepingin buru-buru.”

“Yaa kan gue tau diri Fin, segera menyingkir kalo elo lagi sama fans-fans lo. Udah biasa dari SMU, hehehehe”

“Jangan gitu dong Wi, kan gue jadi nggak enak, kesannya gue suka ninggalin elo kalo lagi sama cowok. Tadi Rico juga nanya kenapa elo nggak bareng aja dianterin sekalian sama dia.”Volume suara Fina terdengar merendah.

“Mana mau gue jadi kambing congek Fin, kan elo sedang asyik masyuk berduaan.”Semburku.

“Iiih apaan sih lo Wi. Makanya Wi ayo cari cowok dong biar lo juga bisa asyik masyuk hihihi.”

“Wah mohon maaf ya Fin, nggak lagi-lagi deh gue berurusan sama cowok lebih dari temen.”

“Lo masih trauma gara-gara siAlex waktu SMU ya.”tanyanya dengan suara lirih.

“Udaaah omongannya mulai nggak produktif nih, gue males Fin.” Sambil kumain-mainkan kabel telepon dengan setengah kesal.

“Hei Wi nggak semua cowok akan nyakitin elo jadi barang taruhan kayak si brengsek Alex Wi!”

“Fin males ah ngomongin ini. Hayo udah belajar faal belom, besok praktikumnya susah banget dan ada kuis lho!”aku berkelit mengganti bahan pembicaraan yang nggak enak itu.

“Hah susah ya, duh gue belom buka buku apapun malam ini. Yang halaman berapa sih?”wah berhasil ! Suara Fina terdengar serius sekarang.

“Gue lupa, pokoknya yang tentang kerja otot jantung. Oh iya besok jangan lupa lo ke rumah gue pagi-pagi biar bantuin bawain marmutnya anak-anak buat praktikum ya. Bye Fin!”

“Ok bosss!” sempat terdengar jawabnya sebelum kututup gagang telepon.



Bab II

Pukul 13.00 keesokan harinya, setelah kuis sebelum praktikum yang susahnya minta ampun,kita bersiap-siap praktikum faal. Praktikum faal hari ini jadi agak emosionil deh, karena kita mesti mengorbankan marmut yang lucu-lucu supaya bisa memahami kerja jantungnya baru dianalogikan dengan jantung manusia. Habis kita nggak mungkin pakai jantung manusia yang masih hidup kan?. Sebelum praktikum tadi Imam yang anggota rohis memimpin doa bagi marmut-marmut manis itu. Setelah selesai, yang cewek-cewek membereskan alat-alat dan membungkus si marmut dengan rapi sementara yang cowok-cowok menggali lubang kubur di taman belakang. Kemudian setelah kita kubur kita berdoa lagi buat marmut yang sudah berjasa.

Duuuh setiap habis ujian rasanya seluruh tubuhku kehabisan tenaga. Tadi baru ujian anatomi lagi. Ujian praktikumnya lumayanlah, tapi ujian tulisnya susah banget.

“Marsya, tadi soalnya emang susah banget apa gue yang bego sih?”tanyaku dengan cemas.

“Wah kalo itu gue nggak terlalu yakin Wi.” Jawab si Marsya, cowok-iya cowok, bukan Marsya..nda lho-terpinter diangkatan dengan mimik serius.

“Hiks..hiks jahat lo.” Aku pura-pura menangis centil.

“Heheh becanda Wi. Emang susah banget tuh soalnya, gue Cuma bisa jawab lima puluh persen, sisanya nembak abis.” Si Marsya menggeleng-gelengkan kepala botak plontosnya.

“ Syukur deh, Marsya yang straight A student ngomong gitu berarti gue nggak bisa wajar ya hahahaha”

“Eh Wi lo kalo ceria gitu manis lho. Makanya jangan kebanyakan mikirin pelajaran, secukupnya aja. Sisanya pikiran elo mikirin gue aja hehehehe.” Dengan mengedipkan sebelah matanya, si Marsya ikut-ikutan jadi centil.

“Dasar si Marsya bisaaa aja lo. Ntar April dikemanain tuh. Udah seneng-seneng ditembak kakak kelas pas orientasi trus dianggurin lagi. Ntar kualat lo ngerjain ade’ kelas melulu.”

“Justru itu asiknya jadi kakak kelas cowok hehehehe…” kilahnya sambil beranjak pergi.Selain pintar si Marsya juga hobi gonta-ganti cewek yang semuanya adik kelas. Eh iya dari tadi aku belum lihat Fina, mana ya.

“Pras lo liat Fina nggak?” tanyaku pada Pras yang kebetulan lewat.

“Nggak tuh, kan biasanya sama elo.”

“Iya tadi ruang ujiannya beda sih. Mana yaaa”kepalaku celingukan mencari batang hidungnya si Fina.

“Oh iya Wi kebetulan gue pingin ngomong sama elo nih.” Tiba-tiba Pras mengajakku kepojokan koridor yang agak sepi.

“Ngomong apaan kok serius amat?” jawabku kaget.

“Kan gue, Nadia, sama Alvin mau buat kelompok belajar, lo mau nggak gabung?” ajak Pras.

“Wah asik tuh, gue mau Pras. Tapi ajak Fina juga ya, boleh kan?”pintaku.

“Boleh-boleh aja.” sambil mengangguk-angguk Pras mengiyakan.

“Besok siang mau mulai belajar bareng buat ujian biokimia minggu depan?”.

“Ok. Di perpus aja ya. Makasih Pras!”sambil kulambaikan tangan, aku pergi mencari Fina.

Duh mana sih Fina? Eh itu kayaknya Fina deh.

“Fin! Finaaa!”Kenapa mukanya bete banget ya, apa karena ujian tadi.

“Kemana aja Fin dari tadi dicariin. Eh muka lo kenapa? Karena ujian?” tanyaku.

“Aah ujian sih lewat Wi. Mau belajar apa nggak gue tetep nggak bisa. Semalam gue diputusin sama Rico.” Jawab Fina dengan sendu dan menundukkan kepalanya.

“Hah kapan jadiannya? Kok tahu-tahu putus?” kutanya dengan mimik kebingungan.

“Yah kan kemaren-kemaren gue udah sering jalan sama dia, itu udah dianggap jadian Wi.” Fina menjelaskan sambil menggerakkan bahunya yang gemulai.

“Emangnya elo bener-bener suka, sayang atau cinta sama Rico?” selidikku.

“Nggak tau deh Wi. Yang pasti gue seneng kalo orang-orang liat gue jalan sama dia. Kan dia anak basket, punya band dan ortunya dokter spesialis yang tajir lagi. Kalau sekarang gue yang diputusin begini kan gue jadi malu sama orang-orang.” Urai Fina dengan suara yang semakin lirih.

“Mmmm begitu jadinya. Fina. Fina, lo nggak berubah ya. Dari SMU masalah lo adalah gimana diliat orang-orang. Kan sebenarnya yang harus lo pikirin kalau jadian atau bahkan putus itu adalah gimana perasaan kalian berdua, bukan pendapat orang-orang. Orang-orang ngomongin paling cuma sebentar terus lupa. Sekarang elo jadian sama Rico karena perasaan bukan? Kalau bukan dan sekarang elo nggak ngerasa patah hati atau apa, ngapain pusing mikirin omongan orang?” Ucapku sambil kutepuk pipi mulusnya.

“Lo bener juga Wi. Gue jadian kayaknya bukan karena gue sayang atau cinta deh, habis orangnya egois banget dan kasar.”jawab Fina dengan senyum

“Yaudah sekarang lo harus nemenin gue belanja ya, biar bisa back to market lagi besok dengan baju yang canggih hehehe.” Duileee cepet bener bangkitnya.

“Yah tapi gue lagi nggak punya duit nih Fin!” keluhku.

“Tenang, kan ada tante Fina yang bisa beliin lo es krim pistachios-nya baskin-robins.”

Wah asik juga kalo si Fina lagi nafsu belanja, aku juga ikut kenyang. Dia pasti akan menyuapku dengan es krim supaya tahan menemani dia muter-muter belanja sampe pegel. Tapi jadi gagal lagi program low calories minggu ini. Es krim jelas-jelas isinya gula dan lemak semua. Oh iya tadi Fina bilang kalau dia baru aja liat isi angket yang diedarin ke mahasiswa baru untuk malam keakraban bulan depan. Isinya biasalah, kakak terbaik, tergalak, termanis dan lain-lain. Dan seperti tahun kemarin aku kembali mendapat gelar kakak tergalak.

“Makanya jangan hobi teriak-teriak depan kuping ade’ kelas. Lo jadi dapet gelar itu lagi deh.” Sembur Fina.

“Eh tapi yang ngagetin lo juga dapet gelar kakak terfavorit Wi. Nah bingung kan lo bisa dapet dua gelar yang berlawanan gitu hehehe. Katanya sih karena walau lo galak pas 5 hari orientasi, tapi saat sudah selesai lo yang paling murah senyum sama ade’ kelas.” Wow senang juga ya ada yang menganggap aku favoritnya. Tapi tetap saja itu tidak bisa dibandingkan dengan tubuh seksinya Fina walaupun ia makan es krimnya tiga kali lebih banyak dari aku.

Besoknya selesai kuliah aku sibuk mencari Fina yang sudah menghilang lagi. Ternyata dia ada dipinggir lapangan basket lagi asyik ngobrol dengan Pasya kakak kelas yang jadi kapten tim basket angkatannya. Aku mondar-mandir didekat mereka berharap Fina melihat karena aku perlu bicara tapi takut untuk mengganggu.

“Eh bentar ya Pash, gue mau ngomong bentar sama Dewi.”Ah akhirnya Fina ngerti juga.

“Sori Fin gue cuma mau bilang kemaren Pras, Nadia, dan Alvin ngajakin kita belajar bareng di perpus sore ini untuk ujian biokimia. Lo ntar nyusul ya, gue duluan nggak enak kalau telat.” Ucapku sambil menahan silaunya panas matahari sore yang menyinari lapangan basket.

“Yaaa kayaknya gue nggak bisa Wi, Pasya mau ajak gue main bilyar sama temen-temennya sore ini. Salam aja deh sama mereka, lain kali gue ikut deh.” Tolak Fina sambil cengengesan. Kayaknya dia lagi seneng banget dapet gebetan baru si Pasya.

“Oh yaudah, tapi ujian biokimianya dua hari lagi lho Fin. Jangan kemaleman pulang bilyarnya ya.”

“Siap Bu!”candanya.

Duh sudah jam setengah empat lagi, aku bakal telat sampe perpus nih.

“Hai Nadia, sori ya gue telat tadi nyariin Fina dulu eh ternyata dia malah nggak bisa ikut belajar bareng. Lho Pras dan yang lain mana kok belum pada datang?”

“Baru jam setengah empat lewat lima Wi. Malah elo yang terlalu on time. Mereka sih paling datangnya setengah jam dari waktu yang dijanjikan.”jawab Nadia yang sudah duduk manis di perpus dengan samtai.

“Oh yaudah nggak apa-apa kalau begitu. Nanti mau bahas yang proses metabolisme karbohidrat kan? Gue masih bingung yang siklus krebs Nad, rumit banget sih……..”

Hari itu kami belajar bersama, aku senang dan lega akhirnya punya kelompok belajar. Memang kadang-kadang kalau capek belajar kami jadi bercanda-canda, tapi jauh lebih meringankan dan menyenangkan seperti ini.Kami punya jadwal rutin dua hari sekali belajar bahan yang mau diujikan minggu depannya, Fina kadang ikut kadang tidak bisa.

Lama-lama kami jadi semakin dekat dan sering curhat disela-sela belajar. Aku jadi tahu bahwa Nadia sudah punya pacar di Bandung yang sering bolak-balik Bandung-Jakarta setiap minggu, Pras sudah beberapa kali pedekate kemudian ‘nembak cewek tapi belum ada yang berhasil dan Alvin yang sering jalan sama bermacam-macam cewek tapi belum ada yang menarik hatinya. Kalau Aku? Yah hanya aku yang masih belum terbuka tentang masalah percintaan. Habis sudah pasti orang menganggap wajar saja aku belum punya pacar karena ‘gendut’.

Suatu hari sabtu saat kita (hanya) berempat (lagi) belajar untuk ujian histology tiba-tiba Pras nyelutuk

“Cewek itu matre ya.”Kontan saja aku dan Nadia langsung berkomentar

“Enak aja!!”dengan mata melotot.

“Iya tapi dari semua cewek yang gue tembak dan terus nolak gue alasannya sama. Gue nggak punya mobil atau motor untuk jalan-jalan, gue nggak bisa sering-sering ngajak mereka jalan karena gue anak kos yang duitnya pas-pasan.” keluh Pras sambil memainkan jambul ala Tintin-nya.

“Yah kalau gitu elo yang salah sasaran Pras. Lo nembaknya cewek-cewek yang jenis itu sih.” Nadia menimpali.

“Jenis apaan Nad?” Tanya Pras bingung.

“Yah elo kan sukanya cewek-cewek cantik modis yang hobinya shopping di mal, baju n aksesoris sampe tas harus matching dan model terbaru biar nggak dibilang ketinggalan jaman. Ya kan?” entah mengapa Nadia yang kalem jadi agak ketus hari ini.

“Yah kan gue cowok Nad, pasti sukanya yang cantik dan bodi aduhai dong.” Pras membela dirinya sambil cengengesan.Aku jadi kesal melihatnya,

“Tuh kan kalau cowok boleh ngomong gitu bahwa 90% mereka hanya ngejar fisik cewek, tapi pas giliran dapet cewek yang aduhai trus nuntut macam-macam langsung vonis semua cewek matre, kan nggak adil namanya. Makanya lo liat cewek jangan cuma muka-dada-paha aja dong! Liat ada nggak isi kepalanya? Kalau lo rubah syarat-syarat cewek yang lo suka sedikit aja gue yakin lo bisa dapetin cewek yang fisiknya nggak terlalu ngecewain dan nggak matre!” semburku dengan berapi-api.

Mereka semua terdiam sejenak terkesima dengan kata-kataku yang agak keras.

“Uh sori Pras, gue keterusan hehehehe. Sori ya, jangan dimasukkin hati ya.” Candaku dengan wajah lucu dan mereka semua tertawa mentertawakan aku.

“Dewi…Dewi…tapi lo ada benernya juga sih. Tenang aja Wi gue usahain berubah. Bahkan dalam rangka perubahan gue sekarang gue bersedia ngajak lo jalan weekend nanti. Gimana? Itu bukti kalau gue mau berubah kan?” Pras menimpali dengan senyum kurang ajar diwajahnya. Entah maksudnya Pras bercanda atau serius tapi dia sudah keterlaluan dan aku tersinggung sampai ingin nangis. Namun aku nggak mau nangis, aku jawab dengan wajah cengengesan sebisanya,

“Oh nggak deh Pras, tapi makasih lho untuk tawarannya. Eh gue balik duluan ya, bye!” Aku langsung setengah berlari keluar perpustakaan dengan buku-buku yang kusambar dengan terburu-buru berantakan didekapanku. Ketika sampai didepan lift ada yang keluar tiba-tiba dari lift dan menabrakku sehingga semua buku dan kertas-kertasku berantakan jatuh ke lantai. Orang yang menabrakku cuma bilang “Sori!” terus pergi.

Aku punguti kertas-kertas itu satu-satu perlahan-lahan sambil berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk mata. Aku tahu hari-hari seperti ini akan datang, saat seorang cowok nggak berperasaan menggunakan tubuhku sebagai bahan celaan untuk bercanda. Mungkin aku yang terlalu sensitif dan kaku, apa seharusnya aku balas saja celaannya dan bercanda, jangan diambil hati seperti ini? Duh aku nggak tahu mana yang baik, yang pasti sekarang aku merasa mau meledak, dadaku sesak. Rasanya kok nggak selesai-selesai memunguti kertas-kertas itu ya. Tiba-tiba ada tangan lain yang besar dan kecoklatan membantuku mengambil semua kertas-kertas itu sambil berkata

“ Biar gue bantu ya Wi, wah diktat-diktat lo lengkap juga ya.” Itu suara Alvin yang berusaha menenangkanku. Aku masih membisu dan membiarkannya membereskan kertas-kertas itu.

“Eh Wi lo mau pulang? Mau sekalian bareng gue? Gue anter ya, rumah lo di Cileduk kan, kebetulan gue ada perlu kearah sana.” Tanya Alvin dengan suara lembut dan wajah tenang sambil tetap membawakan tumpukkan diktatku. Saat itu aku hanya bisa mengangguk walau aku yakin sesungguhnya Alvin hanya kasihan padaku, tapi aku bersyukur dia ada disana.

Sampai dimobilnya aku masih belum bisa berkata apa-apa, pas dia menanyakan dengan agak malu arah ke Cileduk itu sebenarnya lewat mana aku langsung menangis tersedu-sedu. Kemudian Alvin menjalankan mobilnya perlahan-lahan tanpa berkata apa-apa dan membiarkan aku menangis sampai berhenti sendiri.

“Vin makasih ya udah mau susah payah antar aku pulang. Cileduk lewat permata hijau tembus pos pengumben terus ke joglo aja.” Ucapku sambil tersenyum. Alvin hanya mengangguk.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara kecuali suara radio mobilnya Alvin. Sesampainya di depan rumahku, sekali lagi aku berterima kasih atas kebaikan hatinya. Dia cuma bilang

“Sama-sama Wi. Gue diajarin untuk menghargai wanita. Nggak ada seorang wanita yang patut dijadiin bahan celaan kayak gitu. Pras emang sudah keterlaluan. Jangan nangis lagi ya Wi.”Detik itu, menit itu akan selalu aku ingat selamanya karena untuk pertama kalinya dalam hidupkuada orang lain yang berkata semanis tu kepadaku.



Bab III

Sampai dirumah aku bingung apakah harus menangis atau terbang keawang-awang. Seorang Alvin yang jadi idola cewek-cewek sekampus karena jago tenis mengatakan sesuatu yang paling manis dari semua yang pernah dikatakan orang lain untukku. Aku!, si Dewi yang gendut!. Malam itu langsung tertidur, bahkan tidak merasa lapar ataupun membutuhkan persediaan cokelatku atas perkataan Pras yang menyakitkan.

Pagi harinya saat kuterbangun aku memutuskan untuk tidak salah sangka terhadap sikap manis Alvin semalam. Ia memang baik titik, baik ke semua orang. Jadi sebaiknya aku jangan berpikiran macam-macam.

Saat aku sampai dikampus Pras langsung menghampiriku dan minta maaf atas perkataannya yang sembrono, akupun menjawab sambil tersenyum bahwa ia kumaafkan sambil menambahkan bahwa kemarin aku memang sedang sensitif.

Hari ini aku membawa kue kering buatan sendiri dalam toples yang kumasukkan tas karton, saat break antara dua kuliah kulihat Alvin keluar dan aku mengejarnya

“Vin, ini aku bawa sedikit kue untuk kamu. Diterima ya, ini bukan apa-apa kok cuma terima kasih kemarin kamu berbaik hati sama aku.”Sejenak Alvin hanya memandangku, aku sudah takut ia tidak mau menerima kue ini tapi

“Hmm makasih Wi, buat sendiri ya pasti enak deh. Makasih ya.” ucapnya sambil tersenyummemperlihatkan kerut manis disudut matanya.

“Ehm Vin gimana kalau langsung lo taruh di mobil aja, ntar nggak enak keliatan anak-anak ntar pada minta lagi.” Ujarku sedikit salah tingkah melihat senyumnya barusan.

“Oh eh i..iya Wi. Gue taro mobil sekarang ya. Makasih ya Wi” entah kenapa ia pun terlihat agak gugup.

Keesokan harinya kami belajar bersama lagi, tetapi minus Alvin yang harus mengerjakan tugas presentasi untuk pelajaran gizi. Kali ini yang mulia putri Fina berkenan meluangkan waktu untuk ikut belajar, apalagi kalau bukan untuk kuis sebelum praktikum anatomi.Kuis ini cukup mendebarkan, karena isinya apa yang akan kita praktikumkan hari itu sehingga kalau tidak lulus kuis tidak boleh ikut praktikum karena dianggap tidak siap. Padahal bila dua kali tidak ikut praktikum tidak boleh ikut ujian, yang artinya harus mengulang anatomi tahun depan, wuih seram!.

Untung saja kemarin kami belajar bersama untuk kuis hari ini, hal-hal yang kami diskusikan hampir semuanya keluar dan kami berempat lulus kuis hari ini. Fina sampai loncat-loncat kegirangan, baru kali ini ia bisa mengerjakan kuis dengan lancar katanya. Namun ternyata Alvin tidak lulus kuis dan diberi kesempatan 1 jam untuk belajar kemudian diberi soal lain untuk her kuis supaya bisa ikut praktikum. Kuhampiri Alvin yang duduk sendirian

“Vin. Alvin kok lo kena her kuis? Semalam nggak sempat belajar ya?”tanyaku.

“Iya nih Wi, semalam aku ngerjain presentasi gizi sampe jam dua pagi.” Jawabnya dengan lemas.

“Duh kasihan banget. Ntar gue minta anak-anak giliran bantuin lo belajar deh. Bentar ya Vin.” Aku berlari keruang praktikum dan mengatakan bahwa Alvin harus her kuis, tapi Pras pura-pura tidak mendengar omonganku, Nadia tidak mau mengorbankan waktu praktikumnya untuk bantu Alvin, dan Fina sudah sibuk pura-pura minta ajarin sambil manja-manjaan sama Pasya yang jadi asisten dosen.

Aku pun bingung apakah harus bantu Alvin atau tetap diruang praktikum mendengarkan penjelasan dosen mengenai alat-alat Sistem Saraf Pusat (SSP). Akhirnya aku kembali ke Alvin,

“Vin sori ya anak-anak pada mau dengerin penjelasan dr.Bayu mengenai SSP, lo bisa belajar sendiri?” tanyaku dengan cemas.

“Yaudah nggak apa-apa Wi, elo juga sana cepetan dengerin penjelasan dr.Bayu ntar ketinggalan lho. Gue bisa kok belajar sendiri.” Setengah tersenyum Alvin menyuruhku pergi.

Aku pun kembali keruang praktikum dengan setengah hati. Aku merasa salah dengan tindakanku meninggalkan Alvin sendirian, tapi aku mengingat nilai A yang harus kuraih diujian anatomi berikutnya. Kudengarkan penjelasan dr. Bayu mengenai anatomi dan topografi alat-alat SSP dengan konsentrasi penuh, sehingga Alvin sempat terlupakan.

Saat praktikum hampir selesai barulah Alvin masuk ruangan. Aku merasa sedikit lega bahwa ia akhirnya lulus kuis, tapi aku merasa bersalah dan merasa sifatku buruk sekali. Saat aku disakiti, Alvin menawarkan bantuan sama sekali tanpa pamrih jauh-jauh mengantar aku pulang. Sementara saat dia butuh bantuan aku lebih mementingkan nilai A.

Akhirnya teman-teman yang lain pulang dan Alvin masih tinggal sendirian diruang praktikum. Aku ingin tinggal tapi takut dilihat teman-teman yang lain nanti aku disangka pedekate ke Alvin lagi, duh pasti malu. Akhirnya aku pura-pura ikut pulang, namun setengah jalan aku bilang Fina ada urusan yang kelupaan dan kusuruh ia pulang duluan.

Saat aku kembali keruang praktikum Alvin mengangkat kepalanya dan tersenyum

“Kenapa Wi ada yang ketinggalan?”

“Kamu yang ketinggalan Vin. Maaf ya harusnya tadi aku bantu kamu dulu untuk her kuis. Sekarang mau belajar SSP bareng aku? Tadi dr. Bayu banyak ngasih keterangan supaya kita mudah mengingat letak topografinya lho.” tawarku dengan senyum paling manis yang kupunya.

“Makasih Wi. Yang tadi itu nggak apa-apa kok, kan karena mendengar dr.Bayu kamu jadi bisa nerangin ke aku sekarang.”ucapnya menenangkan.Akhirnya kita diruang praktikum sampai sore sekali, kita mohon-mohon sama bapak penjaga ruang praktikum agar diperbolehkan sampai maghrib dan beliau mengijinkan.

Pulangnya aku diantar lagi, padahal aku sudah menolak tapi Alvin memaksa. Kali ini berbeda dengan yang sebelumnya, sepanjang jalan kami saling bercerita. Ia cerita bahwa ibunya sudah meninggal saat ia SMP karena kecelakaan pesawat terbang dan sejak saat itu ayahnya yang dokter bedah makin sibuk bekerja. Ia hanya bertemu ayahnya dua sampai tiga kali seminggu. Walau ia menceritakannya dengan ceria namun aku menangkap adanya rasa rindu dan kesepian yang terpendam.

Akupun bercerita tentang ayahku yang idealis, ibuku yang selalu menuntut lebih. Dan bahkan tanpa kusadari kuceritakan pula pengalamanku saat SMU dengan si brengsek Alex. Padahal belum pernah kuceritakan pada siapapun selain Fina. Tetapi malam ini aku merasa sangat nyaman saat menceritakannya pada Alvin.

Menurut Alvin, orang seperti Alex tidak menghargai wanita dan seharusnya malu pada diri sendiri.

“Huh Wi kalau aku kenal orangnya udah kukasih bogem mentah dimukanya. Dia nggak sadar dengan apa yang sudah ia sia-siakan.” wajahnya mengeras saat mengatakan itu.

Aku langsung terdiam mendengar ucapannya. Karena hal itu bisa memiliki arti ganda yang diantaranya membuat pipiku memerah karena terbang keawang-awang.

“Vin kamu orang pertama selain Fina yang aku certain tentang si Alex ini. Jangan ceritain sama siap-siapa ya, aku malu.” Pintaku dengan memelas.

“Pasti Wi. aku bukan ember. Tapi kenapa kamu harus malu? Yang harusnya malu itu dia!.” Ujarnya dengan tegas.

“Yah orang-orang pasti akan mengasihani aku. Mereka pasti bilang begini: Duh kasihan banget si Dewi kegendutan sih jadi nggak ada yang mau, sekalinya mau eh cuma buat taruhan doang. Aku nggak akan tahan kalau sampai denger orang ngomong gitu Vin. Aku tahu aku nggak cantik, dan gendut tapi aku nggak mau dikasihani karena hal itu.” Ujarku sambil menunduk, mataku terasa panas.

“Wi, dunia ini nggak sedangkal pikiran kamu. Banyak orang yang nggak hanya ngeliat,seperti yang kamu bilangke Pras: muka-dada-paha aja. Kalau aku ngeliat kamu bukan Dewi yang gendut yang kelihatan, tapi Dewi yang rajin, pintar, baik, murah senyum dan agak sensitif.”Alvin mengatakannya dengan perlahan.

Aku langsung terdiam lagi, bingung memutuskan harus merasakan apa dihati ini. Tapi rupanya hatiku tidak mau diatur otakku, yang kurasa hangat yang menjalar keseluruh tubuh dan kembali lagi kehatiku. Karena aku masih diam, Alvin melanjutkan

“Kemarin waktu kamu kasih aku kue cuma untuk bilang terima kasih, aku senang banget Wi. Belum pernah ada cewek yang ngasih aku makanan yang dibuat sendiri hanya untuk bilang terima kasih.” Ujarnya sambil menoleh kearahku sebelum kemudian kembali memperhatikan jalan.

Aku semakin terdiam dan menunduk, tidak berani melihat bahkan melirik kearahnya, takut ia melihat wajahku yang memerah. Oh ya Tuhan apa ini? apakah ini waktuku untuk merasakan cinta, sayang kepada seorang laki-laki? Begitu mudahnya mencintai Alvin karena ia begitu manis dan baik, sekarang saja hatiku sudah tidak karuan dibuatnya. Namun apakah Alvin juga bisa mencintaiku? Aku masih takut hatiku tersakiti seperti dulu. Bagaimana kalau memang ia biasa melakukan ini pada semua wanita, bukan karena ia jahat tetapi justru karena ia terlalu baik.

Kami masing-masing terdiam dalam lamunan sampai tiba didepan rumahkau. Akupun turun dan mengucapkan terima kasih lagi sambil tidak berani menatap wajahnya.

“Sama-sama Wi. Dan ingat Wi…” ia tidak melanjutkan kata-katanya sampai aku menatap wajahnya dengan pandangan bertanya “…….i am not shallow.” Mukaku langsung memerah lagi tanpa bisa ditahan. Ia pergi dengan senyumnya yang kurasa paling manis diantara semua senyumannya yang pernah kulihat.



Bab IV

Sampai dikamar aku menangis sambil tersenyum lebar. Aku bingung harus merasa, bersikap seperti apa. Disatu sisi aku yakin seyakin-yakinnya semua sikap dan kata-kata Alvin dengan mudahnya membuat aku jatuh cinta padanya namun disatu sisi aku tidak yakin apakah semua yang dilakukan dan dikatakannya memiliki arti lebih untuknya seperti yang kurasakan.

Aku sudah gatal sekali ingin bercerita pada Fina namun aku juga masih ingin merasakan semua ini sendirian saja. Semua sensasi perasaan yang campur aduk ini milikku sendiri dan tidak mau membaginya dengan orang lain, semua yang dibangkitkan oleh seorang Alvin. Aku jatuh tertidur dengan perasan terombang ambing. Namun esok harinya aku merasa sangat segar seperti mendapatkan energi baru.

Saat hampir sampai di kampus akhirnya kuputuskan akan bersikap menuruti kata hatiku saat bertemu dengan Alvin. Namun saat aku melihat mobilnya dilapangan parkir tanpa dapat ditahan aku segera berbalik dan berjalan memutar untuk mencapai kelas.

Dikelas pun aku berusaha selalu terlihat sibuk melakukan atau berbicara dengan orang lain tanpa berani sedikit pun mengarahkan pandangan kearah tempat duduk Alvin. Tetapisaat kuliah dimulai aku tidak tahan lagi, dan diam-diam aku mencuri pandang kearahnya. Kuamati wajahnya, berusaha meyakinkan diri sendiri apakah untuk orang ini aku berani mengambil risiko mempertaruhkan hatiku. Ternyata saat aku memandang kearahnya sambil berpikir aku tidak sadar kalau ia juga sedang memandang kearahku dan mengamatiku sambil tersenyum kecil. Buru-buru aku alihkan pandangan kearah lain dengan pipi merah.

Sejak saat itu aku tidak berani lagi untuk berinteraksi dengan Alvin. Mungkin aku terlalu pengecut, mungkin juga aku masih terlalu takut disakiti seperti dahulu. Entahlah ….Bahkan aku tidak ikut kelompok belajar dengan berbagai alasan.

Praktikum anatomi-lah yang lagi-lagi menyatukan kita. Saat itu sedang praktikum alat gerak yaitu tulang-tulang lengan dan tungkai. Entah datang dari mana tiba-tiba Alvin sudah berada dekat mejaku. Disekitar mejaku itu banyak anak-anak yang lain, dan ia berbicara padaku dengan nada biasa (memangnya mau dengan nada seperti apa coba?)

“Wi, eh aku belum mengerti tulang-tulang sendi bahu, gimana sih bedain skapula kanan atau kiri? Ajarin ya.” pintanya sambil mengacungkan tulang-tulang itu kearahku.

“ Oh Eh i..iya Vin.” Jawabku salah tingkah. Dengan terbata-bata kuterangkan sebisa yang kuingat karena sepertinya semua pengetahuanku tentang tulang hilang begitu saja. Alvin tampaknya menyadari hal ini, namun ia hanya tersenyum malah sambil berkata

“Kalau gitu coba skapula yang ini, aku cobain ke kamu ya ini kanan atau kiri.” Maka berdirilah ia dibelakangku begitu dekat sampai aku bisa mencium wangi parfumnya diantara bau formalin diruang praktikum. Sambil berdiri dibelakangku ia berbisik dengan lirih

“Kenapa kamu menghindari aku Wi? Don’t you get it? I’m not shallow. Kalau kamu memang mengerti maksudnya aku tunggu dimobilku nanti sore sampai maghrib. Kalau kamu nggak datang ya kuanggap kamu nggak mengerti maksudku Wi.” Kemudian ia menjauh, kembali ke meja praktikumnya sendiri.

Rasanya seluruh tubuhku mencair dan hilang menjadi asap. Mukaku memerah dengan tiba-tiba, teman-teman sekitarku tidak ada yang ‘ngeh’ karena mereka semua sibuk dengan tulang-tulang itu.

Selesai praktikum aku membereskan alat-alatku dengan berlama-lama, Fina sudah pulang dengan Pasya. Ketika aku keluar dari ruang praktikum sudah sepi, tidak ada lagi anak-anak lain. Dilapangan parkir hanya ada mobilnya Alvin, aku masih bimbang dan ragu. Beberapa meter dari mobilnya aku mengambil keputusan dan langsung berjalan cepat tanpa menoleh lagi.

Aku tidak pergi ke pintu penumpang tapi aku langsung ke pintu sopir, dan disana ada Alvin yang tersenyum lega.

“Aku pikir tadi kamu mau jalan lurus terus Wi.”

“Vin aku kan udah pernah bilang aku nggak sanggup kalau hatiku sakit lagi. Kamu bilang kalau aku mengerti maksudnya aku harus datang kemobilmu. Nah sekarang aku sudah datang ke mobilmu dengan asumsiku sendiri aku sudah mengerti maksud ucapanmu, tapi aku mohon kamu beri penjelasan supaya nggak ada salah paham yang nggak perlu dan memalukan.” Aku setengah menuntut, setengah memohon padanya.

“Aku sudah duga kamu akan bicara semacam ini Wi, yuk naik mobilku kita cari tempat enak buat ngomong.” Ajaknya, kemudian membukakan pintu mobilnya untukku.

Aku terpaksa mengikuti ajakannya, kemudian kita pergi ke salah satu restoran outdoor pinggir pantai yang pemandangan malamnya bagus sekali dengan lampu kelap-kelip dikejauhan.Alvin memilihkan meja yang paling dekat dengan pantai. Angin laut bertiup mempermainkan rambutku tetapi tidak juga menenangkan hatiku. Begitu duduk, pelayan segera datang dan kami sama-sama memesan air jeruk hangat. Seolah sudah ada kesepakatan, kami masih sama-sama terdiam menikmati keindahan malam itu. Setelah pesanan datang, Alvin mulai memulai pembicaraan, aku membiarkannya berbicara panjang lebar karena ingin mendengar keseluruhan ceritanya,

“Gini Wi kamu kan tahu ibuku sudah meninggal sejak aku SMP, sejak saat itu aku yang juga anak tunggal seperti kamu makin merasa kesepian apalagi ayahku sibuk operasi disana-sini. Aku punya banyak teman laki-laki dan perempuan. Aku sering pergi jalan bareng mereka, tapi aku tetap kesepian.” Ia terdiam sesaat, menghela napas lalu melanjutkan ceritanya.

“Pas aku masuk FK ini saat masa orientasi kita dulu aku pernah hampir dihukum karena nggak bawa masakan rumahan yang jadi salah satu tugasnya. Terus waktu itu kamu yang sudah siap-siap dengan bekal lebih dari rumah menanyakan siapa yang belum bawa masakan rumah. Karena malu aku minta tolong Pras untuk mintain bekal itu ke kamu. Akhirnya bekal kamu itu aku yang makan Wi. Sejak itu aku sedikit banyak memperhatikan kamu. Mana ada cewek lain yang sengaja nyiapin tugas bekal rumah lebih selain kamu. Dan dengan sukarela memberikannya pada teman yang baru kamu kenal. Tanpa kenal kamu sama sekali sebelumnya, aku sudah bisa melihat apa yang ada didalam dirimu.”Ia terdiam lagi sejenak sebelum mulai melanjutkan, sementara aku tidak bisa berkata apa-apa.

“ Pelan-pelan aku coba masuk ke dalam lingkunganmu, namun sepertinya sulit karena kamu tidak punya lingkungan pertemanan khusus. Ini satu hal lagi yang aku kagumi, ini berarti kamu sangat mandiri tidak perlu terlalu bergantung dengan teman-teman se-geng. Kamu bisa masuk dalam lingkungan pertemanan mana saja. Kamu sangat adil dalam bersikapsaat kamu jadi panitia orientasi kemarin aku juga memperhatikan betapa anak-anak baru yang tadinya sebel setengah mati karena kamu bentak-bentak berubah menjadi menghargai dan mengagumi kamu. Itu hanya beberapa hal yang bisa kulihat di dalam dirimu. Dari hanya yang beberapa itu aku nemuin ketenangan dan kenyamanan. Aku bisa antar kamu pulang tanpa bicara sepatah katapun selama perjalanan tapi tidak merasa kesepian. Don’t you get it? I see it through you, I’m not shallow. So Dewi, would you care to see whats in me, in my heart?

“A…ah..uhm..a..aku nggak tau harus ngoimong apa Vin.”jawabku terbata-bata sambil menunduk. Setelah menarik napas untuk mengumpulkan keberanian, kuputuskan untuk melanjutkan,

“Ini pertama kalinya orang lain memperlakukan aku semanis ini, sehingga saat disampingmu aku merasa kegendutankubukan masalah. Pertama kalinya hatiku nggak bisa nurut apa kata kepalaku. Hatiku bilang aku aman disampingmu, kamu nggak akan nyakitin aku tapi kepalaku bilang aku harus waspada.” Aku berhenti, sekedar untuk memberikan kesempatan menenangkan hatiku, namun tampaknya membuat Alvin gelisah.

“Untuk kali ini aku ikut hatiku saja Vin.” Akhirnya kulanjutkan sambil tersenyum malu-malu.

“Makasih Wi. Makasih untuk percaya sama aku, aku janji akan menjaga kamu dan nggak akan menyakiti kamu karena aku sangat membutuhkan kamu disampingku, aku bosan kesepian terus Wi.” Alvin tersenyum lega dan menggenggam tanganku dalam tangannya yang besar dan hangat.

Malam itu langit malam terlihat sangat indah dimataku. Alvin mengantarku pulang sekalian kukenalkan pada ayah ibuku yang menyambutnya dengan cukup baik. Kemudian setelah Alvin pulang ibuku memanggilku,

“Wi, kamu dan Alvin sudah jadian?”tanyanya penuh selidik.

“Memang kenapa Bu? Dewi janji nggak akan mempengaruhi nilai-nilai Dewi kok.” Aku sudah mulai ketakutan ibuku tidak mengijinkan hubungan ini.

“Bukan itu.” Katanya dengan menggelengkan kepala. “..ibu senang akhirnya kamu mau berbagi dengan orang lain. Selama ini kamu selalu sendirian, bersama Alvin kalian bisa saling berbagi dan itu adalah pelajaran terpenting yang didapat dengan berpacaran. Tapi untuk nilai-nilai tetap nggak ada kompromi ya Wi, besok harus lebih bagus dari sekarang.” Ucap ibu sambil mengelus rambutku penuh sayang.

“Iya Bu.” Dan kukecup pipinya dengan rasa terima kasih.Aku tersenyum lebar, ibu benar sekarang aku bisa menceritakan dan berbagi dengan Alvin dan ia pun bisa berbagi kesedihan ,kesenangan denganku.

Sejak saat itu setiap hari kulalui bersama Alvin. Bukan berarti kami harus terus bersama-sama, tetapi mengetahui dia ada untukku dan akupun ada untuknya cukup membuat kami sangat berbahagia.



Bab V

“Bu malam ini Dewi pulang agak malam boleh ya, mau makan malam diluar sebentar sama Alvin.” Kebiasaan meminta ijin tak pernah kulupakan walaupun kedua orangtuaku sudah mempercayai Alvin.

“Yaudah nggak apa-apa, mau setahunan yaaa.”goda ibuku membuatku terkejut,

“Ih kok ibu tahu aja.”

“Ya tahu dong! Kan semua kalender dirumah ini udah kamu spidol merah tebel-tebel tanggal hari ini. Selamat ya sayang, ibu doakan semoga semuanya lancar-lancar saja buat kalian. Alvin anak yang baik.” Ujar ibu sambil memelukku. Dengan mata berkaca-kaca aku berbisik

“Makasih ya buat doanya Bu.”

Yah hari ini tepat setahun setelah malam yang menegangkan dan membahagiakan itu.Fina baru kuberi tahu seminggu kemudian dan ia sempat marah-marah karena aku nggak cerita-cerita, tapi kemudian ia tersenyum lebar sambil memelukku dengan mata berkaca-kaca dia bilang

“Selamat ya Wi, he’s the best man for my very best friend.”Habis itu kita tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata. Sekarang Fina tampak sudah adem ayem juga dengan Pasya, fans-fansnya yang lain sudah dilupakan karena cuma ada Pasya seorang buat Fina.

Oh iya Pras sempat cerita, beberapa bulan setelah mereka semua tahu aku jadian dengan Alvin, kalau sore itu Alvin sempat meninjunya sebelum menyusulku keluar dari perpustakaan.

Sampai lupa, sekarang berat badanku sudah turun 5 kilogram dari setahun yang lalu, masih agak kelebihan sih tapi setidaknya aku tidak obesitas lagi. Rahasia yang kurasa harus dimiliki semua cewek yang obesitas adalah:Alvin! Ia membuatku merasa begitu dicintai dan dihargai sehingga aku sudah tidak perlu lagi persediaan cokelat atau keripik kentang.Aku bisa bercerita tentang apa saja padanya dan itu lebih baik dari pada sebatang cokelat atau sebungkus keripik kentang setiap kali aku ada masalah.

Sekarang aku sedang menunggu Alvin-ku yang belum selesai praktikum parasitologi. Nah itu dia baru keluar ruang praktikum. Sambil tersenyum berjalan lurus kearahku. Sore ini ia tampak semakin gagah sekaligus manis.

Kami akan makan malam di restoran pinggir laut tempat kita jadian setahun yang lalu. Tapi sebelumnya kami berkunjung dahulu ke ruang praktikum anatomi yang bersejarah buat kita berdua. Disana Alvin menyalakan lilin mungil dan kemudian kita tiup sama-sama.

Happy first anniversary honey, I’m waiting for another hundred anniversary to come.” Ujarnya lembut dan kujawab dengan mengecup lembut keningnya“ I love you.”

-

Catatan: Novel mini ini sudah 10 tahun usianya. Dibuat lalu terlupakan. Daripada berjamur diantara tumpukan file lama lebih baik saya berikan sinar matahari di kompasiana. Semoga berkenan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun