Remaja lelaki tanggung itu duduk diam seperti termenung. Lengkungan tubuhnya dan buku-buku jemari tangan yang memutih karena mencengkram sandaran kursi kayu, menampakkan kesan bahwa ia tidak melamun. Disamping kebeliaannya, punggung kukuh itu melengkung kedepan tampak rapuh, bahu padat berisi layaknya pemuda kali ini terlihat melorot kedua sisi. Kulit leher bagian belakang yang kehitam-hitaman itu harusnya tegang bagai tonggak, tetapi kini seperti tak sanggup menanggung beban kepala. Terkulai jatuh kedepan tak berdaya. Dari pengamatan lebih cermat baru dapat memahami bahwa remaja ini sedang tenggalam dalam kesedihan.
Bima namanya. Sama seperti karakter tokoh pewayangan kesayangan ayahnya dulu, Bima tumbuh menjadi anak lelaki yang kuat dan jarang sakit. Bahkan kini menjadi remaja tegap berwibawa, walau saat ini sedang termangu dalam aura kesedihan. Tetapi tak setitik pun air mata bergulir darinya, tiada isakan walau sedikit jua. Apalagi tangisan meraung-raung mengharu biru. Padahal itulah yang hampir pasti diharapkan oleh orang-orang dewasa disekelilingnya. Mereka bingung, karena Bima hanya terdiam. Diam dalam kekokohannya yang perlahan semakin terkikis larut dalam arus kesedihan tanpa suara.
Hanya bila mereka mencermati wajahnya, menatap kedalam matanya barulah orang dewasa itu bisa melihat kepedihan tak terperi yang dipendamnya. Goresan tinta nasib telah mengubah mata bening yang dulu senantiasa berkelip ceria kini menjadi kelam menghitam guram. Garis-garis kebocahan diwajah bulat kecokelatan itu nyaris sirna dalam waktu sekian menit. Garis-garis itu seakan berlomba memahat diri lebih dalam di wajah Bima dalam sepersekian detik, setelah kabar itu terdengar. Kini wajah kebocahan yang tampan itu telah mengeras sehingga tampak jauh lebih tua dari usianya yang baru 14 tahun.
Dari cengkeraman jemari tangan yang tidak juga mengendur bahkan justru semakin menguat, menunjukkan emosi lain yang berkecamuk di dadanya selain kesedihan. Bima geram, marah sekaligus sedih sekali. Kombinasi emosi yang melumpuhkan otak mudanya. Setiap otot dan tulang dalam raga muda itu bagai bereaksi spontan tersendiri terhadap badai emosi. Lepas dari kordinasi otak karena sang pemimpin sedang mengalami syok. Butuh waktu untuk kembali berfungsi normal lagi. Sama saja dengan komputer yang hang akan butuh waktu untuk reboot kembali sistemnya.
Orang-orang dewasa disekelilingnya hanya berdiri-diri saja. Bingung dan tak yakin apa yang harus dilakukan. Mereka sendiri sangat terkejut akan respon Bima yang tampak tak wajar untuk anak seusianya. Mereka saling berbisik lirih atau memandang penuh keprihatinan, namun enggan mengusik tameng yang tampak mengeras dari diri sang pemuda. Entah mengapa tidak ada yang merasa perlu memeluknya, mengayunnya dalam dekapan hangat keibuan atau rengkuhan sayang kebapakan dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Tidak, tidak ada yang melakukan itu pada Bima. Lagi-lagi kediamannya, kegeraman dan kesedihan dalam kesunyian inilah yang membuat mereka gentar.
Padahal dibalik semua tameng dan topeng itu, Bima tetap anak-anak. Dibalik kediaman, keheningan dan gelora kemarahannya, remaja itu setidaknya masih memiliki sisi kekanakan yang membutuhkan pelukan, belaian sayang bahkan dari mereka yang sama sekali tidak dikenalnya.
Entah setelah berapa detik, menit atau bahkan jam telah berlalu hingga akhirnya salah satu dari ketiga orang pembawa berita itu mendekatinya. Wanita muda berambut pendek dengan rahang tegas memancarkan pandangan empati yang tulus dari matanya. Ia duduk diam-diam disamping Bima. Perlahan disentuhnya bahu kukuh remaja itu. Butuh waktu beberapa saat hingga Bima menyadari sentuhan tersebut dan menoleh dengan linglung padanya.
“Bima, apa ada om atau tante, eyang atau pakde-bukde yang bisa ditelepon sekarang? Untuk menemani Bima.” Tanyanya selembut yang ia mampu.
Lama Bima hanya menatap wajah kuning beralis tebal, lalu menekuri seragam kecokelatan wanita muda itu. Seolah ia diajak bicara dengan bahasa asing yang tak dimengertinya. Ketika akhirnya keluar suara dari bibir kering kepucatan itu hanya terdengar deretan nomor dalam bisikan lirih,
“nol…delapan…tiga…lima…dua…dua..tujuh…sembilan, Om Zaini…”. Lalu Bima kembali tenggelam dalam dunianya yang menyempit. Dengan anggukan samar wanita tersebut menyuruh kawannya yang lain untuk menelepon. Orang yang ditunjuk segera mengangkat ponselnya lalu memencet sejumlah nomor dan berjalan menjauhi kerindangan pohon beringin besar tempat mereka berada.
Dengan kecanggungan samar, wanita muda itu memegang kesepuluh jemari Bima untuk menghibur. Karena ia belum punya anak, sehingga hanya itulah yang penghiburan terbaik yang bisa ia berikan saat ini. Nalurilah yang mendorongnya untuk mengeratkan genggamannya pada Bima, hingga perlahan kehangatan tangannya mengaliri tangan Bima yang dingin seperti es. Dan perlahan pula, cengkraman buku jari Bima pada sandaran kursi kayu itu mengendur.
Sementara lelaki yang satu sedang berkutat dengan ponselnya, kawan lainnya berputar mengitari rumah besar dan rindang itu. Sekedar memuaskan keingintahuannya sekaligus mencari penghuni lainnya untuk dimintai keterangan. Tetapi ia tidak berhasil menemukan satu pun, kecuali si mbok tua yang tidak bisa berbahasa Indonesia sedang meracik masakan didapur.
Diam-diam kedua lelaki itu merasa sedikit lega, bisa menjauh walau sebentar dari pemandangan menyayat hati tadi. Lelaki berponsel masih belum mengetahui apa hubungan Bima dengan ‘Om Zaini’, tetapi ia bisa menangani itu. Ia bisa menangani orang dewasa, anak-anak lebih sulit untuknya. Setelah dua kali dering nada sambung akhirnya ada suara lelaki yang menjawab,
“Halo bisa bicara dengan bapak Zaini?”
“Ya, saya sendiri. Dari mana ini?” jawaban ramah menyambut.
“Saya Barnas pak, dari kepolisian.”
“Lho ada apa ya pak Polisi?” suara diseberang terdengar kaget.
“Saya mendapat nomor telepon bapak dari Bima Setyodihardjo. Bisa saya tahu apa hubungan bapak dengan Bima?”
“Bima? Iya, saya sahabat dekat ayahnya dan pengacara keluarga Setyodihardjo. Apa Bima kena masalah hukum pak?” suara pak Zaini berubah, terkesan lebih professional.
“Tidak, bukan masalah hukum. Saat ini saya sedang bersama Bima di kediaman keluarga Setyodihardjo. Saya harapbapak sebagai sahabat keluarga dapat segera berangkat kesini secepatnya. Kalau bisa dengan ibu Zaini saya rasa lebih baik lagi.” Saran petugas Barnas.
“Ada apa sebenarnya pak? Orangtua Bima saat ini sedang pergi ke New Zealand, mengurus perluasan bisnis mereka.” Suara itu terdengar semakin menuntut penjelasan.
“Sebenarnya saya tidak ingin menjelaskannya di telepon pak, tetapi ada musibah besar. Pasangan Setyodihardjo termasuk korban dalam kecelakaan pesawat Awang airlines yang meledak 3 jam yang lalu diatas samudra pasifik…” urai petugas Barnas dengan pelan.
“Astagfirullah, Inna lillahi….apa ada yang selamat?” keterkejutan nyaris berteriak dalam ucapan pak Zaini.
“Sudah dipastikan tidak ada yang selamat pak, karena pesawatnya meledak diudara. Oleh karena itu saya harap bapak dan ibu bisa segera kemari menemani Bima. Tampaknya ia sangat syok mendengar kabar ini.” Masih dengan suaranya yang pelan namun tegas petugas Barnas melanjutkan.
“Jelas saja syok….Oh iya pak, saya segera kesana! Terima kasih atas kabarnya pak.”
“Sama..sam…”telepon sudah dimatikan dengan tergesa.
+++
Dalam hitungan menit segala ketegaran dan keheningan aneh yang menyiksa tadi luruh saat Bima tenggelam dalam pelukan erat Bu Zaini. Dipeluknya remaja itu seperti bayi, diayunnya seperti yang biasa dilakukan untuk anak-anaknya dulu dan diciumi kepala Bima seperti buah hatinya sendiri. Dan pecahlah tangis itu. Tangis dan jerit memilukan dari rasa kehilangan dan hati yang pedih tersayat-sayat. Dibiarkannya air mata Bima membasahi nyaris seluruh baju bagian depannya. Bu Zaini tak peduli air mata, air ludah dan ingus Bima berleleran di baju kurungnya. Ia tidak peduli lagi, karena Bu Zaini pun ikut menangis bersama Bima. Matanya basah berlinangan air mata, sementara mulutnya komat-kamit menyatakan kalimat penghiburan diselingi doa. Asma Allah, takbir, tahmid segala puja puji kepada yang kuasa juga doa memohon ketabahan dan kekuatan mengalir terus. Sekuat tenaga Bu Zaini menahan tubuh gemetar Bima, dalam tangisannya, dalam ratapannya.
Sambil mendengar detil berita dari para petugas kepolisian, pak Zaini pun berlinangan air mata. Tak kuasa rasanya ia memandangi istrinya dan Bima berlama-lama.
“Bima adalah putra tunggal pasangan Setyodihardjo, pak. Namun ia tidak manja, karena ayahnya mendidik supaya mandiri…” ungkap pak Zaini, sementara petugas Barnas hanya mengangguk-angguk prihatin.
“…mereka tidak punya saudara sekandung. Baik bapak maupun ibu Setyodihardjo. Karena pak Setyo juga anak tunggal, kedua orangtuanya sudah meninggal. Sementara bu Setyo yatim piatu, Sejak kecil hidup di panti asuhan.” Pak Zaini berhenti sebentar untuk menghela napas panjang.
“Jadi Bima sebatang kara? Tidak ada yang bisa merawatnya, mengurusnya?” Tanya petugas Barnas, mewakili kawan-kawannya yang tampak sama terkejutnya.
“Tidak sebatang kara pak, karena kami sudah menganggap keluarga Setyo seperti saudara. Dulu saya dan pak Setyo mulai dari nol, sama-sama susah, jadi loper koran. Persahabatan kami langgeng hingga sekarang.” kenang pak Zaini.
“Jadi bapak bersedia merawat Bima?” Tanya rekan laki-laki petugas Barnas.
“Bukan saja saya bersedia, Bima memang sudah kami anggap anak kami sendiri selain lima anak kami yang sudah dewasa. Lagi pula begitulah amanat pak dan bu Setyo dalam wasiat mereka.” Kembali pak Zaini mengusap air matanya.
“Oh ada surat wasiat pak?”
“Ya, ada salinannya di kantor saya. Amanatnya kurang lebih adalah, Bima akan dirawat oleh keluarga kami. Sementara perusahaan mereka akan dihibahkan untuk masyarakat….” Melihat kekagetan samar dari pendengarnya, ia melanjutkan.
“…maksudnya supaya nyawa Bima tidak terancam oleh orang jahat yang hanya menginginkan harta benda mereka.Surat wasiat ini sudah dibuat semenjak Bima baru berumur tiga atau empat tahun.” pak Zaini menjelaskan.
“Oh iya bapak kan pengacara keluarga juga ya. Kalau begitu, saya bisa minta kopi surat wasiatnya pak?” petugas Barnas tampak sudah paham duduk masalahnya.
“tentu..tentu…”pak Zaini mengangguk-angguk.
“…tentu saja saat suasana sudah reda, tidak perlu terburu-buru. Hanya untuk kelengkapan laporan administrasinya pak.” Tambah polwan muda tadi penuh pertimbangan.
“Iya bu, tidak apa-apa. Saya mengerti.” Ucap pak Zaini sambil mencengkeram belakang kepalanya.
“….sekalian dokumen asuransi jiwa mereka nanti saya kopikan untuk bapak.”tambah pak Zaini.
“Lho ada asuransi jiwa juga?” Tanya petugas Barnas.
“Tadi saya belum bilang ya pak? Aduh maaf, saya lupa.” Pak Zaini menggeleng-geleng resah.
“Begini pak, Pasangan Setyodihardjo termasuk pasangan yang berpikir jauh kedepan. Mungkin sebagian karena pengaruh bu Setyo yang telah merasakan penderitaannya jadi anak yatim yang nasibnya terkatung-katung di panti asuhan. Maka mereka sudah menyiapkan semuanya sejak Bima masih balita. Asuransi jiwa mereka, asuransi kesehatan dan pendidikan untuk Bima.” Urai pak Zaini kepada ketiga petugas polisi.
“Jadi dari sisi keuangan setidaknya Bima sudah terjamin ya pak?” tegas petugas Barnas.
“Betul itu pak. Walaupun hingga ia berusia 21 tahun, total uangnya tidak dapat dicairkan. Hidup Bima cukup dari bunganya saja. Pak Setyo yang mengatur seperti itu, lagi-lagi supaya nyawa Bima tidak terancam orang jahat.”
“Berapa besar asuransi jiwa pasangan Setyodihardjo?” selidik rekan lelaki petugas Barnas.
“Totalnya kira-kira sekitar enam ratus juta pak, Tapi pastinya saya harus lihat dokumen dulu.Mereka saling mewarisi, tetapi saat mereka meninggal dua-duanya yang menjadi ahli warisnya adalah Bima.” Pak Zaini menjelaskan sambil mengernyitkan dahi, seolah takut melupakan informasi lainnya.
“Dari asuransi mana yang dipakai pak, untuk asuransi jiwanya. Karena mereka pasti akan minta laporan ke kami juga.” Tanya polwan muda.
“Oh, mereka pakai asuransi Nusabangsa bu.” Pak Zaini melirik Bima dan istrinya yang masih terisak, walau sudah lebih lirih dari sebelumnya. Ketiga polisi itu menyadari sudah saatnya mereka undur diri,
“Baik pak Zaini, saya mohon maaf atas berbagai pertanyaan dalam masa berduka ini. Terima kasih atas kerjasamanya pak, nanti akan saya hubungi lagi.” Pamit petugas Barnas.
“Kami turut berduka cita pak.”tambah polwan muda lagi.
“Tidak apa-apa, pak, bu. Terima kasih.”
Setelah ketiga polisi tadi pergi, perlahan pak Zaini melangkah ke arah bangku kayu dibawah pohon beringin rindang yang berada di taman belakang rumah Setyodihardjo. Nampaknya Bima sudah setengah tertidur namun masih menangis lirih. Dengan penuh sayang dielusnya rambut tebal berikal milik Bima yang terkulai didada istrinya. Tidurlah nak, sementara ini tidur memang obat terbaik untuk meredakan luka hati dari kesedihan yang menyakitkan, ucapnya dalam hati.
Bu Zaini dan pak Zaini saling memandang dalam diam, namun mereka memahami. Kehilangan sahabat telah membuat rongga kosong dihati mereka. Tetapi bagi Bima kehilangan kedua orangtuanya seperti kehilangan seluruh napas kehidupannya. Kini menjadi tanggung jawab mereka untuk membesarkan putra sahabat. Tidak sulit untuk melakukannya, karena memang Bima sudah seperti anak sendiri untuk keluarga Zaini. Bagian tersulit saat ini adalah mengurangi kepedihan hati dan kesuraman jiwa Bima. Agar ia mau melanjutkan kehidupannya.
+++
“Bima, om tahu Bima masih sedih dan bingung nak..” pak Zaini memulai percakapan di meja makan. Pagi ini sudah 1 minggu berlalu semenjak berita mengenaskan atas berpulangnya orangtua Bima akibat kecelakaan pesawat.
“…om dan tante juga sangat sedih..” lanjut pak Zaini. Sementara Bu Zaini hanya bisa memandangi Bima yang tidak juga menyuapkan bubur sumsum kedalam mulutnya, melainkan hanya mengaduk-aduknya saja. Sambil menghela napas Bu Zaini mengingat-ingat, 1 minggu ini Bima tidak mampu menelan makanan padat. Maka Bu Zaini membuatkan aneka macam dan jenis bubur encer, agar mudah diseruput tanpa perlu dikunyah. Tetapi itupun hanya dua tiga sendok yang berhasil masuk ke mulut Bima. Kembali didengarnya suaminya berusaha mengatakan apa yang sudah mereka sepakati semalam,
“…om sudah janji sama papamu almarhum untuk memberikan sebuah peninggalan mereka sesegera mungkin…kalau terjadi sesuatu….” sambil meletakkan sebuah peti kecil dari kayu berukir dan berlapis kulit cokelat.
“….ini isinya surat-surat dari papa dan mama untuk Bima. Setiap tahun papa dan mamamu menambahkan beberapa, seiring bertambahnya usiamu. Dan didalamnya juga ada surat wasiat mereka…” Bima kini memandangi kotak kayu itu, melupakan bubur sumsumnya yang sudah mendingin.
“…kotak ini masih terkunci, jadi om tidak pernah membaca isinya. Papamu bilang Bima pasti bisa membukanya, dan menurut om, Bima memang berhak membukanya sendiri dan mengetahui isinya sendiri..” pak Zaini kini mendorong kotak itu keseberang meja makan, mendekati Bima.
“Nah, satu amanah sudah om kerjakan. Silahkan Bima buka dan baca pesan dari papa-mamamu. Kalau Bima mau ditemani, om atau tante bersedia menemani Bima membacanya. Tetapi kalau Bima lebih suka sendiri juga tidak apa-apa sayang.”
Lama Bima terdiam menekuri kotak itu,keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu. Bu Zaini memandang suaminya dan dibalas dengan anggukan halus.Lalu tiba-tiba Bima berdiri dan mengempit kotak itu diketiaknya,
“Terima kasih om, saya lihat dulu isinya dikamar.” Suara parau Bima tak lebih dari bisikan, tetapi disambut hangat oleh pasangan Zaini. Karena selama seminggu ini tidak ada kata-kata keluar dari mulut Bima kecuali “ya” dan “tidak”.
“Iya sayang, iya. Kalau Bima butuh sesuatu panggil tante atau om ya sayang.” Jawab Bu Zaini yang kini sudah berdiri disamping Bima sambil mengelus kepalanya.
Bu Zaini membereskan meja makan, dan membawa semuanya kebelakang. Sudah seminggu ini pula ia dan suaminya menginap dirumah Setyodihardjo untuk menemani Bima. Beruntung anak-anak mereka sudah dewasa semuanya. Bahkan si Bungsu sudah menjadi dokter spesialis jiwa, dan sekarang sedang bicara ditelepon dengan suaminya.
“…tadi sudah keluar satu kalimat Rika….iya waktu papa keluarkan surat-surat dari orangtuanya….” pak Zaini menjelaskan dan sesekali terdiam mendengarkan ucapan lawan bicaranya.
“…oh memang begitu, jadi masih nggak apa-apa ya….ok, sementara kita ikuti dulu perkembangannya….” Ia menoleh ketika bahunya ditepuk lembut Bu Zaini,
“…eh ini mamamu mau bicara..” dan gagang telepon pun beralih.
“Rika, yang repot Bima masih belum mau makan…..sudah …..sudah mama buatkan bubur macam-macam…” ucapan bu Zaini terpotong,
“…iya..Cuma dua tiga sendok…..oh tambah susu juga…..apa? cokelat?....” ia tampak mengangguk-angguk mendengar suara putrinya di seberang telepon.
“….benar juga ya, cokelat tinggi kalori. Dari pada nggak masuk sama sekali…..menurut kamu belum perlu obat?” Tanya Bu Zaini.
“…..oh ya sudahlah, kamu yang lebih ngerti….kalau ada waktu tengokin adikmu ini dong Rik..”
Sementara percakapan dilantai bawah masih berlangsung, Bima berbaring telungkup diatas tempat tidurnya dilantai dua, menekuri kotak kayu tadi. Kini bagian penutupnya sudah membuka kebelakang, tampak anak kunci emas tertancap dilubangnya. Anak kunci itu adalah bandul dari sebuah kalung emas tipis yang tadi masih melingkari leher Bima.
Kini Bima bangkit dan duduk ditempat tidur lalu mulai mengambil tumpukan kertas itu satu persatu. Dijajarkannya memanjang rapi melintangi tempat tidur. Sebagian kertas tampak kekuningan, namun adapula yang putih bersih. Dihelanya napas panjang lalu mulai membuka lipatan surat yang berada paling dekat dengannya.
Bima mengenali tulisan tangan ibunya yang melingkar-lingkar. Tanpa bisa dicegah air matanya mengalir tak terbendung.
Bima sayang,
Hari ini kamu akhirnya mau makan sayur. Mama senang sekali, walau harus mama sembunyikan brokoli itu dalam pangsit goreng kesukaanmu. Sayur itu bagus sayang, walau kamu tidak menyukainya tetapi membuatku sehat dan kuat.
Sama seperti juga kehidupan sayang. Nanti akan ada banyak hal yang tidak kamu suka dalam hidupmu. Mau tidak mau harus kamu telan juga, karena masalah harus dihadapi bukan dihindari.
Mama sayang Bima
Berikutnya tampak surat yang kertasnya paling kuning diantara yang lain. Kali ini berisi tulisan papa yang besar dan huruf capital.
Bima sayang,
Hari ini papa mama bersyukur sekali memiliki kamu. Diusia tiga tahun ini kamu sehat, lucu dan cerdas. Kami merasa perlu menjamin masa depan kamu kelak sebagai penerus Setyodihardjo. Setelah kamu lebih besar akan papa beritahu mengapa mama tidak dapat membuat adik untukmu. Memiliki Bima adalah suatu anugerah bagi kami.
Tadi siang papabaru saja selesai tanda tangan polis asuransi jiwa ditemani Om Zaini. Memang sekarang kamu belum mengerti arti kata-kata ini, pada waktunya bisa kamu tanyakan papa, mama atau Om Zaini mengenai asuransi. Om Zaini sudah memilihkan asuransi yang terbaik, dimulai oleh pejuang-pejuang jawa sejak jaman penjajahan dulu. Namanya Nusabangsa, mudah-mudahan semangat nasionalis mereka bisa menularimu saat dewasa nanti.
Papa dan mama sayang Bima
Walau pandangan Bima memburam oleh genangan air mata dan napasnya tercekat, ia berkeras meneruskan membaca surat demi surat dari orang tuanya. Ia merasa bagai berkomunikasi terakhir kalinya dengan mereka. Dalam tiap untaian kata, Bima serasa mendengar suara mama yang berlagu dan beratnya suara papa.
Bima sayang,
Maafkan mama tadi memukulmu dengan keras. Mama tidak bermaksud menyakiti Bima. Mama hanya ingin Bima tahu kalau bermain kompor itu berbahaya. Kamu bisa terbakar, terluka. Mama tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Bima. Bimalah kebahagiaan dan kebanggaan papa dan mama. Maafkan mama ya sayang.
Mama sayang Bima
Teringat kembali kenakalan demi kenakalannya sejak kecil dulu. Betapa sakitnya cubitan mama dan pukulan dipaha. Tapi lebih sakit yang dirasanya saat ini karena tidak bisa lagi mendengar omelan mama.
Bima sayang,
Papa tahu kamu kesal karena tidak papa belikan play station 2 seperti temanmu yang lain. Bukan karena papa jahat dan tidak sayang Bima. Papa ingin kamu menghargai uang dan barang. Kamu sudah punya banyak sekali mainan bahkan computer. Sementara teman-teman sebayamu di nusatenggara yang papa kunjungi minggu lalu, bahkan sulit untuk sekedar mencari seteguk air minum.
Coba lihat sekitar kita sayang, masih banyak anak-anak yang lebih tidak beruntung dari pada kamu. Hargai setiap rupiah yang papa dan mama dapatkan dengan kerja keras untuk kamu, hargai setiap barang yang kamu miliki.
Papa sayang Bima
Sekarang Bima bahkan tidak menginginkan barang apapun. Semua mainannya, bajunya dan seluruh barang yang ia punya rela ia berikan asalkan bisa memeluk papa dan mamanya lagi. Aliran air mata semakin deras saat Bima memeluk dirinya sendiri untuk mengurangi nyeri yang ia rasa didada. Tetapi lebih karena ia adalah anak ayahnya, tak lama Bima sudah kembali membaca surat berikutnya.
Bima sayang,
Hari ini kamu sudah mengalami proses pendewasaan di masa kanak-kanakmu. Kamu sudah berani disunat, papa bangga bahwa kamulah yang mengajukan diri untuk minta disunat. Papa tahu saat ini rasanya perih dan pedih, tapi itu hanyasedikit pengorbanan untuk mencapai hasil yang baik yaitu menjalankan perintah agama dan untuk kesehatanmu. Bima sudah menjadi lelaki muslim yang lengkap dan menjadi lebih sehat dengan membuang sebagian kulit itu.
seperti juga hidupmu nanti, akan ada pengorbanan-pengorbanan yang harus kita lakukan untuk menjadi lebih baik. Selamat sayang, sekarang kamu bukan anak laki-laki lagi, kamu adalah pemuda putra penerus Setyodihardjo.
Papa sayang Bima
Lelah jiwa dan raga, Bima tidak sanggup lagi duduk. Ia membaca surat berikutnya sambil berbaring.
Bima sayang,
Mama menulis ini bersama papa. Tadi kita sudah duduk bertiga dan diskusi berbagai hal serius yang mungkin sulit Bima pahami. Tidak apa-apa, nanti akan kita ulangi dan ulangi lagi. Di ulang tahun kamu yang kedua belas ini Bima sudah memasuki usia remaja, sudah harus mulai tahu hal-hal seputar kehidupan kita.
Selama ini mama tidak bisa memberikan adik untuk Bima karena ketika mama melahirkan kamu telah terjadi komplikasi, sehingga rahim mama harus dibuang. Demi menyelamatkan nyawa mama dan kamu. Mama sama sekali tidak menyesal malah bersyukur telah diberi kesempatan melahirkan dan merawat kamu.
Papa juga tadi bicara mengenai asuransi. Mama lihat Bima belum paham benar penjelasan papa. Asuransi itu pada prinsipnya sama saja dengan menabung. Hanya saja penggunaannya spesifik sesuai dengan apa yang diasuransikan. Misalnya saat Bima sakit demam berdarah, kan harus dirawat di RS. Nah yang membayari pengobatan Bima adalah hasil tabungan papa di asuransi kesehatan. Begitu juga untuk asuransi jiwa. Tabungan tersebut akan dikeluarkan kalau papa atau mama atau papa dan mama meninggal. Sehingga uangnya bisa digunakan untuk menyambung hidup. Supaya Bima tidak terlunta-lunta seperti mama dulu tinggal dipanti asuhan.
Papa dan mama harap Bima bisa hidup mandiri walau kami sudah meninggal. Memang tidak enak membicarakan tentang kematian sayang. Tapi kami harus mempersiapkan diri kamu sebagai anak tunggal. Kita tidak punya saudara, hanya ada keluarga Zaini sahabat papa. Tapi kita juga tidak boleh memberatkan mereka. Uang memang bukan segalanya sayang, tetapi uang dapat mempermudah dan memperlancar sebagian besar urusan.
Kalau nanti papa dan mama tidak ada lagi, keluarga Zaini harus kamu anggap sebagai keluargamu juga. Patuhi nasihatnya dan hormatilah mereka yang akan merawat kamu.
Bima, asuransi jiwa papa dan mama jumlahnya cukup besar. Sudah papa atur agar dimasukkan kedalam deposito yang tidak bisa dicairkan sebelum usiamu 21 tahun. Bukan papa tidak percaya Bima, tetapi butuh kematangan dan banyak pertimbangan dalam mengelola uang sebesar itu. Sementara ini cukuplah Bima hidup dengan bunga-nya saja. Jadilah anak yang mandiri dan tidak memberatkan keluarga Zaini atau orang lain. Jadilah anak yang berprestasi dan membanggakan orangtuamu sayang.
Bima,hanya sebatas inilah yang bisa papa dan mama usahakan untuk menjamin hidupmu sampai dewasa. Namun semuanya berpulang pada Allah. Papa dan mama doakan supaya Bima selalu dalam lindunganNya dan RidhoNya.
Papa dan mama sayang Bima
Kali ini pandangan Bima benar-benar sudah kabur. Begitu banyak emosi berkecamuk di dadanya, begitu banyak kelibatan pikiran membeliti kepalanya dan masih banyak lembaran surat yang belum dibacanya. Semuanya bisa menunggu, semuanya harus menunggu. Sejenak.
Karena saat ini Bima benar-benar perlu tidur, tidur lelap yang menyembuhkan dalam kenangan cinta kasih mama dan papanya.
+++++++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H