Mohon tunggu...
Astari Mayang Anggarani
Astari Mayang Anggarani Mohon Tunggu... lainnya -

Dokter umum dan administrator rumah sakit yang banting stir menjadi ideapreneur + foodie + storyteller penuh waktu dan konsultan rumah sakit paruh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tulilulit .....tulilulit....

10 Februari 2012   12:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan enggan, Reni membuka mata karena terganggu oleh bunyi yang familiar. Telepon genggam Rudi. Pasti dari konsulen atau rumah sakit deh, pikir Reni.

Sambil bangkit meraih ponsel tersebut di nakas ia melirik jam meja, hmmm pukul 2.30 pagi. Baru satu setengah jam yang lalu Rudi pulang. Dan dia baru saja terlelap tidur. Saking lelahnya ia tertidur lelap, tidak mendengar bunyi ponsel dekat telinganya.

Reni melihat layar ponsel, tertera nama adik kelas suaminya. Dengan perasaan bersalah ia menepuk-nepuk pipi Rudi dan menggoyang-goyangkan bahunya. "Pah…papah…ini Beno telepon" bisiknya pelan. Rudi tak bergeming, suara dengkurannya mengeras. Kasihan ia betul-betul kelelahan, Rudi hanya mendengkur kalau terlalu lelah. Dan akhir-akhir ini ia selalu mendengkur.

Dicobanya sekali lagi membangunkan Rudi. "Papah…papah…ini Beno telepon", kali ini suara Reni lebih keras. "Hah? Apa mah? ", Rudi gelagapan tiba-tiba terbangun. Wajahnya tampak terkejut dan matanya merah belum terfokus. Reni menyodorkan ponsel suaminya , "Ini Beno telepon".

"Oh iya…halo? Kenapa ben?", Reni mengamati Rudi mendengarkan laporan dari juniornya masih memejamkan mata. Dahi Rudi terlihat mengernyit mendengar setiap patah kata Beno. "Sudah berapa lama kecelakaannya?" suara Rudi terdengar makin fokus, kini ia sudah benar-benar bangun. "...Oke, GCS-nya sekarang berapa?...ada tanda lateralisasi nggak?...bisa lo kirim gambar CT Scannya ke ponsel gue sekarang Ben?".

Rudi baru tersadar kalau dari tadi Reni memperhatikannya. "Kenapa Mah?", tanyanya dengan heran setelah menutup telepon.  Dengan wajah kesal Reni protes, "Kenapa Beno telepon pah? Dia nggak tahu apa kalau kamu baru pulang? Padahal malam ini buka giliran kamu jaga!". Tersenyum menyabarkan Rudi merangkulnya,  "Ya dia memang harus lapor ke papa Mah. Setiap ada  pasien baru kan Chief Residen harus tahu."

Melihat Reni masih merengut Rudi mengecup keningnya, "Yang jaga ada si Asep, tapi masih ada operasi lain." "Sudahlah mama tidur lagi, mudah-mudahan yang ini nggak perlu operasi." "Papa lagi menunggu kiriman foto CT Scan-nya dari Beno."lanjut Rudi.

Dengan enggan Reni membaringkan diri lalu menutup kembali matanya. Ia memang sangat mengantuk, tetapi dalam hati ia mencemaskan suaminya. Belum lama rasanya Reni tertidur kembali, tubuhnya diguncang lembut. Sebelum terbangun pun ia sudah tahu bahwa Rudi harus pergi lagi karena ada operasi.

"Mah…mamah..papah harus keluar lagi. Pasien yang barusan harus dioperasi juga, Cito. Dan masih ada akan lagi yang akan datang, karena ada kecelakaan motor beruntun" Rudi menjelaskan tanpa diminta. Tanpa berkata apa-apa Reni hanya mengangguk dan memeluk Rudi. Kebiasaan yang tidakpernah lupa dilakukan setiap kali Rudi akan pergi, mereka selalu berpelukan.

Setelah Rudi berangkat, Reni melihat jam dinding ternyata baru pukul 3.30 pagi. Rudi sudah mandi sebelum berangkat tadi, supaya tidak perlu pulang lagi. Baju kotornya berserakan dikamar. Tak berdaya melawan kantuknya, Reni hanya mengangkat bahu dan kembali tertidur. Sebentar lagi sajalah ia membereskannya sebelum berangkat kerja. Sekarang ia betul-betul lelah fisik dan mental.

Tepat pukul 5 pagi wekernya berbunyi nyaring. Dengan enggan Reni bangkit dari tempat tidur dan membuat susu untuk Rangga. Ketika ia melihat kamar putranya, ternyata Rangga sudah bangun. Ia sedang memainkan kakinya sendiri sambil mengoceh khas batita.

"Halo sayang, selamat pagi jagoan!". Diciumnya kepala dan tengkuk Rangga yang lembut dan berbau bedak. Reni memberikan botol susu untuk dipegangnya sendiri. Selama Rangga menghabiskan susunya, ia bisa bersiap-siap.

Setiap pagi banyak yang harus dilakukannya. Mencuci pakaian kotor lalu menjemurnya, memasak bubur untuk makan Rangga nanti siang. Menyiapkan tas untuk semua keperluan Rangga. Menyiapkan baju untuknya sendiri. Mandi memandikan Rangga lalu berdandan.

Setelah semua beres, ia harus mengecek kunci-kunci rumahnya, melepas selang kompor gas dan mengunci pintu serta pagar. Reni kemudian berjalan kaki perlahan menuju halte bus Transjakarta terdekat, membeli karcis dan menunggu. Ia lebih suka berangkat lebih pagi, jam enam kurang agar bus-nya tidak terlalu penuh. Ia akan kesulitan untuk berdiri berjam-jam dalam bus sambil menggendong anak dan membawa tas.

Setelah transit dua kali Reni pun sampai di gedung perkantorannya. Kemudian ia memasukkan Rangga dalam ruang penitipan anak sambil membereskan segala keperluannya; menunjukkan mangkuk-mangkuk makanan dan botol susunya kepada pengasuhnya. Kini Reni sudah dalam lift menuju ke lantai 16 untuk memulai perannya sebagai wanita karir  hari ini.

Catatan:

Konsulen: Sebutan bagi dokter spesialis konsultan yang menjadi pengajar

GCS: Glasgow Coma Scale adalah derajat kesadaran manusia rentangnya 0-15

CT Scan: Computed Tomography Scan digunakan untuk menilai kerusakan/ kelainan pada anatomi tubuh manusia, misalnya kepala.

Chief Residen: Peserta pendidikan dokter spesialis tahap akhir yang diangkat sebagai pemimpin peserta didik lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun