Saya penggemar karya Andrea Hirata. Saya bahkan menganggap bahwa Tetralogi Laskar Pelangi adalah masterpiece beliau. Silahkan gugling sendiri bagaimana dahsyatnya kekuatan Laskar Pelangi membius negeri ini dan bahkan membuat si empunya dianugerahi penghargaan. Novelnya diterjemahkan ke berbagai bahasa. Rainbow Troops.
Polemik muncul saat ada seorang blogger kompasiana yang mengkritik tentang publisher yang diklaim oleh Andrea Hirata untuk menerbitkan novel internasionalnya. Dan muncullah konflik itu. Sang penulis kritik (blogger) digugat ke meja hijau atas tuduhan pencemaran nama baik. Saya terlambat mengikuti kasus ini. Tapi saya bersyukur saya tahu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan?
Novelis keren sekaliber Andrea memang butuh kritikan. Karyanya fenomenal. Ia bukan penulis yang malang melintang di dunia persastraan. Rekam jejak sebelum ia menelurkan karyanya tak ada. Ia hanya ekonom lulusan UI dan mengambil program master di Sorbonne melalui jalur beasiswa.
Saat ada satu saja celah keburukan yang terekspose, akan ada banyak setan yang berlomba lomba nimbrung. Novel laskar pelangi miliknya dikritisi habis habisan. Ada yang bilang, novelnya tak masuk akal. Tokoh Lintang tidak nyata (yang ini saya setuju). Katanya Andrea tak mengerti bagaimana cara membuat paragraf yang baik. Mereka bilang terlalu banyak hal hal berlebihan yang ditulis. Tak realistis. Novel Laskar Pelangi lebih mirip buku Biologi karena terlalu banyak nama nama latin tumbuhan di dalamnya. Ada juga yang membicarakan tentang testimoni buatan yang coba ia tuliskan di novel Edensor-nya.
Tak cukup sampai disitu, kehidupan pribadi Andrea Hirata pun tak luput dari perhatian. Banyak yang penasaran dengan sosok A Ling. Fakta bahwa ia adalah seorang duda tanpa anak menjadi bahan perbincangan. Mana sosok A Ling dalam kehidupan nyata?
Yang mungkin luput dari perhatian kita adalah mengenai kehidupan penulis. Saya pernah baca satu quotes yang nempel banget. "Don't judge me by my writing. What I write is my thought, not my life." Ini yang kadang tak dipahami oleh banyak orang.
Saya baru benar benar yakin bahwa sosok Lintang dan Arai adalah murni rekaan saat sudah berkuliah ini. Mereka adalah tokoh tokoh yang sengaja dihadirkan oleh Andrea Hirata. Mereka adalah alter ego Andrea hirata. Saya ingat saat ada salah satu media yang mewawancarai bu Muslimah asli, dan menanyakan kabar Lintang. "Saya gak tahu siapa yang dimaksud Ikal si Lintang ini. Setahu saya dulu yang paling pintar ya si Ikal ini."
Lintang adalah manifestasi sosok yang diidealkan oleh Ikal. Pintar, tapi bersahaja. Cerdas, tapi baik. Religius, dan tidak sombong. Semangatnya untuk belajar dengan menempuh puluhan kilometer dengan sepeda tuanya itu membuat saya menangis. Pada akhirnya, sosok Lintang dimatikan dengan sengaja oleh Andrea dengan kematian ayahnya. Andrea mungkin tak tahu lagi bagaimana menentukan nasib Lintang di novel selanjutnya.
Berlanjut ke kisah SMA Ikal, ia menghadirkan sosok Arai yang lagi-lagi merupakan jelmaan alter egonya. Yang luput dari perhatian, ia lupa memasukkan unsur rasionalitas dan mengaitkan serta memadupadankan kesinambungan cerita antara Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Tak heran banyak yang mengkritik.
Novel adalah karya seorang penulis. Jika dianalogikan, penulis novel ibarat sutradara suatu film. Tuhan bagi jalan cerita yang ia buat. Kita boleh mengkritik. Tapi Tuhan tetaplah Tuhan. Kalau tak suka dengan novel atau film, ya jangan dinikmati. Jangan dilihat. Jangan dibaca. Jangan dibeli. Kita lupa bahwa belum tentu saat kita disuruh melakukan apa yang dia lakukan, kita bisa melakukan yang lebih dari dia.
Kritik boleh. Bagus malah. Asal yang membangun. Kritik yang menjatuhkan, mencela, dengan kalimat yang menyakitkan, apalagi diucapkan di tempat umum, lebih pantas untuk dibuang ke lautan. Jauhi orang-orang yang sering berbuat seperti ini. Sangat berbahaya bagi kesehatan mental.