Pada suatu proses peradilan, mengungkap kejahatan menjadi prioritas para aparat penegak hukum. Membuktikan pelaku bersalah dan memastikan mereka mendapat hukuman yang setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan. Semua perhatian mata tertuju pada pelaku kejahatan atau pelanggaran.
Namun di sisi lain, ada pihak-pihak yang seharusnya mendapat perhatian lebih dalam suatu proses peradilan. Pihak yang dirugikan yaitu korban maupun pihak yang memberikan keterangan yaitu saksi. Baik korban maupun saksi sering dikesampingkan hak-hak-nya. Entah selama proses peradilan maupun sebelum proses peradilan.
Selama proses peradilan, korban dan saksi berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan keadilan yang seadil-adilnya. Meski seorang pelaku dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman atas putusan pengadilan, hal ini tak lantas mengubah yang telah terjadi pada korban. Korban, secara material maupun non material, sudah dirugikan dan harus menanggung penderitaan.Â
Bahkan dalam beberapa kasus misal pelecehan seksual, korban akan mengalami trauma seumur hidup yang tak akan sembuh meski pelaku sudah mendapatkan hukuman. Lalu bagaimana dengan pelaku pembunuhan? Korban tidak akan kembali hidup dengan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku. Keluarga korban pun ikut menjadi korban. Hal semacam ini terkadang kurang diperhatikan apalagi setelah proses peradilan selesai dan kasus ditutup.
Lebih miris jika dibandingkan dengan sebelum proses peradilan. Baik korban maupun saksi, jika mereka tidak melaporkan kejahatan yang mereka alami atau ketahui maka tidak akan pernah ada tindak pidana yang akan dibawa ke pengadilan. Hal ini dapat disebabkan oleh ketakutan yang dialami dan ancaman yang diterima oleh korban dan saksi. Sebagai contoh adalah kasus kekerasan rumah tangga. Seorang suami melakukan penganiayaan pada istrinya.Â
Namun istrinya tidak berani melapor karena takut kehilangan pencari nafkah dalam keluarga dan ayah bagi anak-anaknya. Sedangkan tetangga yang mengetahui kekerasan itu juga tak berani melapor karena mendapat ancaman dari pelaku. Tidak ada laporan berarti tidak ada pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Maka pelaku bisa berkeliaran bebas dengan memberi ancaman dan ketakutan berkepanjangan pada korban maupun saksi.
Oleh sebab itu, dibutuhkan jaminan perlindungan dan terpenuhinya hak-hak para korban dan saksi. Gagasan akan adanya undang-undang yang mengatur perlindungan korban dan saksi muncul dari kelompok masyarakat yang berpendapat bahwa sangat penting perlindungan bagi saksi dan korban yang kurang diperhatikan aparat penegak hukum.Â
Rancangan undang-undang perlindungan saksi dan korban pun diajukan. Setelah mengalami proses panjang barulah pada Agustus 2006 rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh presiden menjadi undang-undang perlindungan saksi dan korban.
Pada 8 Agustus 2008 dibentuk LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK adalah lembaga mandiri namun bertanggung jawab pada presiden. Lembaga ini bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak para saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan.Â
Adapun perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, dan pemenuhan hak prosedural saksi. Dengan tugas LPSK tersebut, saksi dan korban dapat memperoleh pengawalan dan keamanan pribadi maupun keluarga, informasi perkembangan kasus, pendampingan dan nasehat hukum, bantuan rehabilitasi, jaminan kerahasiaan identitas, dsb.
Hingga saat ini, LPSK telah bekerja melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam memberikan perlindungan pada para saksi dan korban dalam berbagai kasus hukum. Diharapkan untuk ke depannya lembaga ini dapat lebih optimal dalam menjalankan peranannya, baik selama proses peradilan berlangsung maupun sebelum proses peradilan.Â