Mohon tunggu...
Maya Bella
Maya Bella Mohon Tunggu... -

An English Literature student, still finding her passion in writing. Any (polite) comments, critics and suggestions are welcome.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Becak Scammer: Potret Pariwisata Kita

17 Oktober 2015   23:25 Diperbarui: 13 April 2016   11:10 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto ini hanya sebagai ilustrasi | Foto: Yustinus Slamet - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saat berlibur ke salah satu tempat wisata populer di Yogyakarta beberapa pekan lalu. Saya akui bahwa seharusnya saya mengumpulkan informasi dari berbagai sumber agar lebih waspada terhadap segala kejadian yang tidak diharapkan. Ceritanya, tanggal 24 September 2015 tepat pada hari raya Idul Adha, saya bersama saudara berencana untuk menghabiskan satu hari libur ke tempat wisata yang belum pernah kami kunjungi. Kami memutuskan untuk mengunjungi Keraton Kesultanan Yogyakarta yang masih berada di area yang sama dengan Alun-Alun Utara dan Masjid Gedhe Kauman. Kami tiba sekitar pukul 13:15 siang dengan cuaca saat itu cukup terik. Kami memarkir motor di parkiran dan seorang tukang becak menawarkan jasanya yang dapat mengantarkan kami ke beberapa tempat sekaligus seperti melihat proses pembuatan bakpia (panganan khas Jogja yang sering dijadikan buah tangan oleh para wisatawan), melihat proses pembuatan batik dan terakhir mengunjungi galeri lukisan yang lokasinya tak jauh dari gerbang utama keraton.

Awalnya saya tidak tertarik dengan promosi tersebut namun karena tawaran Rp.10.000 yang serasa menggoda kami pun mengiyakan dan sepakat dengan harga yang ditawarkan tanpa tawar-menawar. Berkeliling dengan becak mengitari Alun-Alun Utara yang menurut saya pribadi tidak sekomersil Alun-Alun Selatan (Kidul) tetap mengasyikkan. Mungkin karena di tempat tinggal saya dulu, saya tidak bisa menemukan becak yang beroperasi. Transportasi umum yang dapat dijumpai meliputi bemo, bus Trans Sarbagita, ojek dan yang kekinian adalah Gojek.

Kembali ke cerita, kami sampai di satu tempat oleh-oleh khas Jogja. Dari sini sebenarnya saya mulai curiga karena kami tidak diarahkan untuk melihat proses pembuatan bakpia seperti yang dijelaskan 'abang' tukang becak sebelumnya. Sang pemilik toko oleh-oleh khas Jogja justru terlihat getol mempromosikan pangananannya daripada mempersilahkan kami dan pengunjung lain melihat proses pembuatan bakpia secara langsung. Di lain sisi ada satu pegawai toko yang bersikap kurang ramah pada saya saat itu. Saya menanyakan apakah ada bakpia rasa keju yang masih hangat namun saya menerima jawaban yang ketus dengan nada bicara sedikit tinggi. Cukup tertegun dengan respon pegawai tersebut mengingat ia merupakanfrontliner yang seharusnya memberikan first impression yang baik kepada konsumennya. Agak malas berlama-lama saya memutuskan membeli satu kotak bakpia seharga Rp.30.000. Setelah membayar kami menuju becak dan diantarkan ke tempat kedua yakni sebuah toko baju yang "katanya" merupakan distributor merek baju terkenal di Jogja. Pegawai toko mengatakan bahwa semua barang yang dijual original dari merek terkenal tersebut (mungkin Anda sudah tahu merek apa yang saya maksudkan).

Saya sama sekali tidak percaya dengan kata "original" yang disematkan karena saya melihat secara langsung kondisi fisik dari barang-barang yang diperdagangkan. Tak nampak di mata saya semuanya asli dari pabrik. Karena tidak tertarik membeli kami memutuskan keluar dari toko dan beralih ke tempat selanjutnya. Tempat terakhir yang kami kunjungi dengan becak adalah sebuah galeri lukisan yang berlokasi di gang sempit. Kami masuk dan disambut oleh dua staf galeri yang menjelaskan semua lukisan dilukis oleh anak-anak abdi dalem dan hasil penjualan akan disumbangkan kepada anak-anak abdi dalem yang kurang mampu.

Jujur galeri lukisan yang tak saya ketahui namanya adalah kunjungan yang sedikit lebih baik dari kunjungan kami sebelumnya. Meski sedikit lebih baik tapi sekali lagi kami menerima perlakuan sedikit kurang menyenangkan. Masih terngiang-ngiang di telinga saya, seorang staf wanita mengatakan "jika tidak ingin membeli, becaknya sedang menunggu di luar (sambil menunjukkan arah pintu keluar)". Kami tahu ia mengusir secara halus, kami terima itu. Yang membuat kecewa adalah kami seperti tidak diberi kesempatan mengetahui konteks atau makna dari beberapa lukisan yang dipajang. Fokus utama pegawai hanya menginformasikan harga lukisan jika tertarik membeli dan hasil penjualan yang akan disumbangkan. Sadar diri kami diusir secara halus, kami keluar menghampiri bapak untuk membayar jasanya yang telah mengantar kami berkeliling.

Saat membayar saya sempat bertanya apakah keraton masih buka dan buka sampai jam berapa. Si bapak menjawab "tutupnya tidak mesti setiap hari dan sekarang masih buka". Percaya dengan apa yang dikatakan si bapak berkepala sedikit plontos, kami buktikan dengan masuk ke gerbang keraton dan apa yang terjadi?, seorang petugas resmi keraton mengatakan bahwa keraton sudah tutup sejak jam 12 siang tadi. Jadi 1 jam sebelum kami datang keraton sudah ditutup. Kami tiba di keraton dari berkeliling dengan becak sekitar jam 14:10. Disitu kami langsung bingung apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Dari mimik atau ekspresi wajah petugas resmi keraton itu, saya melihat beliau sepertinya sudah tahu bahwa kami sudah masuk jebakan tukang becak abal-abal. Alhasil kami memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencicipi bakpia yang saya beli di toko oleh-oleh khas Jogja (saya lupa apa nama tokonya). Petugas tersebut menanyakan asal kami dan menjelaskan bahwa pada hari biasa keraton buka dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Berhubung perayaan hari raya Idul Adha maka keraton ditutup untuk umum pada jam 12 siang. Hari itu yang mulanya kami sambut dengan antusias seketika berubah murung setelah becak scammer berhasil membodohi kami. 

Dari cerita diatas, saya ingin menambahkan beberapa hal yang menjadi perhatian saya. Oknum-oknum pelaku wisata yang tidak bertanggung jawab tersebar di beberapa tempat wisata populer di dunia. Khusus di Indonesia perilaku yang seperti ini menurut saya sudah sepatutnya dihilangkan. Ini dapat mempengaruhi citra pariwisata Indonesia yang dikhawatirkan akan berdampak kurang baik secara keseluruhan (tempat wisata dan pegiat pariwisata). Tidak hanya dilihat dari masalah tipu-menipu, perilaku untuk menjaga tempat wisata agar tetap bersih dan bebas dari segala coretan serta perkakas yang berserakan juga perlu ditingkatkan.

Saat saya berkunjung ke salah satu tempat wisata ikonik di Jogja, Taman Sari saya sempat melihat ada gerobak sampah berwarna kuning lengkap dengan sampah dedaunan dan dibawahnya botol-botol air mineral kemasan berukuran sedang tergeletak di area pertama setelah pintu masuk. Saya tidak tahu apakah gerobak sampah itu memang dibiarkan terpampang disitu atau saya hanya sedang apes bertemu benda seperti itu di cagar budaya. Sangat disayangkan bila tempat bersejarah yang memang seharusnya lebih terawat justru terkesan diabaikan perawatannya. Pekerjaan yang kalau dilihat sepele namun bila diabaikan dapat memunculkan masalah-masalah kelestarian dan nilai estetika suatu tempat wisata.

Di artikel ini saya tidak ingin menuntut ini itu atau menggurui harus a,b,c dan seterusunya. Saya hanya mengutarakan opini dan berbagi pengalaman agar para pembaca yang sempat membaca tulisan ini tidak bernasib sama seperti yang saya alami 23 hari yang lalu. Cari informasi sebanyak-banyaknya tempat wisata yang akan dikunjungi. Terkadang tempat wisata yang dilihat dari media-media online atau jejaring sosial tidak selalu tampak sama dengan kenyataannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun