Saat ini sudah jam tujuh malam. Satu jam lagi sebelum perpustakaan ini tutup dan semua orang harus segera pergi. Dewi terus mematuk-matukan jari telunjuknya yang mungil ke jam digital di tangan kirinya. Ia sedang menunggu seseorang.
Ditatapnya beberapa kali lorong koridor yang kosong dengan gelisah. Kakinya gemetar, ia menggenggam tangannya yang tremor dengan kuat. Berharap tidak ada orang yang menyadari betapa gugupnya ia saat itu.
Udara dingin dari luar jendela membuat uap air mengembun di dekatnya. Orang-orang di jalanan terlihat menghindar dari hujan gerimis yang mulai rapat. Sebentar lagi jadwal keretanya juga akan segera berangkat, tapi ia enggan beranjak karena sedang menunggu seseorang.
"Kemana pria itu? Apa ia tidak jadi datang?" gerutunya. Dewi melihat ke jam dinding sekali lagi saat seseorang mengenakan kaos ungu bertuliskan "Aksara Diana" mendekat. Sebuah komunitas menulis dongeng anak yang tadi sore menjadi event organizer di peluncuran novel terbarunya.
"Maaf mba, acara sepertinya sudah selesai. Apa mbak mau langsung kami antar ke stasiun atau masih menunggu teman?" ucap panitia itu ramah.
"Oh, enggak usah dianter. Saya masih mau nunggu temen," jawab Dewi.
"Baik, mbak. Oh iya, kebetulan mbak masih disini, mbak bersedia gak kalau ada yang mau minta tanda tangan buku mbak sekali lagi? Tadi dia bilang ke saya, dia kenal sama mbak Dewi."
"Kenal sama saya?" kening Dewi berkerut.
"Iya, mbak. Katanya dia teman mbak Dewi waktu kuliah."
Dada Dewi langsung bergemuruh. Firasatnya mengatakan itu pasti Tio. Seseorang yang memang sudah dia tunggu dari tadi.