Beberapa pembicaraan yang tidak kamu mengerti, berbagai rencana pergi yang terlontar di depan wajahmu sementara kamu tidak ada dalam bagian rencana itu, kamu hanya bisa memejamkan mata dan mengatur napas. Tarik. Hembuskan. Rasa terpinggirkan, menjadi bukan bagian dari suatu hal adalah rasa yang tidak mau dia coba sekalipun satu kali dalam hidup, yang sialnya kali ini kamu terpaksa menerima fakta kalau sedang dalam posisi itu. Jahat sekali, tidakkah mereka tahu rasa pedihnya ikut serta tetapi tidak dilibatkan?
Sudah beberapa kali dalam seminggu, kamu terus meyakinkan diri bahwa kamu akan baik-baik saja. Setiap harinya, kamu terus mengatakan hal yang serupa. Semangat semu, harapan kosong, tidakkah keadaan ini cepat berubah? Tidak adakah yang mau mendengar berisik dalam kepala? Kamu menghela napas sekali lagi, berkali-kali pada pagi ini kamu terus mengatakan, "May, kamu akan melewati semua ini. Kamu bisa atasi ini sendiri. Kamu bisa. Kamu bisa!" Dua kalimat terakhir terus kamu rapalkan dalam hati, seperti mantra kamu berharap ini akan sedikit membantu dan memengaruhimu.
Lagu yang teralun dalam ponsel terus memutar ulang lagu yang sama. Lirik lagu yang terus menyenandungkan untaian kalimat membentuk penggalan cerita menyanyikan keadaan seperti keadaanmu. Kamu menyukai lagu yang seperti itu. Manusia terkadang selalu mencari suatu kesamaan.Â
Dengan kesamaan itu, mereka merasa tidak sendiri. Entah bagaimana caranya sesuatu yang sama membuat segala sesuatu lebih baik padahal kemungkinan pada kenyataannya kesamaan itu tidak berbuat apa-apa. Manusia selalu merasa lebih baik jika dia tidak sendiri, merasa sedikitnya lebih baik jika ada orang yang seperti mereka. Ada seseorang lain yang berjalan di atas jalan yang sama seperti jalan yang juga mereka lalui.
Kesendirian membawa kesedihan, bagi beberapa orang mungkin juga tidak tapi bagi kamu kesendirian adalah malapetaka. Untuk beberapa keramaian yang menyebalkan hingga menguras energimu, itu masih lebih baik dibanding dengan kesendirian karena tidak ada yang mau mendengarkan. Setidaknya kamu merasa kamu butuh bahu untuk menangis atau lengan untuk memeluk erat. Ada begitu sekian cerita yang kamu ingin ceritakan. Tapi lagi-lagi, kamu selalu merasa sendiri. Di manakah menemukan orang yang mau mendengarkan?
Kamu mengedarkan pandangan, entah apa yang kamu cari tapi kamu ragu untuk melihat lebih banyak. Di tempat yang serba asing nan baru ini, kamu merasa kecil. Was-was seolah ada begitu banyak monster yang bersiap melahapmu jika saja kamu lengah. Lagi-lagi kamu merasa sendiri di tengah keramaian ini. Salah seorang dari mereka tergelak, menularkan tawa kepada yang lain. Kepada kerumunan yang berisik dan terlihat menyenangkan, kamu juga ingin ikut di dalamnya.Â
Tapi tidak bisa. Kamu kesulitan untuk berteman. Dan baru beberapa waktu kemudian kamu baru menyadari harus melakukan perubahan, sebelum itu kamu terus hidup dalam kesendirian itu sampai merasa bosan didalamnya. Andai kata kamu melakukannya lebih awal, kamu tidak akan merasa sekosong itu. Menciptakan trauma baru, kamu menemukan ketakutan baru. Tapi kemudian masa ini akan berakhir kemudian hari, hari setelah kamu menghabiskan satu malam penuh berpikir berlebihan dan menangis semalaman.
Kamu kini selalu mendengarkan karena kamu tahu bagaimana pedihnya tidak ada orang yang bersedia membuka telinga dan mendengarkan. Kamu tahu benar rasa itu. Kamu selalu berusaha untuk membuat orang lain tidak merasa sendiri, karena kamu tahu betul rasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H