Mohon tunggu...
Maya Lestari
Maya Lestari Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Manusia penuh pertanyaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selembar Kertas Bernilai

27 November 2022   17:50 Diperbarui: 27 November 2022   17:55 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjaga aku setiap malam, kepada lembaran kertas berisi aksara dan angka-angka yang membuat kepalaku berdenyut nyeri, aku masih saja merepotkan diri dengan semua hal itu. Suara gaduh diatas plafon rumah tak juga mengganggu dan menyudahi kesibukanku. 

Entah apakah itu suara tikus yang sedang bermain kejar-kejaran atau mungkin ulah hantu usil yang kata Ibu kerap datang mengganggu manusia. 

Sebenarnya aku tak memercayai pernyataan yang kedua, namun kali ini tak kupedulikan. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan sesuatu yang hanya kuanggap takhayul semata.

Meski tak ayal suara itu semakin riuh bergemuruh namun aku tetap tak menaruh peduli, fokusku tak bisa terbagi. Kuanggap semua halnya adalah distraksi kecil yang tak berarti. Apa yang kukerjakan didepanku memerlukan perhatian lebih, aku tidak boleh gagal lagi kali ini. 

Nilai ujian dikemudian hari tidak akan sama lagi dengan apa yang kudapat tempo hari lalu. Aku menepuk kedua pipiku pelan, memberikan semacam semangat kecil agar aku tetap terjaga meski jarum jam pendek memperlihatkan angka satu. Ini sudah pagi, mataku terasa berat  meski telah menghabiskan dua gelas kafein yang baru beberapa menit yang lalu kuteguk.

Disaat yang seperti ini pikiranku mengawang jauh terbayang pada ucapan Bapak waktu itu. Hatiku sedikit berdenyut nyeri kala mengingatnya, namun setidaknya bersyukurlah untuk diriku sendiri karena berkat ini aku tetap terjaga.

Kata Bapak, sia-sia saja berusaha menjadi pintar kalau tidak menurut apa kata orang tua. Yang dimaksudkan adalah, menurut semua apa yang dikatakan oleh Bapak. Karena bahkan Ibu jua tidak memiliki suara dirumah ini. Semua halnya keputusan dipegang Bapak, tidak boleh ada yang menentang. Meski perkataan bodoh yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal. Tidak ada bantahan untuk menentang hal itu, dan aku membencinya.

Menjadi perempuan pintar tidaklah sama berharganya, karena pada akhirnya perempuan kodratnya akan selalu berurusan dengan dapur, menurut apa yang dititahkan suami. Suatu bentuk pembangkangan bila kamu berkata didepan wajah Bapak perempuan juga bisa melakukan apa yang dilakukan oleh pria. Itu kata Bapak.

Tak kupedulikan. Sama seperti suara gaduh yang kini tidak lagi bersuara, aku tak memedulikan suara berisik yang menghalangi apa yang menjadi tujuanku. Jalanku yang berlari adalah aku, yang merasakan lelahnya adalah diriku sendiri. Meski adalah bapakku, dia bukanlah orang yang memegang kendali atas kehidupan yang aku miliki. 

Ketika Bapak mencerca aku untuk bersikap layaknya perempuan, merawat diri dan berdandan manis, menguasai dapur adalah kewajiban--sebab jika tidak begitu tidak akan ada lelaki yang mau meminang--Jangan kau pedulikan ilmu dan pendidikan dengan segala tetek bengeknya, perempuan kodratnya dibawah laki-laki. Aku selalu menghindarinya, berusaha tidak mendengarkan. Aku selalu merasa kesal ketika Bapak mengatakannya. Aku tidak lagi ingin mendengarkan kata-kata yang terlontar dari mulut Bapak.

Saat Bapak mulai berbicara mengenai hal demikian, aku hanya dapat bertanya-tanya dalam hati. Apakah benar hanya sebesar itu harga atas diriku? Semua yang aku usahakan dianggap percuma. Apakah salah terlahir sebagai seorang perempuan dan menginginkan hak seperti yang didapatkan adik laki-lakiku? Jika saja boleh memilih, enak sekali jika aku menjadi anak laki-laki. Kata seandainya selalu menghias indah pada ruang dalam pikiranku, dan terus saja menetap tanpa mau pergi melepaskan diri.

Namun meski begitu, tak kubiarkan seseorang atau apapun merebut dan menghancurkan ambisiku. Meski itu adalah isi dari pikiranku sendiri, kubuang jauh-jauh kata seandainya itu. Kemustahilan tak perlu diratapi, ulangku pada diriku sendiri. Tugas yang dapat kau emban adalah mewujudkan harapan yang kau buat dan tidak menyerah dengan itu. Aku tidak pernah mengatakan aku menyesal telah dilahirkan sebagai perempuan.

Aku akan mencari arti hidupku, berpetualang dan menjalani hidup dengan sebodoh-bodohnya. Aku memegang peranan penting dalam perjalanan panjang yang aku punya, dan berhak merasakan kegagalan dan keberhasilan yang mungkin akan terjadi pada suatu yang mendatang meski aku ini perempuan. Kuulangi, meski aku perempuan.

Meski nanti yang akan aku temui adalah kegagalan, biarkan saja itu terjadi tak masalah. Aku tidaklah menginginkan setiap lembar yang Tuhan berikan dalam buku perjalanan kisah hidupku, dibatasi oleh belenggu-belenggu itu. Biarkan hal itu menerjang, aku akan bersiap menghadapinya meski itu tidaklah mudah.

Biarpun tak kuinginkan, mataku tak bisa untuk tidak terpejam. Kantuk ku datang tanpa bisa dicegah. Aku tertidur dengan bersandarkan buku. Terbang jauh menembus alam mimpi, aku harap semuanya baik-baik saja pada keesokan hari, meski aku tahu benar kekhawatiran masih bersarang dalam benak hatiku.

Pada hari yang aku tunggu, aku melaksanakan ujian dengan berdebar, takut-takut kalau yang aku pelajari tidak sesuai. Sebagian dari soal telah aku kerjakan, kulihat sekeliling tidak hanya aku yang merasakan situasi sulit ini. Aku ingin menangis, apa memang benar sia-sia saja? Aku tidak bisa mengerjakan soal terakhir, meski aku sudah berkali-kali mengerjakan bentuk soal yang sama seperti ini malam kemarin. Aku tetap tidak bisa menemukan jawaban yang sesuai.

Hingga kemudian saat ketika waktu kertas hasil ujian telah dibagikan, jantungku berdegup tak karuan. Hatiku mencelos begitu saja ketika melihat sebuah angka disana. Angka sembilan, nyaris sempurna. Namun tak menghentikan niatku untuk memekik girang. Akhirnya! 

Aku tidak pernah sekalipun mendapat nilai matematika sebagus ini, tidak juga teman sekelasku. Ucapan Ibu guru matematika selanjutnya membuatku semakin dalam euforia, ada kesalahan soal pada nomor soal terakhir. Semua anak mendapatkan nilai tambahan, dan aku meraih nilai sempurna itu.

Masih ada harapan, aku memiliki kesempatan. Aku akan maju dalam perlombaaan matematika. Membawa harapan yang telah bersarang, perjalanan membawa cita baru saja dimulai. Akan aku tunjukkan pada Bapak, kalau anak perempuannya ini bisa jua menenteng kebanggaan untuk dirinya sendiri dan untuk Bapak. Aku akan membawa kemenangan itu dan bapak harus melihatnya. Bahwa perempuan juga memiliki kehormatannya sendiri, berhak memilih keputusan dan jalan hidupnya sendiri.

Jakarta, 31 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun