Terjaga aku setiap malam, kepada lembaran kertas berisi aksara dan angka-angka yang membuat kepalaku berdenyut nyeri, aku masih saja merepotkan diri dengan semua hal itu. Suara gaduh diatas plafon rumah tak juga mengganggu dan menyudahi kesibukanku.Â
Entah apakah itu suara tikus yang sedang bermain kejar-kejaran atau mungkin ulah hantu usil yang kata Ibu kerap datang mengganggu manusia.Â
Sebenarnya aku tak memercayai pernyataan yang kedua, namun kali ini tak kupedulikan. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan sesuatu yang hanya kuanggap takhayul semata.
Meski tak ayal suara itu semakin riuh bergemuruh namun aku tetap tak menaruh peduli, fokusku tak bisa terbagi. Kuanggap semua halnya adalah distraksi kecil yang tak berarti. Apa yang kukerjakan didepanku memerlukan perhatian lebih, aku tidak boleh gagal lagi kali ini.Â
Nilai ujian dikemudian hari tidak akan sama lagi dengan apa yang kudapat tempo hari lalu. Aku menepuk kedua pipiku pelan, memberikan semacam semangat kecil agar aku tetap terjaga meski jarum jam pendek memperlihatkan angka satu. Ini sudah pagi, mataku terasa berat  meski telah menghabiskan dua gelas kafein yang baru beberapa menit yang lalu kuteguk.
Disaat yang seperti ini pikiranku mengawang jauh terbayang pada ucapan Bapak waktu itu. Hatiku sedikit berdenyut nyeri kala mengingatnya, namun setidaknya bersyukurlah untuk diriku sendiri karena berkat ini aku tetap terjaga.
Kata Bapak, sia-sia saja berusaha menjadi pintar kalau tidak menurut apa kata orang tua. Yang dimaksudkan adalah, menurut semua apa yang dikatakan oleh Bapak. Karena bahkan Ibu jua tidak memiliki suara dirumah ini. Semua halnya keputusan dipegang Bapak, tidak boleh ada yang menentang. Meski perkataan bodoh yang keluar dari mulutnya adalah sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal. Tidak ada bantahan untuk menentang hal itu, dan aku membencinya.
Menjadi perempuan pintar tidaklah sama berharganya, karena pada akhirnya perempuan kodratnya akan selalu berurusan dengan dapur, menurut apa yang dititahkan suami. Suatu bentuk pembangkangan bila kamu berkata didepan wajah Bapak perempuan juga bisa melakukan apa yang dilakukan oleh pria. Itu kata Bapak.
Tak kupedulikan. Sama seperti suara gaduh yang kini tidak lagi bersuara, aku tak memedulikan suara berisik yang menghalangi apa yang menjadi tujuanku. Jalanku yang berlari adalah aku, yang merasakan lelahnya adalah diriku sendiri. Meski adalah bapakku, dia bukanlah orang yang memegang kendali atas kehidupan yang aku miliki.Â
Ketika Bapak mencerca aku untuk bersikap layaknya perempuan, merawat diri dan berdandan manis, menguasai dapur adalah kewajiban--sebab jika tidak begitu tidak akan ada lelaki yang mau meminang--Jangan kau pedulikan ilmu dan pendidikan dengan segala tetek bengeknya, perempuan kodratnya dibawah laki-laki. Aku selalu menghindarinya, berusaha tidak mendengarkan. Aku selalu merasa kesal ketika Bapak mengatakannya. Aku tidak lagi ingin mendengarkan kata-kata yang terlontar dari mulut Bapak.
Saat Bapak mulai berbicara mengenai hal demikian, aku hanya dapat bertanya-tanya dalam hati. Apakah benar hanya sebesar itu harga atas diriku? Semua yang aku usahakan dianggap percuma. Apakah salah terlahir sebagai seorang perempuan dan menginginkan hak seperti yang didapatkan adik laki-lakiku? Jika saja boleh memilih, enak sekali jika aku menjadi anak laki-laki. Kata seandainya selalu menghias indah pada ruang dalam pikiranku, dan terus saja menetap tanpa mau pergi melepaskan diri.