Selain faktor harga yang lebih murah dan kondisi bahan pangan tampil apa adanya (tanpa penyegar buatan), saya senang berbelanja di pasar rakyat karena bisa mengurangi jumlah plastik sebanyak yang saya inginkan. Hal itu sangat membantu  mengurangi sampah  di rumah, dan sebenarnya juga akan mengurangi volume penumpukan di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) jika dilakukan secara kolektif oleh seluruh penghuni kompleks perumahan.
Hal yang sama agak sulit saya terapkan jika berbelanja di supermarket. Seringkali saya  merasa "terpenjara" saat berada di lorong sayur, ikan, atau buah. Tak ada pilihan lain. Hampir semua bahan makanan berbungkus bahan non organik atau minimal bertali plastik untuk melekatkan stiker barcode. Bahkan tak cukup hanya plastik, kemasan juga divariasikan dengan styrofoam yang konon justru lebih beracun daripada plastik jika mencemari tanah. Sementara di pasar rakyat, ada selaksa kebebasan untuk memilih belanja dengan seminimal mungkin jumlah plastik, dari mulai tali pengikat sayuran, kantong belanja, hingga pembungkus bumbu dan ikan.
Satu untuk Semua
Campurkan semua ke dalam  keranjang. Itulah motto yang saya pegang dan saya sampaikan kepada pedagang di pasar saat berbelanja. Awalnya, beberapa pedagang memang  ragu jika saya meminta agar barang tidak disampuli kresek atau plastik bening. Terutama sayuran jenis cabai, bawang, atau buah-buahan berukuran kecil seperti duku atau salak, memang tidak lazim dicampurkan menjadi satu dalam satu kantong. Saya harus meyakinkan mereka lebih dari sekali bahwa hal itu betul-betul serius dan bukan sekadar basa-basi: saya hanya ingin mengurangi sampah.
[caption id="attachment_383219" align="aligncenter" width="300" caption="Pedagang langganan saya memasukkan belanjaan langsung ke dalam keranjang"][/caption]
Setelah kebiasaan itu berlangsung cukup lama, saya temukan beberapa pedagang mulai sangat kooperatif terhadap permintaan "TANPA PLASTIK". Satu pedagang sayur, 2 pedagang ikan laut, satu pedagang ikan darat, satu pedagang bumbu, Â 3 pedagang buah, dan satu pedagang daging sapi.
Karena terjadi pembelian berulang dengan cara yang sama, para pedagang itu akhirnya menjadi terbiasa saat saya berbelanja di kios mereka. Beberapa di antara mereka reflek meminta saya menyerahkan keranjang atau kantong belanja saya, dan memasukkan semua belanjaan tanpa "sampul" plastik terlebih dulu. Cabai, mentimun, wortel, bawang, tomat, bercampur jadi satu. Hanya bahan makanan basah yang masih diberi bungkus plastik. Memang  dengan cara itu akan membuat kita harus memilah lagi di rumah, namun terbukti, hal itu bisa diselesaikan tak lebih dari 5 menit.
Khusus untuk ikan dan daging, atau bahkan kelapa parut dan tahu, saya selalu berusaha membawa wadah bertutup dalam kantong belanja. Setelah ikan dibersihkan atau daging dan kelapa ditimbang, pedagang langganan saya yang murah senyum akan meminta wadah itu. Setibanya di rumah, saya bisa langsung mencuci ikan atau daging tanpa harus memiliki plastik berbau amis yang harus dibuang ke tempat sampah.
Efek Viral
Pengaruh dari kebiasaan konsumen yang menolak plastik saya kira tidak bisa diremehkan. Para pedagang langganan saya, misalnya, Â lama kelamaan mulai senang mendiskusikan pengurangan plastik. Bisa jadi, hal itu tidak hanya dilakukan di depan saya namun juga saat menjumpai konsumen lainnya. Setidaknya, saya berharap ada sebuah paradigma baru yang terbangun di benak para pedagang, bahwa ketika mereka ikut mengampanyekan pengurangan plastik, tidak berarti bahwa mereka telah mendzalimi konsumen karena mengurangi "jatah" plastik. Mereka justru ikut menjadi agen perubah yang menginspirasi orang untuk berbudaya ramah lingkungan.
Persoalan sampah di mana-mana saat ini masih saja klise, dan semuanya terkait dengan melimpahnya limbah plastik. Penggunaan plastik pembungkus memang telah sangat berlebihan. Setiap kali berbelanja, orang terjebak pada semacam keharusan memakai plastik, padahal setibanya di rumah, hanya dalam hitungan menit, plastik itu sudah bersarang di tempat sampah.