Mendikbud, Bapak Muhadjir Effendy, memunculkan wacana untuk memperpanjang jam belajar anak di sekolah menjadi sehari penuh alias "full day". Alasan beliau, seperti dikutip dari tautan berita di kompas.com hari ini,  agar anak didik  terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang kerja.  Setidaknya bagi saya, kembali muncul pertanyaan, apakah ide tersebut merupakan solusi terbaik untuk mengatasi masalah perilaku dan karakter? Meskipun beberapa sekolah, terutama sekolah swasta, sudah banyak yang menerapkan  jam belajar "full day", bukan berarti dalam praktiknya bebas dari masalah.
Melihat dari Sisi Anak
Pendidikan dalam kaca mata saya, diselenggarakan agar anak-anak terdampingi dalam menempuh proses kemandiriannya di berbagai segi. Jika indikator keberhasilan yang diinginkan adalah kemandirian, maka anak-anak bukan hanya perlu ruang inkubasi dimana mereka dikondisikan atau disetel untuk belajar, namun juga diberi ruang bernapas untuk menghadirkan identitas dirinya.Â
Padatnya jumlah mata pelajaran yang kini wajib dipelajari anak di sekolah sudah cukup membuat otak mereka dipaksa menerima banyak informasi, namun sedikit waktu untuk mengembangkan potensi diri.  Jika jam belajar dibuat semakin panjang, namun isinya lebih pada penambahan bahan informatif , saya bayangkan, betapa  lelahnya otak mereka. Dampak lain yang mungkin terjadi, terbentuklah satu karakter baru, yaitu belajar  tidak lagi datang dari keinginannya sendiri, melainkan harus dipaksa, sebagaimana sekian tahun mereka dibentuk demikian di sekolah.
Ibarat menanam tanaman: semalas apapun para petani, ia harus mau menyempatkan waktu untuk melakukan penggemburan tanah agar tanaman tumbuh baik. Jika konsep full day tetap dijalankan, kurikulum untuk mengisinya sangat perlu dipikirkan dengan matang. Buatlah pilihan aktivitas yang membuat anak merasa minatnya terwakili, sehingga otak bisa bernafas, dan bukan  hal-hal yang membuat  pikiran anak menjadi semakin lelah, sehingga mereka  memiliki alasan untuk melakukan "pemberontakan" dalam bentuk lain di luar pengetahuan kita.
Melihat dari Sisi Guru
Jika sekolah dilangsungkan sehari penuh, dan guru menjadi pendamping utama murid, sehingga guru secara tidak langsung menjadi pengganti orang tua? Berarti bapak ibu guru pun "terpaksa" harus merelakan anak-anaknya menjalani hal yang sama bersama orang lain. Sungguh sebuah pertukaran peran yang berisiko. Karena tetap saja, hubungan yang dekat antara anak dan orang tua jauh lebih memberi dampak pada kesehatan mental anak dan orang tua dibandingkan membiarkan mereka semakin jauh.
 Karakter
Dalam konteks pendidikan, kata "karakter"  selalu menjadi  tujuan yang ingin dicapai. Tapi apa sebenarnya karakter itu?  Karakter dalam definisi saya adalah tentang bagaimana seseorang menyikapi sesuatu. Pendidikan adalah sarana agar anak mampu memilih sikap yang positif dalam  menghadapi berbagai persoalan. Sikap-sikap itulah yang diharapkan menjadi karakternya secara melekat, bukan tempelan apalagi sekadar hiasan.Â
Hal yang misterius adalah, adakalanya  karakter yang diinginkan tidak bisa terbentuk sebagaimana tujuan awal. Penyebabnya ada di ranah teknis, yaitu pengkondisian yang keliru. Misalnya; supaya anak-anak senang belajar, disediakanlah rangking atau piala, di mana secara kolektif hal itu diakui sebagai sebuah "kehebatan". Dalam benak orang dewasa, cara itu mungkin tepat, namun dalam fakta ada pemelintiran. Beberapa anak malah fokus kepada pialanya, kepada prestise yang melekat padanya.  Akibatnya, ada segelintir anak yang berusaha meraih piala itu dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan karakter yang diinginkan.
Satu keping kebijakan memang akan memiliki dua sisi kemungkinan sebagaimana kepingan mata uang: baik-buruk, tepat-kurang tepat. Semoga bisa ditemukan segera mana yang paling kecil sisi buruknya, sehingga kebijakan memberi maslahat yang besar, bukan justru membawa anak-anak semakin jauh dari karakter yang diharapkan.