Mohon tunggu...
May Nugros
May Nugros Mohon Tunggu... Karyawati -

Belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tukang Ojek di Negeri Keju dan Kiat Bebas Pegal

8 Januari 2018   23:23 Diperbarui: 9 Januari 2018   00:33 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamar Marie Antoinette / koleksi pribadi

Sebagai warga Jakarta, saya terbiasa dimanjakan dengan moda transportasi khas Indonesia yang sangat praktis, dapat diandalkan, dan ekonomis, yaitu apalagi kalau bukan ojek. Apalagi saat ini sudah ada aplikasi ojek online yang mana kita cukup duduk manis sampai si tukang ojek datang, wah makin manjalah saya. Memang sih, kondisi trotoar di Jakarta yang tidak ramah pejalan kaki juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan malasnya warga untuk berjalan kaki. 

Dan ternyata saya tidak sendirian. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford tahun 2017 lalu, penduduk Jakarta dinobatkan sebagai yang paling malas berjalan kaki sedunia, seperti dilangsir Kompas.com  (12/7/2017). Apa jadinya saya yang notabene malas jalan kaki ini, jalan-jalan ke negara lain yang tidak ada ojeknya? Mau tidak mau mengandalkan trasnportasi umum seperti bus atau kereta, dan dipadukan dengan jalan kaki.

Sebagai turis kelas ekonomis macam saya ini, taksi jelas bukan pilihan kalau tidak sangat kepepet. Di beberapa negara Eropa, tarif awal taksi saja bisa dimulai dari 40 ribu rupiah. Kalau di Jepang bahkan mencapai 70 ribuan. Sadar akan banyak mengandalkan kaki ketika akan travelling  di Paris, saya pun mempersiapkan diri. Apalagi salah satu tujuan utama saya adalah mengunjungi Istana Versailles yang luasnya kelewatan. 

Kiat saya supaya Bebas Pegal, yang pertama, tentu saja memilih sepatu yang nyaman untuk dipakai jalan kaki jarak jauh. Pilihlah sepatu yang dapat mensupport kaki dengan baik, yang disesuaikan dengan kontur telapak kaki agar tidak sakit ketika dipakai berjalan. Kalau bisa pilih sepatu yang tidak terlalu ngepas ukurannya, karena bisa menyebabkan lecet-lecet. Kemudian, saya juga mulai jogging ringan dan jalan kaki keliling komplek rumah untuk membiasakan diri.  

Yang terakhir dan tak kalah penting, tentu saja membawa Geliga Krim supaya  otot-otot kaki saya Bebas Pegal meski dipaksa berjalan seharian nanti. Selain itu, karena saya bepergian ala backpacker, berarti alamat bakal  banyak menggendong ransel berat kemana-mana. Otot punggung pun harus saya jaga supaya Bebas Pegal, makanya Geliga Krim sangat berguna buat  saya.    

Tidak lupa membawa Geliga Krim
Tidak lupa membawa Geliga Krim
 Versailles merupakan kota kecil yang terletak sekitar 17 km dari Paris, dan merupakan rumah dari Istana Versailles yang kesohor. Ia sempat menjadi ibukota Perancis pada masa pemerintahan Raja Louis XIV di adad-17 lalu, sebelum kemudian dikembalikan ke Paris ketika berakhirnya era monarki di Perancis yang ditandai dengan pecahnya Revolusi Perancis tahun 1789. 

Untuk menuju Versailles, saya harus menempuh perjalanan dengan kereta selama 1,5 jam dari Paris. Kemudian disambung dengan jalan kaki sepanjang 2 kilometer menembus udara dingin. Sayang sekali tidak ada ojek di negeri keju ini. Namun, pemandangan kota Versailles yang cantik dan trotoar yang lebar ramah pejalan kaki membuat perjalanan sekitar 20 menit itu terasa ringan saja.      

Istana Versailles / koleksi pribadi
Istana Versailles / koleksi pribadi
Istana yang masuk dalam jajaran Situs Warisan Budaya UNESCO ini terdiri dari empat bagian, yaitu Grand Palace, Grand Trianon, Marie Antoinette's Estate, dan The Garden. Total luas areanya mencapai 800 hektar. Bandingkan dengan luas Taman Monas yang keseluruhannya adalah 80 hektar, hanya sepersepuluhnya saja. Saya sendiri tidak berselera menyambangi setiap sudut kompleks Istana tersebut. Selain jelas karena tidak tega dengan kaki saya, juga bisa makan waktu berhari-hari. 

Harga tiket masuk ke Istana Versailles 20, disarankan memesan tiket secara online untuk menghindari antrian panjang. Namun, karena kebetulan saya datang pada musim dingin yang notabene adalah low season, saya bisa membeli tiket langsung dari konter dengan mudah.

Hall of Mirrors, Versailles / koleksi pribadi
Hall of Mirrors, Versailles / koleksi pribadi
Memasuki Grand Palace, tak henti-hentinya saya terpukau oleh kemegahan istana yang sarat sejarah ini. Seluruh ruangan didekorasi mewah, dindingnya dipenuhi berbagai lukisan dan cermin besar. Setiap senti langit-langitnya dilukis dengan indah, dilengkapi dengan kandil besar-besar bergelantungan.

Sampai di kamar tidur Marie Antoinette, saya penasaran dengan bentuk tempat tidurnya yang unik, dan kalau dilihat, sepertinya sempit sekali untuk ukuran tubuh orang dewasa. Ternyata, orang-orang pada jaman itu percaya kalau tidur dalam posisi tiduran konon bisa berakibat kematian. Jadi mereka tidur dalam posisi duduk. Waduh! Gak kebayang pegalnya seperti apa, untung saya lahir di abad 20. Apalagi saat itu belum ada Geliga Krim, hehe.

Ratu Marie Antoinette merupakan ratu Perancis terakhir dan juga yang paling populer. Kisah hidup Marie Antoinette sangat menarik untuk diikuti. Ia dinobatkan sebagai Ratu Perancis di usia belia dan dengan cepat dicintai oleh warga Perancis saat itu. Namun gaya hidupnya yang kelewat mewah, serta kegemarannya berpesta dan foya-foya di saat negara terlilit hutang dan nyaris bangkrut, memicu kemarahan warga yang kelaparan. Hidupnya pun berakhir tragis dieksekusi di papan guillotine pada puncak Revolusi Perancis.

Kamar Marie Antoinette / koleksi pribadi
Kamar Marie Antoinette / koleksi pribadi
Puas jalan-jalan di dalam istana, saya pun melanjutkan perjalanan ke kompleks taman Versailles, The Garden. The Garden ini merupakan bagian terluas dari kompleks Istana. Pada Bastille Day setiap tanggal 14 Juli, taman ini dibuka gratis untuk umum. Warga dapat bebas piknik di taman Istana untuk memperingati Revolusi Perancis.

Saking asyiknya menyusuri taman yang super besar itu, tanpa sadar saya kehilangan arah. Alhasil saya pun tersesat, di tengah udara dingin pula. Meski tidak turun salju, suhu saat itu mencapai 4 derajat celcius, disertai dengan angin kencang yang tajam menggigit. Mau tanya arah, tapi saat itu sepi sekali, karena memang banyak pengunjung yang malas keluar di udara dingin begitu. Saking luasnya taman ini, beberapa pengunjung lain hanya kelihatan seperti titik kecil saja dari tempat saya berdiri. 

Sambil berjalan, saya membayangkan kalau saja ada tukang ojek di negeri ini. Cukup kirim posisi GPS dan tukang ojek akan datang menjemput.  Tapi apa daya, Perancis tidaklah secanggih negeri kita tercinta (eh, apa terbalik ya?).  Tapi untuk urusan jalan kaki, orang Eropa memang juaranya. Makanya mereka tetap bugar dan gesit jalan kaki kemana-mana meski usia sudah lanjut.  

Setelah celingak-celinguk beberapa saat, saya melihat seorang gadis yang berjalan sendirian menghampiri saya. Ternyata dia juga tersesat dan mau menanyakan arah ke saya. Walah, sama juga bohong, hahaha.

The Garden, Versailles / koleksi pribadi
The Garden, Versailles / koleksi pribadi
Kami pun menelusuri taman berdua dan akhirnya menemukan jalan kembali ke Grand Palace. Kelly, nama gadis itu, berasal dari Australia dan baru kali ini travelling sendirian. Kami pun memutuskan untuk menyelesaikan sisa keliling kompleks Versailles sambil ngobrol dan kembali ke Paris bersama naik kereta. Lumayan, ada teman ngobrol selama perjalanan dan menambah teman baru.

Sampai di hotel malamnya, langsung saya oleskan Geliga Krim ke kaki saya supaya Bebas Pegal. Memang tidak salah saya membawa Geliga Krim ini, karena pegal-pegal di kedua kaki saya langsung jauh berkurang.  Untungnya lagi, tidak seperti krim lainnya, Geliga Krim baunya enak dan tidak menyengat, sehingga tidak mengganggu roommate saya. Maklum saya menginap di kamar tipe sharing yang bisa memuat 8 tamu yang datang dari berbagai penjuru negara. Tamu yang kebanyakan bule itu jelas tidak akan terbiasa dengan aroma minyak pijat tradisional Indonesia yang kebanyakan berbau menyengat.   

Karena keesokan harinya saya masih punya agenda JalanAsikGeliga di Paris, saya pergi tidur lebih cepat. Berkat Geliga Krim, saya bisa beristirahat dengan nyaman dan siap untuk melanjutkan petualangan saya di kota ini keesokan harinya. Saya pun bisa tertidur dengan tenang dan membayangkan lucu juga ya kalau benar-benar ada pasukan ojek di Paris. Apakah lantas warga Paris juga akan ikutan malas jalan kaki seperti di Jakarta? Yah, meskipun tidak ada jasa tukang ojek di negeri keju ini,  tapi paling tidak, ada Geliga Krim yang bisa saya andalkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun