16 Maret 2012 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura, menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada lima terdakwa kasus makar, Forkorus Yoboisembut, Edison Waromi, Dominikus Sorabut, Agust Kraar, dan Selpius Bobbi.
Kelima orang terdakwa dianggap terbukti bersalah mendirikan negara dalam negara,saat kongres Papua III di lapangan Zakeus, Abepura, 16-19 Oktober 2011.
Sementara Forkorus Yaboisembut yang mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dalam Kongres tersebut, menolak dakwaan jaksa yang menjeratnya dengan pasal 106 KUHP tentang tindak pidana makar.
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia telah memenuhi sejumlah syarat, yakni berdaulat atas rakyatnya, atas wilayahnya yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, dan memiliki pemerintahan yang sah sebagai syarat primer sebuah Negara. Bahkan selain itu, Indonesia sebagai sebuah Negara berdaulat, juga mendapatkan pengakuan dari negara lain sebagai syarat pendukung.
Sehingga terkait hal itu, Johannes Sumarto Wakil Rakyat dari Papua, merasa kecewa atas pernyataan Forkorus Yaboisembut yang tidak mau mengakui bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia (WNI). Forkorus bahkan menyatakan bukan bagian dari Bangsa Indonesia.
Forkorus Yoboisembut yang juga Ketua Dewan Adat Papua (DAP) bahkan telah menyatakan, selain memiliki 35 pengacara dalam negeri juga memiliki 6 orang pengacara internasional di Brussel, Belgia. tugas pengacara internasional ini adalah 'bermain' di tingkat PBB dan Mahkamah Internasional.
Layakkah Forkorus Memperoleh Human Rights Defender Award?
Forkorus Yaboisembut, S.Pd yang kini masih dalam penahanan oleh Pengadilan Tinggi Papua, setelah menyatakan banding atas putusan tiga tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Klas 1 A Jayapura beberapa waktu lalu, lewat Elly Sirwa, staf sekretariat Negara Federasi Republik Papua Barat (NRFPB) menyatakan akan menerima penghargaan dari amnesti internasional.
Forkorus, menurut Elly akan menerima penghargaan dari Amnesti Internasional sebagai pembela HAM (Human Rights Defender Award) di Aucland, New Zealand, pada tanggal 12 Mei mendatang. Padahal Amnesty Internasional secretariat (AIS) di London pada tanggal 8 Mei menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar alias hanya isapan jempol belaka.
Selain itu, Josef Roy Benedict, anggota Amnesty International untuk kampanye Indonesia dan Timor Leste Amnesty, juga menuntut pembebasan tanpa syarat forkorus dkk, karena penahannya adalah melanggar HAM. Namun rupanya Yusef lupa, atau bahkan mungkin tidak menganggap, sesungguhnya Indonesia adalah Negara berdaulat. Sehingga menjaga kedaulatan Negara dari rongrongan baik dari dalam maupun luar adalah tindakan yang semestinya dilakukan. Mengingat mendirikan negara dalam Negara adalah tindakan pelanggaran, maka hukum mesti ditegakkan, dan usaha makar mesti mendapat hukuman.
Upaya Amnesty Internasional dengan mendukung tindakan makar juga dianggap melemahkan sendi bangsa. Dan kita tidak perlu heran dengan modus-modus seperti itu lagi, karena mereka memang (selalu) mencampuri masalah dalam negeri Negara berkembang, utamanya Indonesia. Karena Indonesia adalah salah satu lumbung pangan dunia, yang sangat menarik minat semua orang. Sehingga badan dunia sekelas Amnesty Internasional sekalipun, jika tidak menghargai eksistensi negara lain, maka perlu mendapat perlawanan.