Catatan catatan tercecer 3
untuk Ina Melissayang kembali[1]
Kepergian yang begitu cepat, pamitmu diam campur enggan, menyisakan pengorbanan buat yang tinggal. Pada akhirnya hanya ada airmata dan kenangan yang tak bisa dihapus,…….kami masih berlari sibuk menanti di kekinian…….
III
SERINGKALI kita terjerat kedalam upaya-upaya pembenaran diri sendiri, justru selagi membenahi diri. Setiapkali melakukan pembenahan, kita seakan-akan berada didalam resiko terkepung oleh musuh besar, keterbatasan. Tekanan-tekanan keterbatasan diri yang kerapkali menekan dengan begitu kuatnya. Terutama ketika kebenaran yang diminati didalam teguh niat dihampiri, seakan-akan terus bergerak menjauh. Kesempatan menemukan kebenaran itu menjadi sebegitu terbatas. Dan kerap dirasakan ada saja kekuatan lain yang begitu ketat membatasi atau mengeliminasi jangkauan niat kita. Didalam hal ini mau dikatakan betapa niat-niat baik-tulus, keburu dikebiri oleh diri sendiri atau kelompok sendiri atas nama pembenaran dan tindakan-tindakan dukungan di seputar itu. Senantiasa ada godaan daya tarik dari pilihan-pilihan instant; yang banyak mengemuka padat belakangan ini.
Kita menjadi yang salah kaprah didalam menapaki ketabahan yang panjang. Sebab dan asal muasalnya tadinya dimulai dari sekedar ikut-ikutan dan kemudian jadi kebablasan; karena takut kehilangan kesempatan. Bahkan dengan suara nyaring kita ajukan klaim-klaim atas berbagai tindakan kita, sebagai tindakan yang paling adil dan benar. Dengan penuh keyakinan kita melakukan pembenaran-pembenaran atas segala tindak-tanduk sendiri dengan konsekuensi memindahkan resiko-resiko buruk, mengorbankan pihak lain.
Rupanya dalam hal-hal seperti inipun, masih sangat dibutuhkan kesediaan tulus untuk selalu belajar dan memahami, bahwa sesungguhnya orang hanya menuai dari yang sudah ditanamnya. Orang dapat meraih pahala dari yang telah dilakukannya dan dari kelakuannya sendiri. Sekalipun dia berada pada situasi pasrah menerima perlakuan otoriter, dari otoritas kekuatan tertentu, yang tidak terbayangkan sebelumnya; mungkin keberimanan. Tetapi, jelasnya hal ini “bukan Apa ini?, Apa itu?” tetapi, “Siapa ini?, Siapa itu?”,menirukan kata-kata Djodjon beberapa tahun lalu, dalam melawak di TV.
Masih juga terdengar suara-suara dari perbatasan pikir dan terbawa sampai di sini bahwa, manusia telah menjadi anjing serigala bagi sesamanya[1]. Ada banyak orang meyakini itu dan terkadang mengelompok dengan kuatnya sembari bertindak arogan dan nyaris liar. Betapa mereka mengesahkan dengan naifnya, bahwa mereka baru saja mendengarkan Suara TUHAN. Akibatnya akan muncul ketegangan-ketegangan lama, yang membahayakan kehidupan bersama. Betapa orang bisa dengan seenaknya bicara dan menyelubungkan maksud dalam ungkapan semaksud.
Ketika orang beralasan menyetir kata-kata “suara orang banyak, adalah suara TUHAN bukan tanpa sesuatu resiko. Akan sangat berbahaya jika ungkapan itu menjadi multi makna, lalu membiaskan berganda makna. Sesuatu yang kemudian menjadi andil mengemukanya berbagai kesewenangan tanpa kendali.
Ketika benar, menumbuhkan pembenaran atas nama, dan bersamaan dengan itu kebenaranpun kembali dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan sesaat. Di sini, kita perlu belajar “Kita dan Kami”[2], merenungkan kekitaan dan kekamian. Siapakah kita dan siapakah kami. Agar kita bisa dengan tulus memaknai dan memanifestasikan kebersamaan secara bersama-sama dengan baik, benar. Dalam artian bahwa inilah salah satu perwujudan dari hidup yang mau bermakna, dan yang masih akan berlanjut.
Sementara itu, ada banyak orang telah jatuh tanpa daya di sini. Mereka berusaha memaknai hidup dan tanpa pernah memahami makna-maknanya. Atau mereka turut mewujudkan dan mensakralkan hedonisme dan egoisme baru pada masanya. Seribu satu alasan dapat dicari dan dipakai untuk itu. Klaim-klaim nyaring, kasar, melanggar kesepakatan, menginjak-injak etika moral terus saja disuarakan.
Selalu ada perangkap bebas bentuk yang menganga atas nama, dan menghalalkan mari, siap sedia untuk menelan mereka yang mau menentang. Siapapun diajak untuk turut melakukan pemusnahan terhadap berbagai sendi kehidupan. Atas nama dan demi stabilitas, keadilan, kebaikan, kepercayaan, partisipasi dan kebersamaan, atau apapun yang baik lainnya, orang diajak untuk melakukan pemusnahan atas system-sistem yang berfungsi; enggan melakukan perbaikan terhadapnya. Terkadang kejadian seperti itu terjadi dengan alasan-alasan yang tidak selalu dapat dimengerti.
Berbagai kegiatan atas nama kebersamaan bisa dihalalkan, walau menumpu dengan maksud dan kepentingan lain. Sekedar enggan untuk mengatakan bahwa kebersamaan yang universal, sedang dikerdilkan atau dimandulkan untuk maksud dan kepentingan lain, pribadi dan atau kelompok sendiri.
Sebenarnya, hanya bagaimana individualitas kepentinganbisa diredam, berbaur. Selanjutnya dapat diakomodasikan pada kepentingan yang lebih universal. Semuanya harus berlangsung di dalam kesetaraan; tanpa mengabaikan hirarkie ketertiban. Sebab walaupun cuma sesaat, orang cenderung lalai dan melupa, bahwa inilah hidup yang sama dan hanya satu. Mereka berpijak pada bumi yang satu dan sama, namun tetap dalam hirarkie hubungan kerja. Dengan keniscayaan yang sama, dimana justru membutuhkan kerja-sama, demi kelanggengan hidup itu sendiri.
Yang dipercayai dan seharusnya dipercayai masih setia, kata iman. Lagi-lagi “Dia mencari domba yang ke seratus tanpa peduli diri[3], dan itu makna pengorbanan, jika kita mau. Artinya kita dapat teguh pada pencarian, bekerja sekuat-kuatnya turut menegakkan dan mengembangkan kebersamaan yang lebih tulus dan manusiawi. Sebatang lilin menyala, meleleh kehilangan bentuk, demikian segenggam garam mengasinkan, melebur kehilangan bentuk.
Setiapkali membiarkan dan menghalalkan cara, ibarat menggigit-coba buah apel larangan di taman Eden, yang akhirnya justru melanggar kodrat dan ikrar-ikrar kemanusiaan. Belakangan ini, sudah menjadi panorama rutin, berlangsung pongah dan sewenang-wenang. Sementara, masih saja ada pihak lain yang terdiam, tanpa mengerti. Paling-paling merekahanya menggerutu kepada yang entah.
Pada momentum musim panen, serombongan penuai masih saja kembali dengan menggenggam berkas-berkas gandum yanghampa. Sebagai konsekuensi dari kesiapan yang tak pernah utuh maupun usai di musim tanam. Ironis! jikalau memang ladangpun sebenarnya tak pernah ada, atau justru sama sekali belum pernah dimiliki. Selanjutnya, kitapun akan terpaku dan menjadi terlena bersama para penuai pada bujuk kata, “ssst, sebaiknya kamu, jadi penonton yang baik saja”.
Musim panen, sering hanya memberikan keceriaan kepada sekelompok yang kuat, sembari mereka mesti kehilangan ritual syukur. Karena arogansi dan kebodohan yang masih melekat.Di sini, tentunya tak akan pernah terdengar lagi suara-suara bijak dari lelaki tuan tanah, Boaz: “Sisakan beberapa berkas gandum di ladang bagi perempuan itu”[4]. Demikian juga bagi mereka yang memungut kesengajaan itu demi dan karena kesehariannya. Apakah tindakan tersebut bijak dan tulus, ataukah mungkin dicurigai masih juga membaur dengan naluri menaklukkan dan menguasai, itu soal yang lain.
Apa makna kebaikan berbagi dari ketidak-berdayaan, bagi seorang janda miskin dan gadis kecilnya di Sarfat? Mereka hanya memiliki sisa-sisa minyak dan tepung untuk dua potong kue apem terakhir, kemudian pasrah menunggu kematian datang menjemput.[5] Dapatlah dipertanyakan apakah ini adalah sketsa-sketsa ketulusan dari anak-anak manusia? ataukah suatu noktahpementingan diri terselubung, yang akan terus saja memanjang membawa catatan-catatan punahnya panggilan bersyukur di sini??.... (bersambung)
[1] Thomas Hobbes.
[2] Fuad Hassan
[3] Yesus, gembala yang baik
[4] Kitab Rut 3 : 16
[5] Kitab I Raj.17:12-14
[1]NTT Ekspress Maret 2000