Sebelum menjawab pertanyaan kecil dalam judul tulisan di atas, marilah terlebih dahulu kita melihat sedikit pengertian anak dalam konteks tulisan ini. Di mana anak dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam arti sepenuhnyasebagaimana terurai atau dijelaskan dalam Kamus Bahasa Indonesia atau yang ada pada hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia termasuk Konvensi PBB yang sudah disahkan, yang menyatakan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18tahun kecuali yang sedikit berbeda sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam UU ini sebagaimana terurai jelas dalam Pasal 1 Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya pengertian soal anak memiliki arti yang cukup luas, sehingga secara umum anak dikategorikan menjadi beberapa kelompok usia, antara lain 1) masa anak-anak (0 – 12 tahun), 2) masa remaja (13 – 20 tahun), dam 3) masa dewasa (21 – 25 tahun). Dengan demikian anak yang dimaksudkan dalam tulisan ini, adalah anak dalam kelompok pertama (0 – 12 tahun). Hal ini disebabkan, karena pada masa anak-anak sendiri – kelompok ini, anak cenderung memiliki sifat yang suka meniru apa yang dilakukan orang lain (terutama orang-orang dekatnya/orang tua, kakek/nenek, pengasuhnya, saudara atau orang lain yang tinggal serumah atau yang sering bertemu/berinteraksi di sekitar tempat tinggalnya) dan emosinya sangat tajam.
Menurut Gatot Supramono (2000 : 2-3), pada masa ini pula anak mulai mencari teman sebaya dan mulai berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya, lalu mulai terbentuk pemikiran mengenai dirinya sendiri. Kemudian pada masa ini pula perkembangan anak dapat berkembang dengan cepat dalam segala bidang, baik itu perubahan bentuk tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Pendapat ini menunjukkan kepada kita pula bahwa, pada masa ini proses belajar anak-anak sesungguhnya sedang berkembang mulai dari dirinya sendiri atau sesuatu yang ada atau sedang terjadi di sekitarnya dan seterusnya ke lingkungan yang lebih luas lagi hingga ia dapat mengetahui atau melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah diketahui sebelumnya itu.
Hal ini tentu berbeda pemahamannya dengan konsep belajar atau cara melakukan sesuatu berdasarkan teori prilaku yang menyatakan antara lain bahwa, seseorang – anak-anak melakukan sesuatu karena adanya stimulus atau rangsangan dari luar. Sementara dari aspek bahasa sebagaimana yang ditulis N. K. Nastiti dalam blognya di media online (2015), dikatakan bahwa berpikir dan berbahasa memiliki hubungan yang sangat kuat, karena bahasa adalah sarana berpikir. Bahasa adalah suatu system lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan orang - anak-anak untuk berkomunikasi, mengidentifikasi diri dan bekerja.
Bahasa menjadi dasar pembentuk pola pikir seorang anak, sebab melalui bahasa seorang anak belajar tentang atribut-atribut tertentu baik mengenai dirinya sendiri, diri orang lain dan situasi yang dialami. Menurut teori pertumbuhan kognitif, seorang anak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari prilakunya dan kemudian baru bahasa. Hubungan antara pikiran dan bahasa bukanlah merupakan suatu benda melainkan merupakan suatu proses, satu gerak yang terus menerus. Selanjutnya disebutkan bahwa, pikiran berbahasa berkembang melalui beberapa tahap, yakni mulai anak-anak harus mengucapkan kata-kata, kemudian bergerak ke arah mengerti atau berpikir. Dengan demikian dari tahapan ini dapat dikatakan terdapat keterkaitan yang jelas antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berpikir.
Uraian ini jelas menggambarkan kepada kita bahwa proses belajar pada anak-anak melalui bahasa dan tindakan-tindakan dari prilakunya. Dalam sebuah blog psikologi di internet menguraikan bahwa, proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu 1) pembentukkan pengertian, di mana dalam tahap atau langkah ini pengertian atau lebih tepatnya pengertian logis dibentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikutL: a. menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis, b. membanding-bandingkan ciri tersebut untuk ditemukan ciri-ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada, mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki, dan c. mengabstrasikan, yaitu menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak hakiki, dan menangkap ciri-ciri yang hakiki. 2) Pembentukan Pendapat, membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau predikat. Dan 3) Penarikan Kesimpulan atau Pembentukkan Keputusan. Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Penjelasan dalam uraian ini tentang proses atau jalannya berpikir sesungguhnya dapat dikatakan sama dengan bagaimana proses belajar yang terjadi dalam diri seseorang – anak-anak.
Dengan demikian bila dicermati uraian singkat mengenai batasan kelompok usia anak serta ketiga pendapat tersebut di atas tentang sifat, terbentuknya pemikiran mengenai diri sendiri, kecerdasan, dsb. yang mana dalam pendapat ini terlihat adanya proses atau bagaimana seorang anak mulai belajar dengan mencari dan berinteraksi dengan teman sebayanya, meniru, mengenal dirinya sendiri kemudian lingkungan sekitarnya sehingga timbul sikap atau kepedulian sosialnya; dan proses belajar pada anak-anak yang dimulai dari bahasa dan tindakan-tindakan dari prilakunya; kemudian yang terakhir menyoal tentang tiga langkah dalam proses atau jalannya berpikir itu yang sesungguhnya juga merupakan bagaimana proses belajar terjadi; sebenarnya secara implisit sudah menjawab pertanyaan di atas.
Namun secara eksplisit dapat dijawab pula (karena tidak dapat disalahkan – ditolak begitu saja statement – kata-kata ini, sebab terdapat hubungan maknanya juga dengan ketiga pendapat di atas) dengan apa yang saya lihat pada suatu iklan dari salah satu produk “mainan anak-anak” yang secara kebetulan saya temui pada saat sedang berjalan di suatu tempat (lupa namanya), yang statement atau kata-kata iklannya mungkin dapat dikatakan telah menyimpulkansecara sederhana dari begitu banyaknya pemikiran/pendapat ahli atau hasil penelitian tentang bagaimana caranya mengetahui proses belajarnya anak, yang dapat dituliskan kembali seperti ini, bahwa proses belajarnya anak dimulai dari kegiatan “mengamati, berpikir dan beraksi”.
Maximus Luis Bria, S.E., S.Pd., MM. *)
*) Dosen dan Pemerhati Pendidikan, tinggal di Bolan – Malaka NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H