Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Rasanya Hidup Bersama Para Penderita Kusta

10 Desember 2020   07:42 Diperbarui: 10 Desember 2020   07:45 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2004, saya mendapat tugas baru untuk menanggungjawabi sebuah Panti Rehabilitasi Kusta di Medan-Sumatera Utara. Mendengar nama panti itu dan membayangkan kondisi tubuh orang-orang yang hidup di sana, buluh badan saya langsung merinding. Tak terbayangkan bahwa saya akan hidup bersama dengan orang-orang yang jari-jari kaki, tangan, hidung, telinga, dan anggota tubuh lainnya yang penuh nanah bahkan ada bagian tubuh tertentu yang tak ada. Ingin rasanya menolak tugas itu.

Untuk meyakinkan diri, saya meminta kesempatan kepada pimpinan untuk bertemu dengan para penghuni Panti Rehabilitasi Kusta itu. Saya ingin menyaksikan situasi kehidupan mereka secara langsung sebelum mengambil keputusan. 

Ketika menjejakkan kaki untuk pertama kali di tempat yang sengaja dibangun jauh dari pemukiman warga itu, ingin berlari rasanya dan meninggalkan mereka. Apa yang saya bayangkan, kini nyata di depan saya. Rupanya kedatangan saya sudah dinanti-nanti oleh para kaum tersisih itu, di bawah sebuah pohon kelengkeng yang sangat rindang. Mereka berjumlah 23 orang. 

Dengan kondisi jari-jari kaki, jari-jari tangan, hidung, dan telinga yang penuh nanah, para saudara penderita itu datang mendekat dan menyalami saya. Berat rasanya untuk membalas tapi tak sampai hati juga untuk menolak. Dengan gemetaran, saya terpaksa mengulurkan tangan dan membalas jabatan mereka. Terasa sekali luka dan nanah melekat di telapak tangan saya. 

Setelah pertemuan itu, saya cepat-cepat meninggalkan mereka, lalu pergi menuju sebuah gereja kecil yang ada di tengah-tengah kompleks panti tersebut. Di sana saya berdiam diri sejenak, menatap sebuah salib yang ada di atas altar, lalu melihat diri saya. "Saya ini seorang biarawan. 

Saya mau menjadi seperti saat ini karena panggilan untuk melayani orang-orang seperti mereka. Kalau saya saja menolak, bagaimana dengan mereka yang tidak menjadi seperti saya? Kalau bukan saya, siapa lagi yang merawat mereka? Inilah saatnya untuk mengabdi" Kata hati saya saat itu.

Peristiwa dalam gereja kecil itu, mengantar saya pada suatu keputusan bahwa saya menerima tugas tersebut, apapun resikonya termasuk siap untuk tertular suatu saat nanti. Segera saya keluar dari gereja, lalu mengajak mereka untuk berkeliling melihat seluruh area panti. Setiap mereka, memiliki rumah masing-masing yang cukup luas. Ada juga sebuah rumah yang dikhususkan bagi saya, kebun sawit sekitar 7 hektar, dan 2 buah kolam ikan mas. 

Setelah bertemu dan berkenalan dengan mereka, sayapun menghadap pimpinan dan menyatakan kesiapan untuk tugas tersebut. Maka, mulai saat itu, setiap hari saya harus membagi waktu antara kuliah dan melayani para saudara yang menderita penyakit yang pada jaman lampau dikait-kaitkan dengan dosa itu.

Setiap hari, saya berusaha untuk akrab dan bergaul hangat dengan mereka. Kadang saya makan makanan hasil olahan mereka yang walaupun mungkin menjijikan bagi orang lain. Setiap sore, saya selalu mendatangi rumah mereka satu persatu untuk sekedar bercerita dan mencari tahu kondisi penyakit yang dialami. Untuk ini, harus menghilangkan rasa jijik karena di lantai-lantai rumah mereka terdapat darah, nanah, dan kulit-kulit tubuh yang terkelupas dan berceceran di sana.

Situasi itu terkadang menuntut saya untuk mengambil sapu dan membersihkannya. Apa yang saya rasakan pahit diawal, kini terasa manis. Ada tawa dan canda yang selalu menghiasi setiap perjumpaan kami. Seminggu sekali, saya mendata kebutuhan hidup mereka dan mengadakannya. Begitu juga dengan perkembangan kondisi kesehatan masing-masing. Dokter selalu dihadirkan untuk memberikan perawatan.

Di luar itu, kami bekerja sama untuk merawat kebun sawit dan dua kolam ikan yang ada. Dengan tangan dan kaki yang terkadang berdarah-darah, mereka harus membabat rumput, membersihkan batang-batang sawit, mendodos buahnya, dan membawanya ke tempat penampungan sebelum diangkut truk pembeli. Itulah sumber kehidupan mereka. Kasihan sekali melihat situasi itu. Tapi apa daya, tidak ada orang sehat yang mau membantu karena takut tertular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun