Di negeri Tirai Bambu (Cina), terdapat sepasang suami-istri yang dinobatkan dalam buku rekor dunia  sebagai pasangan yang paling lama dan awet dalam hitung-hitungan usia perkawinan yakni 80 tahun. Usia hidup si suami 108 tahun dan si istri 100 tahun.
Ketika diwawancarai oleh beberapa media tentang kiat apa yang dilakukan oleh pasangan itu sehingga mampu bertahan lama, pasangan tersebut menjawab ringkas dan lugas bahwa tak ada kekuatan lain yang kami lakukan selain saling memaafkan. Setiap malam, kami selalu berbicara dari hati ke hati sebelum tidur.Â
Kalau dalam pembicaraan itu ditemukan bahwa ada yang terluka di antara kami, maka  kami saling memaafkan, lalu berpelukan dan berciuman. Setelahnya, kami tidur dengan tenang, damai, dan tenteram. Rasanya tak enak kalau pergi tidur sebelum masalah di antara kami selesai.Â
Tahun 1981, tepatnya tanggal 13 Mei, pemimpin agama Katolik Roma sedunia, Paus Yohanes Paulus II, ditembak oleh Mehmed Ali Agca. Karena peristiwa itu, pemimpin kharismatik itu mengalami luka serius dan harus dirawat.
Amat mengagumkan bahwa setelah menjalani perawatan dan pulih, Bapak Paus bukannya dendam tetapi sebaliknya, ia mengunjungi si pelaku yang sementara berada dibalik jeruji besi dan mengampuninya. "Aku memaafkanmu, sahabat. Aku mengampunimu".
Tak dapat dipungkiri bahwa dari relung hati yang paling dalam, setiap kita bangsa manusia senantiasa merindu untuk hidup bersama dengan yang lain. Ini tidak terlepas dari sifat hakiki manusia itu sendiri yakni sifat sosial. Kerinduan dan sifat ini, kemudian mendorong dan menuntun manusia untuk berelasi, berkomunikasi, bekerja sama, dan hidup berdampingan dengan sesamanya.Â
Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa kerinduan yang besar itu, tidak diiringi dan dibarengi dengan suatu kesadaran yang sungguh bahwa sesama yang dirindukan untuk hidup bersama dengannya itu adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelemahan. Manusia seakan-akan lupa bahwa sesamanya bukanlah Allah yang adalah sempurna adanya.Â
Maka, ketika berhadapan dengan kerapuhan sesama manusia yang kerap melahirkan pertengkaran, perselisihan, dan perpecahan itu, tak ada kekuatan lain yang harus dipegang teguh dan dihidupi agar cita-cita dan kerinduan untuk hidup bersama dengannya tetap lestari dan sejati selain kekuatan mengampuni.Â
Di tengah-tengah kondisi perkembangan zaman yang tak terbendung dan tuntutan hidup yang manusia semakin tak terkendalikan, penting untuk selalu menggemakan kekuatan mengampuni agar kerinduan manusia untuk hidup bersama dengan yang lain itu tidak luntur atau bahkan hanya tinggal kerinduan belaka dan sifat hakikinya tidak ditelan zaman.
Mengampuni atau memaafkan ditengah-tengah dendam yang membara memang amat sulit tetapi itulah panggilan jiwa kita semua kalau kita mau bahagia bersama sesama yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H