Mohon tunggu...
Maximillian Calisto
Maximillian Calisto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar dan Pegiat Budaya

Belajar untuk berkembang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendukung Penolakan Pemasangan Chattra di Candi Borobudur dalam Perspektif Pelestarian dan Keaslian Budaya

8 November 2024   22:15 Diperbarui: 8 November 2024   23:11 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadean - Atsanti Muda

Gerakan penolakan pemasangan chattra di atas stupa induk Candi Borobudur telah menarik perhatian banyak pihak. Candi Borobudur, sebagai salah satu warisan budaya dunia, memiliki nilai sejarah dan spiritual yang sangat penting. Rencana pemasangan chattra ini, yang dijadwalkan pada 18 September 2024, memicu protes dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan arkeolog. Dalam pandangan saya, penolakan ini sangat beralasan dan perlu disampaikan dengan jelas.

Candi Borobudur adalah monumen Buddha terbesar di dunia yang terletak di Jawa Tengah. Sejak dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9, candi ini telah menjadi simbol kebudayaan dan spiritualitas. Namun, rencana pemasangan chattra di puncak stupa induk menimbulkan kontroversi. Dr. Hari Setiawan dari Balai Konservasi Borobudur menegaskan bahwa relief yang ada menunjukkan stupa induk tanpa chattra, yang mencerminkan keaslian dan filosofi desain candi tersebut1.

Jika kita membandingkan Candi Borobudur dengan situs warisan dunia lainnya, seperti Angkor Wat di Kamboja, kita dapat melihat bahwa keaslian struktur sangat dijaga. Pemasangan elemen baru yang tidak sesuai dengan desain asli dapat merusak integritas situs tersebut. Di Angkor Wat, misalnya, setiap perubahan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mempertahankan nilai sejarah dan budaya. 

Menurut Dr. Hari Setiawan, seorang arkeolog dari Balai Konservasi Borobudur, pemasangan chattra bisa dianggap sebagai "penambahan yang tidak sejalan dengan konsep asli dari pembuat candi itu sendiri.". Dengan demikian, dibandingkan dengan candi-candi di luar negeri yang memang menggunakan chattra, Borobudur lebih mencerminkan ciri khas lokal yang sudah ideal tanpa tambahan elemen tersebut.

Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah karya seni yang sempurna dan lengkap, seperti lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci. Bila lukisan tersebut ditambahkan aksesoris atau ornamen tertentu yang berbeda dari konsep aslinya, maka kesan harmoni dan pesona uniknya dapat berkurang atau bahkan hilang. Hal yang sama berlaku untuk Candi Borobudur. Hal ini akan mengubah makna asli dari Candi Borobudur dan dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap warisan budaya, serta merusak nilai historisnya.

Contoh nyata dari dampak negatif perubahan ini dapat dilihat dalam sejarah pemugaran Candi Borobudur oleh Theodoor van Erp pada awal abad ke-20. Van Erp awalnya memasang chattra tetapi kemudian mencopotnya karena dianggap tidak sesuai dengan bentuk asli candi. Keputusan tersebut menunjukkan pentingnya menjaga keaslian struktur dalam upaya konservasi. 

Salah satu contoh keberhasilan pelestarian tanpa perubahan struktur terjadi pada Stonehenge di Inggris. Meski telah berusia ribuan tahun, para arkeolog dan ahli pelestarian di sana memilih untuk tidak menambahkan atau mengubah apapun pada struktur Stonehenge. Pemugaran yang dilakukan hanya terbatas pada penguatan pondasi serta perawatan, tanpa menambah ornamen yang tidak ada sebelumnya. Langkah tersebut diambil demi menjaga keaslian dan menghormati makna historis yang telah diwariskan.

Pemasangan chattra bukan hanya tindakan yang tidak perlu tetapi juga berpotensi merusak warisan budaya yang telah diakui dunia. Pemasangan chattra memang mungkin membawa nilai simbolik tertentu, namun justru dapat mengaburkan esensi asli dari candi ini. 

Candi Borobudur seharusnya dibiarkan dalam bentuk aslinya untuk menghormati sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penolakan terhadap rencana ini adalah langkah penting untuk melindungi identitas budaya kita. Maka dari itu, menolak pemasangan chattra bukan berarti menolak nilai spiritual, tetapi justru menghormati nilai historis yang telah diwariskan dan menjaga keasliannya

Dhika - Atsanti Muda
Dhika - Atsanti Muda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun