Mohon tunggu...
Maximillian Calisto
Maximillian Calisto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa SMA dan Aktivis Seni Budaya

I'm a really optimisctic person and has a big interest in art and culture. Grown up in a chinese and javanese family taught me the importance of tolerance & understanding. With a plenty of experience that I had, made me have a really good leadership and competence.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menangis, Hak atau Aib bagi Laki-laki?

17 November 2024   15:52 Diperbarui: 17 November 2024   19:04 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki sering dianggap sebagai sosok yang kuat dan dominan, sedangkan perempuan sebagai sosok yang emosional dan lembut. Namun, apakah benar bahwa laki-laki tidak boleh menangis?

Dalam budaya patriarki, menangis sering dianggap tidak pantas bagi laki-laki. Stereotip seperti "anak laki-laki besar tidak boleh menangis" terus hidup, menekan ekspresi emosi para pria sejak kecil. Sebuah survei Ipsos MORI menunjukkan bahwa 58% laki-laki di negara-negara seperti AS, Inggris, Kanada, dan Australia merasa diharapkan untuk selalu tampak kuat secara emosional. Tekanan ini tak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga menghambat pertumbuhan emosional mereka.  

Padahal, menangis adalah respons biologis yang normal dan sehat. Penelitian membuktikan bahwa menangis dapat mengurangi stres, menurunkan tekanan darah, dan meningkatkan suasana hati.

Selain itu, air mata emosional membantu melepaskan hormon stres seperti kortisol, sehingga memberikan efek menenangkan. Namun, norma gender yang kaku membuat laki-laki lebih sulit mengekspresikan kesedihan, sedangkan perempuan dianggap lebih bebas menunjukkan emosi mereka.  

Menurut studi lintas budaya tentang gender dan menangis, laki-laki cenderung menekan emosi rentan seperti sedih atau malu, sementara perempuan lebih sering mengekspresikannya. Hal ini menciptakan kesenjangan emosional yang berisiko bagi kesehatan mental pria.

Arnoldus Regan Westenberg, siswa Kolese Kanisius Jakarta, menyebut menangis sebagai hal wajar. "Menangis membantu saya melepaskan emosi dan merasa lebih lega," ungkapnya, menggarisbawahi bahwa menangis bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian menghadapi emosi.  

Dengan memberikan ruang bagi laki-laki untuk menangis tanpa stigma, kita menciptakan masyarakat yang lebih mendukung secara emosional. Mengajarkan bahwa emosi adalah bagian alami dari hidup dapat mendorong generasi mendatang untuk tumbuh lebih tangguh secara psikologis, terlepas dari gender mereka. Karena pada akhirnya, menangis adalah tanda kemanusiaan kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun