Ditilas kembali dari sisi historis, kita ketahui bahwa Malaysia merupakan daerah jajahan Inggris dan Indonesia daerah jajahan dari Belanda. Dalam urutan peng-klaiman terhadap kedua wilayah tersebut terjadi dengan Inggris yang telah lebih dulu melakukan eksplorasi terhadap kedua pulau sebelum pada akhirnya di lanjutkan oleh Malaysia selepas pembebasannya di bawah pemerintah Inggris pada tahun 1957.Â
Selanjutnya pulau tersebut yang juga menjadi daerah perbatasan bagi Indonesia, membuat pelaksanaan eksplorasi yang awalnya hanya pada Inggris dan Malaysia, menjadi terbagi secara damai melalui negosiasi panjang terkait pembagian general akan wilayah eksplorasi dan eksploitasi bagi kedua negara berseberangan, yang pada akhirnya memunculkan adanya Perjanjian 1891 diantara Malaysia dan Indonesia.
Mahkamah Internasional pada proses sidang mengenai sengketa terkait, mendasarkan kebijakannya pada aktivitas okupas Malaysia yang secara efektif dilakukan di dua pulau tersebut. Dalam argumen yang di sampaikan Malaysia terkait upayanya dalam klaim akan dua kepulauan terkait yaitu :
(1) dengan hak atas kedua pulau tersebut dapat didasarkan pada beberapa transaksi Sultan Sulu hingga Inggris juga pada pemerintah Malaysia sendiri
(2) dengan klaim akan Inggris dan Malaysia yang telah menyebarkan kekuasaannya secara damai dan berkesinambungan sejak 1878, dibandingkan dengan Belanda kemudian Indonesia yang justru menelantarkan kedua pulau tersebut hingga di tahapan prescription.
(3) bahwa dalam perjanjian sebelumnya di tahun 1891 mengenai batas daratan pada wilayah Borneo, di dalamnya tidak termasuk kepulauan lepas dari pulau Borneo. Sebaliknya, Malaysia memberikan argumennya bahwa Perjanjian 1891 dilanjutkan dengan Perjanjian Demarkasi 1915 yang memberikan kejelasan akan kepemilikan kedua pulau tersebut kepada Malaysia.
Tingkat keefektifan okupas Malaysia dalam memberdayakan kedua pulau tersebut selain daripada hal diatas, dapat pula dibuktikan pada butir 132 dari Putusan ICJ mengenai adanya program pengurusan dan pengumpulan telur penyu sebagai kegiatan ekonomi terpenting bagi Malaysia selama bertahun-tahun sebelum Inggris yang mengambil alih akan program tersebut tahun 1914 di dua pulau terkait. Tak hanya itu, Malaysia juga turut memberdayakan burung Borneo dengan pembentukan usaha penangkaran burung atau British North Borneo Colonial (BNBC) pada tahun 1933.
BNBC sendiri oleh Malaysia dijadikan sebagai pula bukti administratif efektif terhadap pulau Sipadan dan Ligitan karena ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo mengenai pengaturan dan pengendalian pengumpulan telur penyu di Sipadan dan Ligitan merupakan aktifitas yang nyata di wilayah tersebut kala itu.
Pembangunan mercusuar tahun 1960an pun menjadi salah satu bukti pula bahwa peng-klaiman atas kedua pulau tersebut telah terjadi sejak lama dibawah Otoritas Malaysia.Â
Posisi dari Malaysia semakin diperkuat lagi akan fakta bahwa Malaysia juga menerapkan kebijakan mengenai dua kepulauan tersebut dalam Peraturan Perundang-Undangan negaranya, dimana Pemerintah Malaysia menetapkan akan undang-undang Pariwisata di wilayah Sipadan dan Ligitan sejak 25 September 1977, yang secara otomatis Sipadan dan Ligitan telah menjadi bagian dari Malaysia's Protected Areas. Maka, sudah jelas bahwa Malaysia yang akhirnya dapat memenangkan sengketa kasus atas kedua pulau tersebut karena pelaksanaan keefektivitasan program pemberdayaan dan sisi historis serta fakta yang kuat akan kedua pulau tersebut.
Keputusan akan kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan terkait melalui ICJ memang sangatlah tepat dilakukan karena mencegah akan keberlarutan sengketa yang sebenarnya juga telah berlangsung secara lama. Kawasan perbatasan yang sangat sensitif kebedaraannya, membuat maintenance dari wilayah ini haruslah khusus dengan pemberdayaan yang membangun dan keamanan yang terjamin. Dari kedua belah pihak, sama-sama ingin mempertahankan wilayah terkait, namun usaha untuk mempertahankan wilayah tersebut hanya di lakukan oleh pihak Malaysia.Â