Daerah perbatasan adalah salah satu daerah strategis bagi kedua negara perbatasan dan memiliki peran penting dalam mempertahankan serta membangun kedaulatan wilayah negara, karena posisinya yang menjadi garda terdepan bagi suatu negara modern.Â
Jika daerah perbatasan dikaitkan dalam pertahanan kualitas kehidupan masyarakat di wilayah negaranya, dari aspek ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan budaya, wilayah tersebut sudahlah pasti akan menjadi bahan sengketa tarik ulur antara dua negara berseberangan untuk mendapatkan potensi sumber daya alam yang terkandung didalam wilayah perbatasan tersebut.
Selain karena potensi sumber daya alamnya yang sangat menguntungkan negara pemilik wilayah ini, namun juga karena faktor wilayah perbatasan yang menjadi arena interaksi antara lokalitas dan globalisasi yang saat ini hampir terjadi setiap hari.Â
Oleh karenanya, kasus wilayah perbatasan bisa menjadi salah satu isu permasalahan yang sensitif dan kompleks karena bersinggungan dengan tingkat keegoisan negara dalam mengeskplorasi dan mengeksploitasi sumber daya yang ada didalamnya, fakta lapangan, historis serta pertahanan bagi suatu negara dalam menjaga keutuhan wilayah kedaulatannya.
Kasus wilayah perbatasan tersebut sama kompleksnya dengan kasus yang dialami oleh dua negara berseberangan yaitu Malaysia dan Indonesia dalam memperebutkan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai salah satu bagian dari keutuhan wilayah negaranya.Â
Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di antara pulau Sabah, Malaysia dan Kalimantan Timur, Indonesia ini diketahui memiliki sumber daya akan kandungan bahan mineral yang kaya seperti gas dan minyak bumi serta keindahan alam bawah lautnya dengan ribuat habitat penyu, menjadikan negara "pemenang" dapat mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber tersebut sebagai potensi pendapatan negara sekaligus sumber pariwisata.
Sengketa antara kedua negara tersebut bermula pada tahun 1969 yang membahas perundingan terhadap penetapan batas landas kontinen yang berhubungan langsung dengan kepemilikan dari pulau Sipadan dan Ligitan.Â
Kedua pulau tersebut menjadi bahan konflik antara Malaysia dan Indonesia adalah karena adanya ketidakjelasan mengenai garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris.Â
Dalam pembahasan sebelumnya di tahun 1966, kedua belah negara sama-sama memberikan izinnya atas eksplorasi terhadap kedua negara tersebut. Dibuktikan dengan keluarnya izin terhadap perusahaan asing Pertambangan Minyak Nasional dan Japex.Â
Namun, tahun 1967, sengketa akan kedua wilayah tersebut mulai muncul, faktor yang juga memperngaruhi adalah karena tidak ada batasan yang jelas diantara Malaysia dan Indonesia mengenai seberapa luas wilayah yang dapat di eksplorasi oleh kedua negara terkait dalam penambangan akan sumber pendapatan bagi kedua negara bersengketa.Â
Menjadikan proses penyelesaiannya berlangsung kompleks hingga akhirnya kedua negara sepakat untuk membawa permasalahan sengketa tersebut pada tingkat konsiliasi tertinggi yaitu Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ).