Mohon tunggu...
Maxi Gepa
Maxi Gepa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa fakultas Filsafat Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero.

Menulis dan melukis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengkritisi Pola Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah dalam Kasus Gagal Panen Padi di Magepanda

26 September 2024   18:14 Diperbarui: 26 September 2024   18:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 

Magepanda, sebuah kampung kecil di Kabupaten Sikka, dikenal dengan hamparan sawahnya yang membentang luas. Kondisi geografis lingkungan dengan hamparan yang luas diberdayakan dengan baik oleh masyarakat sekitar sehingga tidak heran jika sebagian besar masyarakat di sana bekerja sebagai petani sawah. 

Para petani menggarap sawah untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka bersama keluarga. Mereka selalu berharap jika padi yang ditanam dapat  dituai dengan hasil yang melimpah. Dengan begitu segala kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi. Namun, terkadang kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Tahun ini misalnya, para petani setempat harus menelan kenyataan pahit gagal panen. Hampir semua pemilik sawah mengeluhkan hal yang sama; tanaman padi mereka diserang hama walang sangit.

Berbekal pengetahuan seadanya, masyarakat secara mandiri membeli obat hama untuk membasmi walang sangit. Sayangnya, populasi walang sangit yang begitu besar tidak mampu dibasmi hanya dengan menggunakan obat semprot. Setelah obat disemprotkan, walang sangit akan hilang sesaat dan datang kembali untuk menghabiskan bulir padi di sawah. 

Beberapa masyarakat masih bisa menuai sedikit dari hasil sawah yang digarap akan tetapi beberapa di antaranya mengeluh lantaran padinya habis diserang hama sebelum waktu menuai tiba. Selain hama, ada faktor penyebab lain dari gagal panen yang dialami oleh para petani di Magepanda. 

Para petani mengeluh soal minimnya curah hujan. Adapun Curah hujan yang rendah sangat memengaruhi kelembaban tanah dan pasokan air untuk mengairi sawah. Biasanya para petani mulai menanam padi pada bulan Januari. Namun, tahun ini para petani harus menanam padi pada bulan Maret, karena di bulan Januari dan Februari yang lalu, hujan tak kunjung turun. Mereka menanam padi pada bulan Maret, kemudian bulan Mei curah hujan mulai menurun. Para petani kewalahan mencari air untuk mengairi sawah dengan padi yang sudah mulai bertumbuh.  

Guna mengatasi masalah kelangkaan air, petani berjuang dengan membuat sumur-sumur bor di sekitar daerah persawahan. Namun, persoalan belum mampu teratasi sepenuhnya, keadaan tanah yang kering akibat curah hujan yang minim menyebabkan kelembaban tanah berkurang dan suhu tanah naik sehingga air sumur yang digunakan untuk mengairi sawah sangat cepat mengering. Air sangat cepat meresap ke dalam tanah lantaran kelembaban tanah yang menurun. "Saya mau bajak bagaimana, air tidak ada. Air tanah ini, isi di atas langsung meresap memang. Tahun-tahun sebelumnya kita sedot air begini dua tiga hari belum kering. Sekarang kita sedot begini kering memang" demikian dengan nada keluh Bapak Ambrosius Lena bercerita saat diwawancarai. Para petani sudah cukup berjuang mengeluarkan biaya produksi yang cukup besar, akan tetapi, mereka tetap tidak menuai hasil yang baik.

Sebelumnya, di sekitar wilayah Magepanda terdapat sebuah aliran sungai yang sangat penting bagi pengairan sawah milik warga. Ada juga sebuah bendungan yang dibuat sekitar tahun 1990-an untuk menampung air sungai yang kemudian bisa didistribusikan ke lahan-lahan warga. Saat ini bendungan tersebut tidak lagi bisa menampung air lantaran pasir dan tanah erosi dari gunung menumpuk di bendungan. Air yang mengalir tidak lagi ditampung di bendungan melainkan terus mengalir ke muara. Dengan demikian, airnya tidak dapat didistribusikan untuk mengairi sawah. Timbunan pasir di bendungan tersebut harus dikeruk kembali, agar bendungan itu dapat berfungsi dengan baik. Miris sekali, kebutuhan masyarakat akan bendungan yang baik dan berfungsi maksimal kerap dimanfaatkan oleh para politikus pada musim kampanye. Janji untuk memperbaiki bendungan sering digaungkan untuk mendulang suara, tetapi tidak pernah terealisasi.  

Para petani Magepanda saat ini menemukan jalan buntu, mereka membutuhkan bantuan dari aparat pemerintahan untuk membantu mengatasi persoalan yang sedang mereka hadapi. Para petani mengakui bahwa mereka sering mengeluh kepada pemerintah, tetapi tidak ditanggapi. Pemerintah seharusnya lebih peka menanggapi persoalan yang dialami warganya. Aparat pemerintah harus lebih giat turun ke lapangan dan membuat kajian sederhana untuk menindaklanjuti persoalan yang dihadapi masyarakat. Bagaimana petani bisa berkembang jika pemerintah jarang berada bersama para petani, mendengar keluhan mereka dan berdiskusi bersama untuk mencari solusi dari persoalan yang dihadapi? Oleh karena itu, tidak heran jika kebijakan yang kurang tepat sasar sering dikeluarkan akibat buta dan tulinya pemerintah pada kebutuhan rakyatnya. 

Dalam upaya peningkatan kualitas pertanian, pemerintah seharusnya mengedukasi masyarakat. Jika para petani memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang usaha pertanian, niscaya mereka akan menjadi petani yang berkualitas. Dengan wawasan yang cukup mereka akan mampu memaksimalkan potensi lahan yang mereka miliki. Beberapa petani tua mengaku pernah mengikuti pelatihan pertanian beberapa puluh tahun silam dan beberapa petani muda mengaku belum pernah mengikuti pelatihan bertani yang diselenggarakan oleh pemerintah. Para petani muda selalu belajar bertani secara otodidak demi memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup. Pemerintah memiliki kewajiban untuk membangun etos petani yang lebih berkualitas demi hasil panen yang lebih baik. Kebijakan untuk mengadakan pelatihan itu seharusnya dibuat secara konsisten dan menyapa seluruh petani, setidaknya, beberapa orang dari setiap kelompok tani harus memiliki wawasan bertani yang baik.

Awalnya, di Magepanda, pemerintah pernah mendesak agar dibentuk kelompok tani, akan tetapi kelompok kecil yang baru terbentuk ini kurang diperhatikan lagi, "Kami tidak diberi bekal dalam kelompok-kelompok itu, tugas kelompok hanya beli pupuk dan beli solar" demikian tutur Agustinus Biri, seorang pemuda berusia 38 tahun yang saat ini giat mengolah lahan pertanian miliknya di Magepanda. Para petani muda membutuhkan bekal pemahaman yang cukup untuk bertani. Peningkatan pemahaman akan sangat menunjang produktivitas mereka dalam bertani. Untuk itu, kompetensi aparat negara harus baik sehingga mereka bisa mensosialisasikan cara bertani yang baik dan benar kepada masyarakat dengan berbagai pendekatan yang beragam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun