Akhir - akhir ini iklim di dunia sedang cukup kacau, dimana saya merasakan sendiri akan perubahan iklim yang drastis dan disertai dengan banjir dimana - mana. Panas yang ekstrim juga melanda kota Jakarta, dimana suhu tertingginya adalah 36,6 derajat celcius. Ketika saya sedang sekolah, cuaca sedang panas - panasnya, tetapi ketika pulang sekolah langit mendadak gelap dan sekitar pukul 3 hujan membanjiri kota Jakarta.
Kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta, menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim yang semakin meningkat. Berdasarkan laporan terbaru dari London Stock Exchange Group (LSEG) berjudul *Net Zero Atlas*, hampir separuh dari kota-kota besar dunia diperkirakan akan menghadapi bencana iklim pada tahun 2050, baik itu dalam bentuk banjir, gelombang panas, badai tropis, maupun krisis air. Jakarta sendiri, sebagai kota pesisir yang memiliki infrastruktur yang sudah sangat padat, sangat rentan terhadap ancaman tersebut. Kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh pemanasan global dapat menyebabkan banjir yang merendam daerah pesisir kota ini, mengancam rumah dan infrastruktur vital, serta menggangu kehidupan sehari-hari penduduknya.
Fenomena pemanasan global yang terjadi saat ini memang sudah dapat dirasakan dampaknya. Suhu rata-rata Bumi yang naik hanya sebesar 1,3 derajat Celsius saja, sudah cukup untuk memicu bencana besar di berbagai tempat. Sebagai contoh, banjir bandang yang terjadi di Valencia, Spanyol, beberapa waktu lalu, menunjukkan bagaimana hujan yang turun secara intens selama delapan jam bisa menghancurkan infrastruktur kota dan merenggut nyawa. Perubahan iklim yang semakin parah ini menunjukkan bahwa meskipun kenaikan suhu Bumi tergolong kecil, dampaknya sangat besar dan mencakup banyak aspek kehidupan manusia. Jika suhu Bumi terus meningkat hingga 2,6 derajat Celsius seperti yang diperkirakan dalam skenario yang ada, maka bencana iklim yang lebih parah dan sering akan menjadi kenyataan bagi kota-kota besar di dunia.
Pemanasan global itu sendiri adalah hasil dari peningkatan gas rumah kaca (GRK) yang terperangkap di atmosfer Bumi. Gas-gas ini, seperti karbon dioksida (CO2), metana, dan nitrous oxide, disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak dan batubara) untuk kebutuhan industri, transportasi, dan energi. Selain itu, deforestasi atau penggundulan hutan juga menjadi salah satu penyebab utama dari peningkatan konsentrasi GRK. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap CO2, kini semakin berkurang, mengurangi kemampuan alam untuk menstabilkan suhu Bumi. Akibatnya, kita menghadapi berbagai masalah seperti perubahan iklim ekstrim, meningkatnya frekuensi bencana alam, kenaikan permukaan laut yang mengancam kota-kota pesisir, serta kerusakan ekosistem yang mengganggu ketahanan pangan global.
Selain dampak fisik dan lingkungan, pemanasan global juga berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial. Misalnya, migrasi manusia yang semakin banyak akibat bencana alam yang menghancurkan tempat tinggal, serta persaingan untuk mengakses sumber daya yang semakin langka, seperti air bersih dan pangan. Kita dapat melihat bagaimana perubahan iklim mengarah pada meningkatnya ketegangan sosial dan bahkan konflik di beberapa wilayah, karena sumber daya alam yang semakin terbatas. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang harus ditanggapi secara serius oleh seluruh komunitas global.
Namun, dampak perubahan iklim ini tidak bersifat merata di seluruh dunia. Meskipun semua negara akan terpengaruh, wilayah-wilayah tertentu akan merasakan dampak yang lebih besar daripada yang lain. Jakarta, misalnya, sebagai kota pesisir, akan menghadapi ancaman banjir yang semakin besar seiring dengan naiknya permukaan laut. Selain itu, polusi udara dan deforestasi yang terjadi di sekitar Jakarta juga memperburuk kualitas hidup penduduknya. Di sisi lain, di Amerika Serikat, dampak perubahan iklim lebih bervariasi. Di wilayah barat, misalnya, kebakaran hutan semakin sering terjadi, dengan api yang menyebar dengan cepat akibat suhu yang sangat panas dan kekeringan yang berkepanjangan. Sementara itu, di bagian timur AS, badai tropis dan banjir semakin meningkat frekuensinya, menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur dan rumah-rumah penduduk.
Solusi yang bisa diambil dengan adanya permasalahan iklim pemanasan global ini adalah ada beberapa cara. Mulai dari meminimalkan gas emisi karbon yaitu dengan cara mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Contohnya adalah dengan cara berjalan kaki atau naik sepeda ketika bepergian dengan jarak dekat, juga bisa beralih ke kendaraan listrik untuk mengurangi gas emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor.
Cara lain menurut saya adalah dengan melakukan go green yaitu dengan cara mengurangi penebangan pohon / penggundulan hutan. Hal ini harus dilakukan karena pohon berpengaruh besar terhadap iklim dunia. Selain itu sebagai warga dunia, kita juga bisa ikut aktif menanam tanaman sebagai bentuk partisipasi kita dalam menyelamatkan bumi dari iklim yang ekstrim.
Tantangan besar yang dihadapi oleh umat manusia saat ini adalah bagaimana kita bisa bertindak cepat dan efektif dalam menangani perubahan iklim. Waktu yang semakin mendesak membuat kita tidak bisa lagi berpangku tangan atau menunggu perubahan terjadi dengan sendirinya. Solusi yang kita pilih harus bersifat global dan inklusif, melibatkan semua pihak, dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat sipil, untuk menciptakan perubahan yang nyata dan mengurangi dampak dari pemanasan global bagi generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H