[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Kompensasi BBM-Image Metronews"][/caption]
Dalam perbincangan kami di kantor, atasanku mengamini keinginan pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Biar tak manja itu masyarakat kelas menengah ke atas, yang setiap hari menghisap subsidi negara yang dianggarkan untuk stok energi ini. Subsidi BBM yang mencapai 300 Trilyun harus digelontorkan, agar masyarakat tetap mendapatkan bensin dan solar dengan harga murah.
Saya sedikit mencerna, persetujuan atasan saya ini untuk pemerintah menaikkan harga BBM. Tetapi kesetujuannya itu, bukan tanpa syarat. Ada hal yang perlu diperhatikan terkait pengurangan subsidi bahan bakar ini. Atasan saya memberi catatan pada pengalihan subsidi bahan bakar ini.
Sebelumnya, sudah hampir setahun ini, atasan saya menjadi komisaris di perumnas. Hal yang memberikannya ruang untuk melihat persoalan di negeri ini dengan lebih seksama dan setidaknya ia memiliki gambaran tentang hak-hak dasar masyarakat. Masyarakat butuh papan/tempat tinggal yang layak. Ini yang membuatnya melihat potensi lain dari pengalihan subsidi BBM ke hal yang lebih menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Dan terlihat dapat tepat sasaran.
Tak sedikit masyarakat di negeri ini, dari pengalaman atasan saya ini belum ‘kebagian’ merasakan hidup yang layak, karena persoalan tempat tinggal yang layak tak terselesaikan. Berapa banyak rumah yang bisa dibangun setiap tahunnya kalau pengalihan subsidi bahan bakar ini dilakukan dengan benar. Meski mungkin jumlah rumah layak untuk masyarakat miskin yang bisa dibuat, akan sulit sebanding dengan jumlah keluarga miskin yang membutuhkannya. Skala prioritas bisa diterapkan. Proyek-proyek perumahan susun di perkotaan bisa digenjot, dengan tambahan dari subsidi ini, mengingat kemenpera juga memiliki anggaran untuk rumah layak bagi masyarakat tak mampu. Di kampung-kampung, bedah rumah bisa digalakan, mengingat jumlah tanah masih banyak. Pengalihan subsidi BBM ini bisa menjadi program jangka panjang, yang tiap tahunnya terus dapat digulirkan.
Saya cukup mengerti dan mulai mengamini pernyataan atasan saya. Di sisi lain, menghadapi keinginan masyarakat yang semakin konsumtif, setengah APBN habispun tak mencukupi ‘kebutuhan’ yang terus bertambah. Kita lihat tiap harinya pertumbuhan jumlah kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, atau kendaraan roda-roda lainnya semakin meningkat. Meningkatnya tak sedikit pula, ribuan bahkan jutaan tiap tahunnya. Bisa dilihat Jabodetabek yang menjadi cerminan kehidupan perkotaan di negeri ini. Ribuan liter bensin dan solar terasa semakin berkurang karena kebutuhan yang terus meningkat. Sedang masyarakat, terutama kelas atas tak terima kalau cukup memiliki satu atau dua mobil, hampir sama juga demikian dengan masyarakat kelas menengahnya.
Mobil-mobil plat hitam masih terus menikmati subsidi BBM, yang masing-masing mobil bisa berpuluh liter setiap isi. Seperti tak ada kontrol. Masyarakat yang mampu lebih senang merasa tak mampu untuk terus menikmati subsidi BBM yang sejatinya untuk kalangan kurang mampu.
Lantas apa lagi? Dalam perkembangan tarik ulur kenaikan harga bahan bakar ini sebenarnya saya lebih setuju kalau ada dua harga dalam perubahan kenaikan BBM ini. Hal ini memungkinkan perlindungan terhadap kelompok kurang mampu tetap dapat dilakukan dengan sebaiknya. Tetapi lagi-lagi, masyarakat kita terkenal dengan ‘otak kancil’nya. Apapun bisa diakali. Persoalan menjadi pelik, dengan melihat kemungkinan tetap adanya penyalahgunaan bahan bakar yang tetap di subsidi dengan misalnya angkutan-angkutan dapat menjual BBM ke mobil pribadi. Lagi-lagi BBM dinikmati mereka yang tak berhak. Belum lagi keluhan para pengusaha SPBU, yang belum-belum sudah merasa tidak mampu menangani pelayanan dengan sistem dua harga itu. Catatan saya pada opsi ini, aturan apapun bisa dibuat, tetapi ketika itu tak menyentuh level kesadaran individu-individu untuk apa aturan itu dibuat, ya sudahlah, hukum rimba boleh berlaku. Apapun menjadi sah.
Kembali pada pengalihan subsidi BBM ke penyediaan perumahan layak untuk masyarakat miskin, menurut saya ini akan menjadi bagian penting dari perubahan mendasar dari negeri ini. Di tanah air, tempat tumpah darah kita, bagaimana mungkin kita dapat membangun sebuah peradaban yang luhur, kalau untuk tinggal dengan tenang di tempat yang layak tidak terpenuhi. Bisa jadi, anak-anak yang dibesarkan di tempat-tempat yang terus menjadi tempat singgah untuk mereka, dari tempat satu ke tempat yang lain, tak pernah mengenal arti keterikatan batin pada setiap tempat di negeri ini. Bagi mereka setiap tanah yang mereka pijak adalah tempat mampir belaka, tak lebih.
Pada akhirnya saya setuju, harga BBM ini dinaikkan tentu seperti atasan saya dengan gagasan perumahan layak bagi masyarakat kurang mampu diterapkan.
Semalam saya melihat Pak Jero Wacik mencoba menjelaskan duduk perkara kenaikan BBM ini. Pemerintah mau tidak mau harus menaikkan harga BBM, agar APBN tidak jebol. Ok itu tak jadi soal, setidaknya bagi saya. Pak Jero Wacik bilang pemerintah sudah menyiapkan kompensasi untuk masyarakat miskin. Beras untuk masyarakat miskin (Raskin) sudah siap didistribusikan untuk menopang dampak kenaikan BBM, ditambah dengan ribuan uang ratusan ribu siap dibagikan ke masyarakat.
Lah... ! Ini mah cuman ampasnya doank. Ibarat mancing dikasih ikan terus, tetapi kailnya tidak pernah diberikan. Saya coba membayangkan, bagaimana kalau tunjangan-tunjangan dan over head belanja kebutuhan pejabat itu diganti dengan raskin dan uang ratusan ribu tadi yang Cuma sekian lembar per keluarga menerimanya. Enak tidak ya?
Lalu kemudian saya kembali berangan-angan tentang apa yang dikatakan atasan saya soal pengalihan subsidi BBM ke pengadaan perumahan layak untuk masyarakat miskin dan kurang mampu. Ini agaknya bisa menjadi obat pelipun lara bagi masyarakat yang akan tentu dihajar dampak kenaikan harga BBM, yang biasanya diikuti dengan naiknya kebutuhan pokok masyarakat.
Lantas dalam hati saya berguman, kalau rumah saja tentu tak cukup. Pengalihan subsidi bahan bakar itu seharusnya bisa diarahkan ke akses pendidikan bagi masyarakat. Minimal sampai anak-anak di negeri ini kuliah, kalau masih berat, paling tidak sampak sekolah menengah atas dengan prioritas sekolah kejuruan. Agar anak-anak di negeri ini memiliki bekal memadai menghadapi setiap gejolak global yang sepertinya akan terasa semakin hebat.
Anggaran Pendidikan di tahun ini nampak meningkat. Secara quantitas, nilainya sudah sesuai amanah undang-undang dasar, 20 persen APBN untuk pendidikan yang mecapai 331,8 T, naik 6,7 persen dari anggaran 2012 (Kompas, 16-08-2013). Namun tetap saja, jumlahnya sebesar itu 60-70 persennya biasanya habis untuk belanja pegawai dan operasional birokrasi. Nampak terasa berat untuk memberi ruang pada anak-anak negeri ini mendapatkan kesempatan kuliah layak dan gratis. Paling tidak saya memimpikan ini. Kalau Indonesia bisa menyekolahkan anak-anak negeri ini sampai lulus S1, ini akan menjadi modal penting bagi negeri ini untuk menghadapi persaingan di depan.
Jangka pendeknya barangkali, dengan pengalihan subsidi BBM ini, anak-anak potensial negeri ini bisa dijaring sebanyaknya, dan dibiayai pendidikannya sejauh ia mampu, terutama bagi mereka yang tidak mampu. Hal ini bisa menjadi salah satu pintu bagi mereka mengubah nasib. Ini lebih baik daripada menerima sesaat raskin dan jatah bulanan yang hanya sekian ratus ribu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H