nenekku mengajarkan kesederhanaan dalam hidup dengan keinginanya naik haji dan menyembelih kambing untuknya dan untuk pamanku yang telah lampau berpulang saat lebaran haji nanti. nenekku tahu keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya apa, tak muluk tak terlampau berlebihan bagi orang yang telah sepuh macamnya.
sesekali dia bilang, 'nek muleh tukokke ayam klangenanku kuwi lo le..!' tak apalah sesekali. makan secukupnya, tak harus melulu enak setiap hari. sesekali makan enak tak apa. apa yang disebut makanan enak bagi nenekku hanya sekedar ayam. itu pun ayam potong yang harganya lebih murah. ayam kampung dagingnya alot katanya, tak cocok untuk giginya yang tiggal beberapa. ayam sekedar ayam yang dimasak biasa, tak berlebihan dengan bumbu-bumbu tambahan macam di restoran-restoran mewah, di kasih kecap asin dari jepang lah, saus tomat dari cinalah, keju numer wahid dari belanda lah, atau cabai khusus dari india. bagi nenekku cukup mudah, bikin sayur santan saja. buat bumbunya seperti kuah untuk lontong tuyuhan itu, kuahnya yang buket dan gurih. nenekku yang seumur-umur hampir selalu tinggal di rumah, paling jauh berpergian beberapa tahun sekali ikut ziarah wali songo atau hanya ke kota kabupaten untuk ikut pengajian dan istighosah bulanan. soal makanan enak, paling banter nenekku tahu lontong tuyuhan khas rembang itu, lontong dengan sayur mirip opor ayamnya ayam kampung, kuahny buket dan gurih. selain itu paling sate kambing kesukaan mendiang kakek dulu. tapi yang terenak tetap ayam bagi nenekku, yang tak setiap saat dapat ada. bukan karena tak punya uang. seingatku, uang nenekku cukup banyak, hanya sekedar untuk membeli ayam satu ekor termasuk bumbu-bumbunya pasti mampu. lebih karena keinginannya untuk dapat segera menyembelihkan kambing korban untuk putera semata wayang, karena saudara anak-anak nenekku lainnya semua perempuan, dan untuk dirinya. selain keinginannya untuk menyusul jejak mendiang kakekku yang telah berangkat ke tanah suci beberapa tahun sebelum ia menghadap ke haribaan tuhan untuk selamanya.
keinginan nenekku yang tak neko-neko. tak pernah aku dengar nenekku merengek pada kakek dulu untuk dibelikan emas, permata, berlian, atau perhiasan apapun. atau sampai sekarang tak pernah aku dengar nenek minta dibelikan baju mewah atau mukena mahal pada kami cucu-cucunya atau pada anak-anaknya. baju yang dipakai juga baju yang hanya tiga potong dipakai bergantian tiap hari, mukenannya pun ya mukena itu-itu saja. dan nenekku pun tak pernah aku dengar meminta untuk dibelikan smartphone, atau katakanlah hp yang bisa untuk chat atau facebookan, aku yakin untuk yang ini karena usianya sudah tak memungkinkan untuk mengenal teknologi, mengingat dulu nenek hanya gadis desa biasa.
yang aku tahu, nenekku hanya memiliki dua keinginan besar dalam hidupnya, dua-duanya harapan terbesarnya untuk bekalnya nanti di akhirat. tentu ayam klangenannya itu sebagai selingan, di saat-saat hari-hari besar tertentu, seperti lebaran kemarin misalnya. darinya aku belajar tentang kesedarhanaan dan cara mengetahui kebutuhan hidup yang aku perlukan. sejalan dengan pesan orang-orang tua dulu, "urip kuwi sak kepenake, sak butuhe, sak cukupe, sak benere, sak wutuhe.". hidup itu seenaknya (dibuat enak dalam kondisi apapun), sebutuhnya, secukupnya, sebenar-benarnya, dan sesempurnanya.
untuk nenekku, thanks nek. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H