[caption id="attachment_202035" align="aligncenter" width="480" caption="Sudut Museum Maluku, Utrecht, Netherlands 2012."][/caption] Museum Maluku (MuMa) di Utrecht, yang dalam bahasa Belanda, Moluks Historij Museum (Museum Sejarah Maluku), merupakan pusat sejarah dan kebudayaan Maluku, dengan isi koleksi sebagian besar memuat tentang masyarakat Maluku di Belanda (khususnya orang-orang Maluku yang migrasi ke Belanda). Sebelum bercerita tentang MuMa, baiknya saya cerita tentang Sejarah Orang Maluku di Belanda yang disadur  kembali dari brosur yang berasal dari MuMa. Sejarah orang Maluku di Belanda (sumber: MuMa) Maluku sangat terkenal sebagai kepulauan penghasil rempah (Cengkeh dan Pala), sehingga para pedagang dari berbagai belahan dunia datang langsung untuk bertransaksi. Kedatangan pedagang-pedagang ini juga bagian dari penyebaran Agama, dan penguasaan politik . Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda silih berganti menguasai kepulauan ini. Hadirya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) memberi pengaruh besar bagi perubahan Maluku. VOC memonopoli perdagangan dan politik hingga dua abad. Kerjasama dan perlawanan terjadi bersamaan dan silih berganti antara orang-orang Maluku dan Penjajah Belanda. Dalam PD II, ada orang Maluku yang ikut membantu Belanda melawan Jepang da nada yang menentang kembalinya pemerintah Belanda seusai perang tersebut. Dalam dekolonisasi Indonesia, ada orang-orang Maluku yang berada di pihak Belanda dan ada yang di pihak Indonesia. Sebanyak 12. 500 orang datang ke Belanda sebagai salah satu bagian akhir dekolonisasi ini. Mereka bertolak dengan kapal  Kota Inten menuju pelabuhan Rotterdam pada 21 Maret 1951. Ini adalah perjalanan dalam rombongan terlama dan terjauh bagi mereka. Mereka semua percaya bahwa akan kembali ke tanah air dengan segera, dan tidak ada satupun yang menduga akan tinggal di Belanda dalam waktu lama. Setibanya di Belanda, mereka disebar di berbagai penjuru Belanda, di tempat-tempat liburan, biara, tempat untuk pengangguran dan tempat pertahanan Jerman dari jaman perang seperti Wasterbork dan Vught. Tempat-tempat ini jauh terasing dari pemukiman masyarakat Belanda. Bagi orang Belanda, mereka adalah koloni bangsa Asing terbesar yang pernah ada. Karena nasib yang tak kunjung jelas, hubungan orang-orang Maluku dengan pemerintah Belanda menjadi buruk, ditandai dengan kecurigaan, salah paham dan bentrokan. Berbagai konflik pun terjadi termasuk diantara orang-orang Maluku sendiri, seiring dengan perbedaan Agama, daerah dan pandangan politik. Salah satu perpecahan penting terjadi antara orang-orang yang berasal dari Maluku Tengah (Orang Ambon) dengan mereka yang berasal dari Maluku Bagian Selatan (`Orang Kei`). Anak-anak yang ikut dalam rombongan besar ini, menjadi dewasa pada tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Mereka (generasi ke-2) memilih jalan kekerasan untuk meminta perhatian untuk cita-cita Negara sendiri dank arena kemarahan mereka atas nasib orang tuanya. Kekerasan demi kekerasan terjadi di Belanda, seperti pendudukan di Wassenaar (1970), Amsterdam (1975), Bovensmilde (1977), Assen (1977); Pembajakan kereta api di Wijster (1975) dan De Punt (1977) sangat menggoyahkan Belanda. Saya tambahkan, Pada masa generasi ke-3 dan hadirnya generasi ke-4 (saat ini), Orang Maluku mulai menyebar dan semakin mengakar di masyarakat Belanda. Bahkan salah satu pemain sepak bola tim nasional Belanda adalah berasal dari generasi ini. Di kalangan masyarakat Belanda, orang Maluku dikenal dengan geng Motor Gede `Satu Darah` Sejarah orang Maluku di Belanda belumlah tuntas, selama akar permasalahan belum diselesaikan dengan bijak, ditambah dengan goyahnya pemerintah Belanda akibat krisis Ekonomi. Museum Maluku (MuMa) MuMa terletak di persimpangan Jalan Kruisstraat dan Jalan Biltstraat , tidak jauh dari Stasiun pusat kota Utrech. Saya mengunjungi museum ini bersama teman yang kuliah di Belanda. Kami bertemu di stasiun pusat Utrech, sesudah ngobrol2 dan minum kopi sebagai penambah tenaga, kami menuju museum dengan menumpang Bus. Cukup bertanya kepada petugas di Stasiun, tentang lokasi Museum Maluku, mereka dengan cepat akan mengarahkan ke Bus apa yang seharusnya dinaiki. Rupa-rupanya Museum ini cukup terkenal di Kota Utrech. Sesudah menaiki Bus yang melewati MuMa, kurang dari 30 menit kami sudah turun di halte dekat museum. Saya tidak begitu sulit menemukan MuMa, karena sebelumnya sudah melihat di google earth, terutama pada foto 360 derajatnya, hingga dengan mudah saya mengenali lokasinya. MuMa terletak di persimpangan jalan, dengan  tulisan besar pada sudut gedung. Kami pun segera masuk ke dalam MuMa dan membeli tiket. Petugasnya cuma satu orang saat itu, Ibu Neli namanya. Beliau dengan ramah menyambut dan mempersilahkan kami masuk. Gedung MuMa adalah bekas salah satu gedung Tua, yang diperbaiki interiornya. Ruang pamer menempati ruangan yang diperbaiki tersebut. Sementara ruang auditorium adalah ruangan di gedung baru bagian dalam, juga terdapat taman/inner court untuk kegiatan ruang luar/outdoor. Di MuMa juga terdapat cafeteria dan dijual cinderamata khas Maluku (Buku, Album Musik, kartu pos) Ruang koleksi MuMa dimulai dari data sejarah tentang Maluku, diawali dengan masuknya Islam dan Kristen sampai masa colonial Belanda. Ruang selanjutnya yang merupakan ruang koleksi terlengkap serta detail adalah ruang koleksi tentang datangnya generasi awal orang-orang Maluku ke Belanda. Segala hal yang berkaitan dengan proses berangkat sampai tibanya rombongan eksodus dari Maluku ke Belanda pasca Agresi Militer Belanda tersaji dengan baik dan menarik, baik berupa foto, video, rekaman suara dan barang-barang yang dibawa oleh orang-orang Maluku tersebut. Bahkan dibuatkan ruang kamar dan dapur dengan furniture asli sejak 1951. Di ruang-ruang ini saya ikut merasakan betapa sedih dan ironisnya para mantan tentara KNIL asal Maluku yang memilih untuk menetap di Belanda ketimbang tanah airnya sendiri. Ruang-ruang pamernya begitu kuat dengan `ruh` yang membawa kita serasa di tahun 1951. Auditorium MuMa ditata dengan akustik yg baik untuk pertunjukan musik, tari dan teater. Masyarakat Maluku di Belanda sering memanfaatkan ruang ini untuk berbagai acara pertunjukan. Di bagian akhir ruang pamer, saya menjumpai satu keluarga Maluku yang adalah generasi ke-3 dan ke-4 sedang mengunjungi dan berfoto2 di Museum ini. Mereka berperawakan campuran Ambon-Belanda, cantik dan eksotis. Terlepas dari berbagai koleksi dan interaksi dengan pengunjung museum, kabar tak sedap berhembus bahwa MuMa akan segera resmi ditutup mulai 1 Oktober 2012 ini. Ketika usai melihat-lihat koleksi museum, saya kembali menjumpai Ibu Nelly di meja receptionist. Sembari memesan secangkir cappuccino di kafe museum yang juga dilayani oleh Ibu Nelly, kami menanyakan perihal nasib museum ini. Ibu Nelly membenarkan bahwa MuMa akan resmi ditutup karena subsidi dana dari pemerintah Belanda akan dihentikan, sehingga MuMa sdh tidak bisa beroperasi lagi. Dengan nada sedih, Ibu Nelly menuturkan `Habis mau gimana lagi, dana operasional untuk museum ini cukup besar, pihak selain pemerintah tidak akan mau membiayai dengan dana besar tersebut` Saya lanjutkan dengan pertanyaan tentang bagaimana nasib koleksi-koleksi MuMa, beliau menjawab datar `saya tidak tahu akan dikemanakan koleksi-koleksi isi museum ini` Tragis memang, hal ini merupakan dampak dari krisis ekonomi yang sedang dihadapi pemerintah Belanda, juga beberapa Negara Eropa lainnya. Pemotongan anggaran untuk sejumlah departemen tak terelakkan lagi, termasuk pemutusan dana operasional untuk MuMa ini. Museum dengan berbagai koleksi menarik, bukti sejarah hadir dan berkembangnya orang-orang Maluku di Belanda hanya akan bertahan sampai 30 September 2012. Lantas, bagaimana nasib MuMa selanjutnya? (Catatan perjalanan Maulana Ibrahim, Utrecht, Netherlands, Juni 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H