Itulah judul sarasehan yang dilaksanakan oleh Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Sabtu 23 Juli 2011, di kampus UKDW, Jogja. Sarasehan Nasional yang menghadirkan panelis para Begawan Arsitektur Indonesia, yaitu : Prof. Gunawan Tjahjono (UI), Prof. Josep Prijotomo (ITS), Prof. Totok Rusmanto (Undip), Dr. Yuswadi Saliya (Unpar), Dr. Galih Wijil Pangarso (UB) dan Ir. Sutrisno Murtijoso (LSAI) menjadi penting untuk dicermati secara lebih serius mengingat kondisi ber-arsitektur di Indonesia yang cenderung terlalu dipengaruhi oleh arsitektur manca negara sementara arsitektur warisan nenek moyang sebagaimana konsep bangunan-bangunan tradisional sering ditinggalkan.
Sarasehan dengan peserta terbatas ini sebagian besar diikuti oleh kalangan akademisi dari berbagai kampus di Jawa (meskipun bertaraf Nasional, sayang sekali hanya saya satu-satunya peserta dari luar Jawa, apakah karena publikasi atau undangan yang terbatas?)
Sarasehan ini bertujuan untuk mengenali tantangan keindonesiaan di masa datang dan menyiasati metode berarsitektur yang dibutuhkan untuk Indonesia.
Dengan suasana yang serius namun tetap santai oleh ulah para panelis yang sesekali bercanda. Prof. Josep bahkan mengkritik tegas tentang kurikulum pendidikan arsitektur di beberapa kampus besar di Indonesia (khususnya di Jawa) sambil menceritakan bahwa di ITS bahkan belum ada mata kuliah tentang Arsitektur Nusantara, sehingga beliau “nganggur” di bidang keahliannya tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mata kuliah tentang Arsitektur Indonesia, entah dengan nama Sejarah Arsitektur Indonesia, Arsitektur Tradisional dan Vernakular atau Arsitektur Nusantara sering dianggap sebagai mata kuliah pendamping bahkan ada yang hanya masuk kategori mata kuliah pilihan (yang tentu tidak akan dipilih oleh semua mahasiswa)
Bagaimana mau meng-Indonesia karya arsitektur kita jika sedari bangku kuliah saja tidak diajarkan dengan penuh tentang Arsitektur Tradisional Indonesia? Sebagaimana diungkap Oleh Prof. Josep dengan nada sindiran “ Apakah ada kampus di Eropa yang mengajari mahasiswanya tentang arsitektur Indonesia?...Tidak ada. Apakah ada kampus di Indonesia yang tidak mengajari tentang arsitektur Eropa (yunani-romawi) ?...Tidak ada!!
Kata beliau “ Kita memang tertinggal, dan karena itu perlu mengejar ketertinggalan itu. Mengejar ketertinggalan, perlukah meninggalkan tinggalan? “ Arsitektur Nusantara harus setara, sepadan dan sejajar dengan arsitektur Eropa, tegas beliau.
Sudah saatnya kita berani untuk mempelajari arsitektur Nusantara dengan porsi yang lebih besar daripada mempelajari arsitektur manca Negara, sehingga kurikulum pendidikan asritektur perlu dibongkar, ungkap beliau.
Prof. Totok bertanya dengan sejumlah gambar-gambar desain yang diperlihatkan di presentasinya tentang karya-karya arsitek ternama manca negara, mahasiswa mana yang tidak mengenal karya-karya tersebut?...
Informasi yang membanjir begitu pesat tentang karya-karya ternama para arsitek manca negara (termasuk juga dalam perkuliahan) tidak diimbangi dengan ilmu tentang arsitektur Indonesia, arsitektur tradisional yang tersebar dari sabang sampai merauke.
Menurut Prof Totok, Arsitektur Tradisional sering dipelajari dari pendekatan sosial budaya saja, padahal dari sisi teknologi bangunan (Building science) arsitektur tradisional kita kaya akan ilmu yang sangat tepat diterapkan untuk masa kini. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan kepada para peneliti tentang ilmu bangunan, yang membahas keunggulan arsitektur tradisional, khususnya terhadap iklim tropis. Lihatlah bagaimana atap-atap rumah tradisional yang dibuat tinggi dengan rongga atap yang luas, untuk mengatur sirkulasi udara agar ruangan yang dinaunginya tidak panas (termasuk pada Arsitektur indis dan arsitektur jengki –arsitektur Indonesia perpaduan antara tradisional dan modern-), ungkap Prof Totok.