Kabar viral marak terjadi karena estafet media - media masyarakat yang berasal dari kiriman seseorang atau sebaliknya. Beberapa orang menjadi terkenal karena kreativitas, motivasi dan kelucuan. Kategori lain masih menjadi perdebatan netizen terkait baik buruknya.Â
Respon orang tentang sesuatu, memang punya tingkat emosional berbeda - beda. Apalagi jika sudah mengemban kepentingan laten berkedok pribadi. Sangatlah sensitif pada konten - konten berisi kritikan atau lelucon yang belum pasti ditujukan ke golongan mudah baper tersebut. Bisa - bisa petani membabat rumput, disangka mengikuti suatu golongan karena barang yang dibawanya.Â
Mahasiswa disangka memilih salah satu paslon karena mengacungkan tangan saat diabsen namanya oleh sang dosen atau anak kecil yang bermain tembak - tembakan dengan imajinasi jari berbentuk pistol. Sampai undangan pernikahan dari sanak saudara dicurigai merupakan berita hoax. Dan juga emak - emak naik motor belok kiri, gak sengaja sein kanan distempel kapitalis. Sedikit - sedikit gak viral, bukan di Indonesia namanya.
Tapi tentu bukan berkaitan dengan sila ke - 3 dari Pancasila, lantas seluruh pelosok Indonesia bersatu untuk memviralkan sesuatu. Melainkan disebabkan respon masyarakat Indonesia berlabel netizen yang tingkat sensitivitasnya melebihi perempuan yang sedang halangan.Â
Respon tersebut bisa berupa mengomentari cuitan atau postingan, mengetag pelaku yang sedang tersohor, menyangkutkan hal tersebut dengan masalah pribadi pelaku, dan keunikan - keunikan untuk mengimplementasikan sisa mulut ke dalam tulisan.Â
Dibilang apes juga bisa, seiris dari ragam netizen menjadi tersangka. Karena tak sengaja dibaca oleh pelaku dengan laporan dugaan penghinaan. Padahal masih banyak komentar lain yang dinilai lebih pedas. Mungkin balak untuk netizen tersebut sudah mode on. Hukum telah menggagalkan keberuntungan mereka hari ini buat lolos dari kebebasan berpendapat.Â
Semoga saja Indonesia bukan negara dengan kritik negatif terbanyak karena masyarakatnya. Mari kita mulai bersama belajar memposisikan antara kritis dan celaan. Seperti membedakan mana yang hak dan mana yang bathil.
Berlanjut pada instagramable menurut hemat arti. Kata tersebut bisa dimakna foto atau video yang pantas untuk dipublikasikan oleh pemilik akun. Namun banyak pengguna Instagram menggunakan arti dari instragamable lebih ke rekomendasi - rekomendasi tempat menarik untuk didatangi. Tanpa menaruh kelayakan yang mereka lakukan. Para masyarakat berbagai kalangan, lebih tertarik mengejar keviralan diri mereka dengan menghalalkan segala tingkah.Â
Demi meraup like dan komentar banyak, ada yang memposting konten nakal tanpa akal, berbahaya dan keterlaluan. Seperti video kanibal sabun, ahli gampar spion, prank - prank asusila, orang tua mandi tengah malam dan masih banyak konten foto atau video lain yang menjadi netizen geram untuk menorehkan perasaan dari sisa mulutnya.
Negara kita sudah terbawa globalisasi teknologi yang konstan menyeret gaya hidup manusia. Jangan sampai norma budaya di masing - masing daerah juga ikut berubah karena ada benalu dari budaya baru yang masuk.Â
Sensitivitas bangsa Indonesia bisa digunakan sebagai senjata pamungkas, jika sifat tersebut ditempatkan pada waktu yang tepat. Contohnya saat merespon hal - hal yang akan menggeser budaya kita mengenai tata krama, etika dan nilai - nilai dalam berperilaku.Â