Tulisan ini dibuat bukan atas permintaan seorang teman (laki-laki) yang membaca tulisan saya yang berjudul Suami yang Tertukar. Bukan, sekali lagi bukan permintaan, tetapi lebih tepatnya ini adalah usulan dengan nada memelas campur nyengir dari  teman saya. Agar seimbang bin adil, katanya.Â
Teman saya menyatakan bahwa bukannya dia tidak bersyukur dengan hadirnya bidadari surga alias istri, tetapi lebih kaget rupanya. Kenapa kaget? Tentunya karena ia punya beragam ekspektasi. Mari kita kupas satu persatu.
Pertama, ia membayangkan jika sudah beristri maka ia akan disuguhi beragam masakan ala Indonesia, Eropa, Timteng atau yang lainnya. Nyatanya, sarapan ia ketemu dengan telur ceplok, siang telur dadar, dan malam telur rebus. Harapannya pun punah. Bahkan kadang, Â ia harus berjibaku masak mie instan ketika pulang kerja istrinya masih khusyu depan laptop dengan kerjaannya. Ia tidak ingin merepotkan istri, katanya.Â
Berikutnya, ia membayangkan istri yang senantiasa manis, imut, cool di depannya. Nyatanya, setiap hari ada saja bahan omelan istrinya. Mulai dari omelan tentang bajunya yang selalu berantakan di lemari, handuk yang tidak dijemur dan masih banyak lagi. Ah, masa iya tidak pernah senyum manis. Senyum manis istrinya pastinya tetap ada, dong. Saat tanggal muda dan mamang paket datang tentunya.
Lalu, teman saya ini juga berkata jika istrinya tidak seperti dulu saat sebelum menikah. Sebelum menikah istrinya selalu wangi dan rapi. Tiap kali jumpa, ia selalu cantik. Â Jilbab selalu cocok dengan gaunnya. Sekarang, saat di rumah daster jadi andalan. Ah masa iya tidak ada variasi? Ada! Pagi daster batik, sore daster kaos, ahah.
 Si teman saya ini kadang berpikir apa iya istrinya adalah kloningan? Jangan-jangan istrinya tertukar?Â
Pernah, suatu kali ia ajak istrinya bicara baik-baik mengenai hal-hal tersebut. Â ia bilang sebagai upaya rekonsiliasi. Ia berharap istrinya akan berubah sesuai dengan ekspektasinya. Namun, ia salah. Bukannya berubah, istrinya malah ngambek. Walhasil, teman saya ini beberapa malam tidak dibukakan pintu kamar. Episode mie instan pun berlanjut. Ngambek berakhir ketika dari kejauhan terdengar mamang paket memanggil dan istrinya sedang tanggung di kamar mandi. Akhirnya mereka damai kembali. Damai dalam artian hidup kembali seperti sedia kala. Dan teman saya ini kapok. Katanya, "Ya sudahlah, dinikmati aja."
Kalau kita perhatikan, teman saya ini mengalami apa yang dinamakan ilusi bahwa ia dapat mengontrol istrinya. Tanpa disadari, ia rupanya  pengikut aliran stimulus respons yang menyatakan bahwa sesuatu dapat dikontrol atas kehendaknya.  Ia mencoba mengubah istrinya agar berpandangan sama dengannya. Bisa jadi, itu akan terjadi. Istri nampak akan berubah, tetapi tidak akan bertahan lama. Nyatanya, kita tidak dapat mengontrol orang lain. Demikian juga orang lain yang tidak bisa mengontrol kita.Â
Sekarang, nampaknya kita perlu bergeser ke teori kontrol yaitu kita mencoba memahami pandangan orang lain terhadap dunia alih-alih memaksakan orang lain berpandangan sama dengan kita. Jangan-jangan, nilai yang dijunjung oleh istri berbeda dengan yang dipandang suami. Pandangan terhadap apa? Ya semuanya, termasuk hal-hal yang saya sebutkan di atas.Â
Jadi, bagaimana caranya?
Komunikasi yang membangun tentunya akan sangat membantu. Perlu ada nilai-nilai atau keyakinan yang disepakati bersama dalam rumah tangga, bukan sekadar peraturan. Sebagai contoh, ada nilai kesehatan yang ingin diangkat ketika menyiapkan masakan empat sehat lima sempurna, tidak cuma mie dan telur saja. Â Contoh lain, suami istri menyepakati nilai tanggungjawab dengan meletakkan handuk di tempatnya.