Oleh Mawarningrum
(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ)
Masyarakat global saat ini masih mengalami masalah pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Sebagai virus yang baru muncul akhir tahun 2019, virus ini diantisipasi oleh masyarakat besar karena masih belum ditemukan vaksin khusus untuk mencegah penularan. Virus ini berawal dari kota Wuhan di Tiongkok lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Berbagai kondisi kehidupan manusia dipengaruhi oleh munculnya virus ini. Aktivitas masyarakat menjadi terganggu dari beberapa aspek seperti ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Sebelumnya berkegiatan di luar rumah adalah hal yang menyenangkan, berinteraksi, bercengkerama sesama individu dapat mempersatukan perbedaan.
Hampir 1 tahun aktivitas masyarakat masih belum kembali normal walaupun dibeberapa negara termasuk Indonesia sudah menerapkan New Normal untuk tetap menstabilkan perekonomian. New normal bukanlah keadaan kembali menjadi normal seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi ialah kondisi masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti bekerja ataupun sebagainya dengan tetap memakai masker, menjaga kebersihan, serta jaga jarak.
Sebagian negara telah mengatasi angka penurunan pandemi dengan menjaga ketat kebersihan baik itu kebersihan diri maupun fasilitas masyarakat. Hal ini juga didukung oleh pemerintahnya yang mampu mengatasi permasalahan di negaranya, tetapi masih banyak yang tidak bisa menurunkan angka peryebaran di beberapa negara salah satunya Indonesia. Negara ini masih mengalami masalah pandemi, bahkan kasus persebaran makin bertambah setiap harinya. Tidak hanya pemerintah yang mencari solusi tetapi masyarakat seharusnya ikut adil mengantisipasi terjadinya penyebaran agar tidak meningkat. Masyarakat bisa melakukan pencegahan dengan rajin menjaga kebersihan diri, rumah dan lingkungan serta turut memakai masker, menjaga jarak dan penerapan protokol kesehatan.
Fenomena sosial mengenai pandemi memunculkan respons dari sebagian besar masyarakat. Virus yang dapat menular itu membuat masyarakat panik akan virus yang bisa menginfeksi dirinya. Â Fenomena ini mempengaruhi situasi yang awalnya normal menjadi berpandangan negatif atau stigma terhadap individu lain. Penyakit yang juga memiliki gejala-gejala pada umumnya seperti batuk, demam, tenggorokan sakit maupun sesak nafas. Gejala ini jika muncul di lingkungan umum akan mendorong stigma dari beberapa masyarakat yang ada di sekitarnya. Bahkan saat seseorang mengalami gejala yang serupa dengan Covid, mereka tidak memeriksakannya ke dokter karena menganggap hanya flu biasa.
Stigma sosial ialah anggapan negatif yang berasal dari diri individu atas respons kepada suatu individu atau kelompok tertentu yang terjadi di masyarakat. Stigma ini pada kondisi pandemi sering muncul sebagai tindakan pencegahan penularan virus yang lebih lanjut atau karena kecemasan masyarakat karena minimnya informasi mengenai viru baru ini. Stigma dipahami sebagai kontruksi sosial di mana tanda membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk mengidentifikasi dan mendevaluasi mereka (Arboleda-Florez, 2002). Tentunya stigma ini tidak bagus diterapkan di tengah kondisi krisis. Bukan menurunkan kasus tetapi justru memperburuk keadaan.
Seperti yang terjadi, stigma ini muncul saat masyarakat memberikan label keadaan seseorang dengan salah satu gejala Covid sebagai seseorang yang positif Covid. Beberapa masyarakat juga mendikriminasi atau diperlakukan berbeda terhadap gejala penyakit tertentu. Hal ini bisa terjadi karena kecemasan masyarakat akan virus baru yang belum ditemukan vaksinnya. Jika terus menerus terjadi stigma sosial di tengah pandemi tentunya mendorong seseorang menyembunyikan penyakitnya guna terhindar dari diskriminasi tersebut.
Bahkan beberapa kasus pasien yang meninggal saja jenazahnya di tolak masyarakat untuk di makamkan di sekitar tempat tinggal masyarakat. Kepedulian masyarakat menjadi rendah karena pandangan negatif ini. Pengetahuan yang minim akan informasi positif yang di dapatkan mendorong munculnya stigma ini. Stigma juga berawal dari kurangnya keseimbangan menerima informasi positif dan negatif. Mulai dari penolakan jenazah, kebohongan, maupun penolakan dari masyarakat.
Orang yang di stigma belum tentu memiliki penyakit tersebut, tetapi masih banyak orang yang berperilaku mendiskriminasi yang dapat memunculkan stigma negatif. Stigma ini dapat mendorong dampak negatif bagi individu, keluarga, teman maupun orang-orang disekitarnya. Hal ini terjadi karena minimnya informasi mengenai Covid, dan mendorong rasa takut dari sebagian orang karena rasa takut yang berlebihan hingga berpikir negatif terhadap orang lain. Kecemasan yang timbul tidak dibarengi dengan informasi dapat mendorong tindakan stigma.
Tindakan sosial ini akan mendorong peningkatan jumlah virus yang tersebar secara cepat karena tidak diketahui orang yang terjangkit. Masyarakat menjadi takut untuk memeriksakan diri ke petugas kesehatan karena stigma tersebut. Masyarakat merupakan komponen dari sistem sosial yang saling berhubungan dengan anggota lain. Interaksi sosial menjadi terhalang karena pandangan negatif ini. Interaksi sebagai pemersatu individu dengan individu maupun kelompok lain tidak diterapkan masyarakat sebagai upaya integrasi.
Struktural fungsional Talcott Parson berasumsi bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan akan nilai masyarakat tertentu yang mampu mengatasi perbedaan nilai dan norma sehingga masyarakat dipandang sebagai sistem yang terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Hal ini tidak lepas dari adanya peran aktor dan sistem sosial. Aktor sistem sosial ialah anggota masyarakat yang menjalankan perannya di setiap kehidupan masyarakat.Masyarakat menurut Parsons ialah sistem sosial yang berhubungan dan saling ketergantungan. Jika ada suatu masalah di masyarakat maka berdampak pada anggota masyarakat yang lain.Â
Ketidakseimbangan ini muncul di tengah masyarakat karena informasi negatif yang beredar dan mendorong terjadinya stigma negatif kepada pasien maupun orang dengan gejala yang sama.Stigma negatif benar-benar harus dihilangkan, jika tidak akan timbul konflik antara masyarakat yang berpandangan negatif terhadap pasien maupun keluarga pasien.
Tindakan stigma yang ada di masyarakat akan menyebabkan disintegrasi untuk mengurangi penyebaran Covid. Kenapa? Pada dasarnya mayarakat yang terintegrasi dan seimbang ini muncul saat masyarakat mampu mengatasi masalah yang terjadi dalam kondisi kritis. Dalam teori struktural fungsional, kemampuan mengatasi perbedaan masyarakat itu sifatnya ajeg, jadi jika terus menerus mendukung pemerintah mengurangi penyebaran maka pandemi ini kasusnya akan menurun dan dibarengi juga dengan dukungan pemerintah.
Cara mempertahankan masyarakat agar tetap harmoni seperti tidak adanya pandangan negatif menurut Parson ialah dengan menggunakan istilah Agil. Karya Parson yang terkenal ialah kajiannya mengenal fungsi struktur bagi dipecahkannya empat masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, pemeliharaan pola, dan pengendalian ketegangan (Turner, 1978:51). Dalam asumsi Parsons mengenai Agil menyatakan bahwa suatu sistem harus beradaptasi dengan lingkungan, mencapai tujuan utama, mengatur hubungan-hubungan ada bagian dari komponen, menyediakan, menjaga, memperbaharui pola-pola dari bagian budaya individu.
Pandangan negatif atau stigma yang terjadi seperti menjauh dari penderita bahkan tidak mau membantu sesama. Agil merupakan cara yang bagus sebagai pemecah masalah terhadap stigma sosial. Adaptasi berarti masyarakat mampu menyesuaikan diri untuk mencapai tujuan bersama yang berarti masyarakat bersama-sama mengurangi pandangan negatif terhadap virus baru ini. Tujuan bersama saat ini mampu mendorong pemerintah atau masyarakat lain untuk mampu mengatasi penurunan kasus. Yaitu dengan cara tidak berpandangan negatif dengan mendukung dan menolong pasien untuk tetap semangat menjalankan perawatan baik itu yang di rumah sakit maupun yang mengisolasi kan diri di rumah.
Sistem sosial menangani fungsi integrasi sebagai pengendalian di dalam bentuk interaksi. Aktor berperan penting di komponen struktural sosial. Sistem sosial itu terstruktur bekerja sama dengan sistem-sistem lain. Integrasi berarti persatuan, sebagai cara mempersatukan masyarakat agar tidak terjadi pandangan negatif terhadap pasien positif Covid. Integrasi ini sebagai cara pemecahan masalah pada masyarakat. Sistem sosial akan berjalan baik jika adanya integrasi untuk saling mempersatukan masyarakat untuk mendukung penurunan kasus.
Berbagai institusi sosial juga telah mendorong kampanye tentang stigma ini. Mereka mencegah masyarakat melakukan stigma pada pasien Covid dengan media sosial. Media sosial merupakan tempat yang bagus untuk menyebarkan maupun melihat informasi ataupun kampanye guna bisa introspeksi diri. Tetapi disisi lain juga mendorong adanya pandangan negatif dengan memprovokasi masyarakat untuk berjaga-jaga terhadap pasien.Â
Peran pemerintah maupun tokoh masyarakat juga penting dalam mendukung edukasi kesehatan agar stigma negatif ini tidak terus menerus melekat dalam diri setiap masyarakat. Walaupun kondisi kita sehat dan bukan pasien Covid juga harus tetap menjalankan protokol kesehatan, memakai masker saat keluar rumah, menerapkan gaya hidup sehat, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak. Pasien bukanlah korban, melainkan seseorang yang harus ditolong dan mendapatkan perawatan kesehatan. Mendukung pasien dalam hal ini diperlukan sebagai upaya mencegah pandangan negatif.
Dalam mengurangi stigma sosial yang ada dimasyarakat bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahasa yang mendiskriminasi seseorang mengenai penyakit Covid dan juga kurangi mengucapkan kata-kata yang akan membuat rasa cemas pada mayarakat luas. Penggunaan bahasa lebih sering diingat ketimbang membaca informasi yang relevan. Hal ini dapat merusak empati dan dalam memperoleh informasi harus valid berasal dari sumber yang relevan. Ayo bersama-sama kita  lawan Covid!
Daftar Pustaka
- Abudi Ramly, Yasir Mokodompis, Allika Nurfadias Magulili. 2020. Stigma Terhadap Orang Positif Covid. Jambura Journal Of Health Sciences and Reserch. Vol. 2, no. 2, h. 77-84.
- PH Livana, Laurika Setiawati, Ike Sariti. 2020. Stigma Dan Perilaku Masyarakat Pada Pasien Positif Covid. Jurnal Gawat Darurat. Vol. 2, No. 2, H. 95-100.
- Ritzer George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
- Sunarto Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H