Sejarah Indonesia adalah sejarah intelektual. Sejak zaman kolonial hingga perebutan kemerdekaan, intelektual selalu berada pada posisi penting sesuai dengan semangat zamannya masing-masing.
Pada era kolonial, peran intelektual sangat jelas, semangatnya adalah melawan kekuatan represif kolonial Belanda dengan segenap daya dan tenaga intelekual mereka. Pada tahun 1928 misalnya, terbentuklah organisasi Boedi Utama. Sebuah organisasi kepemudaan dari kumpulan para kaum terpelajar saat itu punya kesempatan meraih pendidikan tinggi.
Pada organisasi ini, manifestasi intelektual mereka tersemburat dalam bentuk politik menentang kekuasaan kolonial. Komitmen mereka adalah menjungkirbalikkan kekuasaan asing dan membentuk kekuasan baru yang bebas dari kekuasaan intelektual.
Sebagaimana dicontohkan oleh Hatta, tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soerjaningrat adalah sejumlah tokohyang kekuatan intelektual mereka terlibat dalam proses pembentukan negara kebangsaan (nation state), yang kelak di sebut Indonesia.
Tidak terpaut jauh dari massa-massa tokoh itu, muncul bapak-bapak bangsa seperti Soekarno, M. Natsir,Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka adalah intelektual waktu itu yang dengan giggih memperjuangkan, mengkonspep, hingga membentuk bangsa di kepulauan nusantara ini. Mereka adalah momentum sekaligus teks suatu zaman, dimana kaum intelektual atau terdidik, menyalurkan tanggung jawab intelektualnya dengan membentuk sebuah negara bagi masyarakat mereka.
Di tengah kebobrokan kekuasaan Orde Baru, pada tahun 1998 para intelektual melalui pergergerakkan mahasiswa juga mampu menumbangkan rezim Soeharto.
Ya, intelektual dengan segudang ilmu yang dimiliki, tidak hanya berdiri tenang di atas menara gading dengan sebongkaah kelilmuannya, tapi mampu terjun ke lapangan menyuarakan ketidakbenaran.
Bahkan, Menurut Mohammad Hatta, ketika berpidato di kampus Universitas Indonesia tahun 1957 lalu, menyatakan bahwa, kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negera dan masyarakat. Kaum inteligensia adalah bagian dari rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warganegara yang terpelajar, yang tahu menimbang buruk dan baik, yang tahu menguji benar dan salah dengan pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya adalah intelektuil dan moril.
Lebih keras lagi, Julian Benda, pernah mengemukakan bahwa, ketika pelajar hanyut dalam kekuasaan tiranik, ia menyebutnya sebagai “penghianatan kaum intelektual”.
Intelektual Kini
Akan tetapi bagaimana kiprah intelektual massa kini setelah Indonesia sudah 67 tahun merdeka, ribuan sarjana tercetak setiap tahunnya, tapi apakah ribuan sarjana itu mampu memberi keseimbangan untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik dan bermartabat, atau jangan-jangan hanya justru menjadi beban bangsa.
Memang banyak intelektual yang sudah memberikan kontribusi kepada negeri melalui pergerakan pribadi maupun kolektif,baik pemberdayaan maupun kritisisme, namun masih tetap saja ada sejumlah perilaku pasif bahkan negatif yang masih dilakukan intelektual kita.
Masih segar dalam ingatan, belum lama ini tawuran antar mahasiswa berkecampuk di sebuah kampus di Makassar, kasus plagiarisme karya ilmiah masih mewarnai pemberitaan di media massa, kasus sogok menyogok masuk dalam perguruan tinggi masih belum hilang.
Belum lagi, sikap acuh tak acuh mulai menyerang anak muda kini, terbentangnya arus globalisasi, justru menjadikan kaum terpelajar menjadi semakin teralienasi dengan masyarakatnya, sikap individualisme terlihat lebih menonjol dibandingkan sebuah kolektifitas. Budaya diskusi sebagai sarana mengasah krtisisme dan keilmuan mereka kian luntur, kaum terelajar disibukkan dengan kepentingan tugas kuliah dan gadjet-gadjet mereka.
Tak pelak, ketika sudah menjadi sarjana, seakan tugas untuk selalu mengembangkan keilmuannya sudah selesai, kesadaran untuk mengimplementasikan tanggung jawab intelektual mereka kian luntur. Mereka disibukkan dengan kepentingan kerja industrial, kalau yang kebetulan masuk di birokrasi disibukkan dengan urusan-urusan praktis.
Bahkan, tidak sedikit yang masih kesana-kemari membanjiri bursa-bursa kerja, tanpa mampu menciptkannya sendiri. Sementara, di luar sana hantu-hantu kumtivisime dan materialisme kian tumbuh subur. Akibatnya, pragmatisme menjadi suatu tak terelakkan, dan akhirnya idealisme menjadi barang yang mahal.
Tantangan Intelaktual Kini
Saya kira sudah saatnya kaum intelektual merivitalisasi diri, ketika negara ini didera badai krisis nilai, maka kaum intelektual yang menjadi benteng harapan terhadap penegekan nilai-nilai moralitas, bukan justru terhanyut dalam krisis nilai itu.
Memang, ditengah kecamukmeterialisme dan radikalisme, idealism menjadi barang yang mahal. Meskipun demikian, panji-panji idealism harus tetap ditiupkan. Intelektual harus selelu mengambil di posisi manapun untuk menentang ketidakbenaran, dengan pertimbangan ilmu yang diemban selama ini.
Tantangan intelektual kini bukan lagi represi kolonial atau dominasinya pemerintahan orde baru. Tetapi, tantangan utama intelektual bebas kini adalah ketidakadilan di segala lini, baik itu secara politis, ekonomi, pendidikan, social, maupun budaya. Tantangannya adalah bagaimana para intelektual itu mengenali masalah di lingkungannya masing-masing dan berusaha memecahkannya.(amin fauzi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H